Istri Selingkuh Karena Haus Kenikmatan Cerita Sex Terbaru
cerita sex dewasa – Kali ini saya akan menceritakan pengalaman sex saya bersama seorang wanita. kita mulai saja ya.. Siang hari, sekitar pukul dua di suatu bangunan kecil di kompleks perumahan pinggir kota. Sehari-harinya tempat itu adalah salon, Salon Citra. Tapi pemiliknya tidak hanya menawarkan jasa perawatan kecantikan bagi wanita. Di balik tirai yang memisahkan ruang belakang dengan ruang utama salon, pemilik salon itu, Citra, sedang duduk selonjor di atas tempat tidur yang biasa dipakai untuk luluran atau facial. Citra berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. inilah awalan dari cerita bokep ku.
Ia mengenakan kaos tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat tidur.
“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra dengan nada manja.
Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra, dia menjawab.
“Iya dong. Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gde itu kecil. Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang. Kamu udah lihat beritanya kan?” kata Kris.
“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.
“Mestinya kamu lihat, ha ha ha. Soalnya ada muka jelek si Gde babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu.
Kamu minta yang kayak gitu kan, minta yang setimpal buat dia? Habis ini juga si Gde bakal dipecat gara-gara bikin malu pemerintah.
Salah sendiri, udah tahu ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biar mampus dia.”
Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang dipimpin Gde melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat malah melawan aparat dengan membawa senjata tajam dan batu. Akibatnya terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gde yang kepalanya bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai. Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa semena-mena.
Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris.
Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi. Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang. Ketika Gde berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Tia beberapa waktu lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain: menyingkirkan Gde dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain.
Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti sekaligus menyingkirkan Gde. Sambil Kris bercerita bagaimana dia merekayasa massa untuk menghajar Gde dan satuannya, kaki Citra terus mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira. Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya. Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang bersahaja, dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya, menyentuh payudara Citra.
Tangan Kris yang besar itu meremas kedua payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu. Kris membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra.
Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal Citra di selangkangannya.
“Ughh.” Kris menggerung ketika ereksinya diinjak lembut oleh Citra, penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk batang itu.
Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam.
Citra meningkatkan gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan seperti kesetrum. Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan budaknya.
“Ahh Citra.” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis.
Citra merayu, “Udah mau keluar, Mas?”
Baca Juga Cerita Bokep ABG : Gadis SMA Sangean
“Erghh sialannn Sini!” Tanpa diduga, Kris bergerak. Tangannya yang dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra dipaksa merunduk ke depan. Citra kaget, “MAS!!?? “
Dan teriakan berikutnya, “AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”
Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di mukanya. Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu.
Kris menarik Citra sampai dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa puas melihat Citra yang tak senang.
Begitu dilepas, Citra langsung bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya, lalu menampar Kris.
“Sialan!” maki Citra, “Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!” Wajah Citra berubah marah.
Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra.
“Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin dendam kamu sama si Gde kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”
Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra.
“Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas. “Aku tahu. Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gde, kan? Aku nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan. Masih ngerasa kayak dulu ya?”
“Uhh…” Citra meringis, gentar. “Terserah Mas mau bilang apa. Urusanku sama Gde…”
“…sekarang jadi urusanku juga, kan?” Kris memotong. “Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih pelajaran ke si Gde. Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku boleh ngapain aja, kan?”
Citra tertunduk. Sebetulnya dia kesal, tapi Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.
“Ngerti?” tanya Kris lagi. Citra mengangguk.
“Kalau ngerti… sekarang kamu nungging.”
Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya.
Kris mendekati bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.
“He he he… Asyiik, pantat lonte.” Dia menampar pantat Citra dua kali. Citra mendengking kaget. Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan.
Citra diam saja ketika satu jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra. Kris tersenyum puas melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.
“Ah… ahh…” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi. “Ahhh…”
Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra.
Kris merasakan bagian itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh birahi. Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari tangan kanannya. Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar tangan Kris jangan terlalu kasar.
“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit menahan tangan Citra. Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman Kris. Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat kemaluan Citra melebar.
Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas Citra memburu.
“Hehehe… Udah mulai longgar lu Cit. Empat jari gue bisa masuk. Lu kayaknya sebentar lagi kadaluarsa nih?” Kris berkomentar menghina.
“Bangke,” Citra balas memaki.
“Lonte,” hardik Kris, “Sekarang lu diem. Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.”
Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra.
Di ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan ingin melampiaskan nafsu.
“Ah… Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya.
Penis Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.
“Haa… haaahhh…” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi.
Tanpa mencabut penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.
Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu. Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya bersandar ke dada Kris.
Tapi memang hubungan intim dalam posisi menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk sedikit, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas tempat tidur.
“Hihihi… Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra. “Kurang panjang tuh adeknya…”
Baca Juga Cerita Bokep Seks : Fantasi Gila Pasutri Main Sex
Citra saat itu berposisi menyamping dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang. Dia melihat Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi… ke lubang pantat.
“Emm…” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung yang masih membesar ke pintu belakang. Vagina Citra sudah basah karena baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.
“Gue masuk ya… Uh! Ahh… Sempit!” kata Kris.
“Iiuhh!” Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa menerobos lingkaran duburnya. Dia secara refleks berusaha menghindar, memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam pantat. Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong pinggangnya ke depan sambil menggerung keras. Masuklah penisnya ke dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.
“Auh! Enak bangett! Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.
“Hssshh…” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran belakangnya. Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman.
Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama, jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.
“Enak gak Cit? Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.
“Iyah… Terus! Teruus!” Citra mulai merasa enak. Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar.
Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar. Dan…
“Uh…hhh!”
Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya. Kris ejakulasi. Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Ia merasakan sebagian sperma Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam pantatnya. Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun. Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.
“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya. Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”
Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan. Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris.
“Oke boss,” katanya dengan genit.
Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon. Citra melotot melihat laki-laki muda itu.
“Bram?”
Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya. Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.
“Ya ampun, Kak…” keluh Bram.
“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir, lalu sibuk mencari korek api.
“Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.
“Kakak nggak pernah berubah, ya…” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.
“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya.
“Eh bukannya ini masih jam kerja?”
“Kak,” kata Bram dengan nada serius. “Aku mau tanya. Soal Tia.”
Citra membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya berubah serius juga.
“…Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram. Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.
Sejam kemudian…
Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia mendengar jawaban Citra.
Tia, sedang apa kamu?
Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri. Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.
“Mas Bram! Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu.
Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.
“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja kamu? Kenalin, ini Pak Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang berpenampilan pengusaha.
“Bram,” Bram memperkenalkan diri.
“Enrico,” kata orang itu.
Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya. Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana. Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.
“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat memperlancar urusan kita,” kata Enrico.
“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup. “Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan mulai rame, ya? Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana—dulu sepi! Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”
Baca Juga Cerita Ngentot Terbaru : Enaknya Bercinta Dengan Amoy Medan
Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu sekadar alasan untuk…
“…jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya. Dia sudah biasa ngurus semuanya. Gimana Bram, kamu bisa kan?”
Bram tersenyum. “Bisa,” jawabnya pendek. “Kapan, Pak Enrico?”
“Dua hari lagi saya pulang ke sana. Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.
“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab. Enrico mengangguk setuju.
Seminggu sebenarnya terlalu lama—Bram membayangkan, sekadar survei lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu tiga hari.
“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk persiapannya. Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico. Kemudian Enrico pamit dan pergi.
Malamnya, di rumah Bram dan Tia… “Mas mau pergi seminggu?” tanya Tia. Bram berbaring di tempat tidur, sementara Tia duduk di depan meja rias. Keduanya hendak beristirahat setelah seharian beraktivitas.
“Iya…” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain. Dilihatnya wajah Tia seperti kurang senang.
“Ajak dong Mas…” pinta Tia manja.
“Yah, gimana ya… kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram.
“Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala daerahnya hebat.”
“Iih, curang,” Tia merajuk. “Katanya cewek dari sana cakep-cakep, ya?”
“Terus?” Bram nyengir. Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca isi hati Tia, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra.
Makanya dia tidak heran melihat Tia bukannya membersihkan muka untuk persiapan tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.
“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana… Iya kan?” kata Tia sambil beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur.
Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Tia tidak ingin langsung tidur… Tia berbaring menyamping, menghadap Bram, memberikan ciuman mesra kepada suaminya.
“Yah… kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram tidak berusaha mengelak. Toh Tia sudah tahu salah satu kelemahannya. Bram merasakan tangan Tia menyelip ke balik celananya. “Eh…”
Tangan Tia terasa licin. Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram. Bram merangkul istrinya dan mencium kening Tia.
“Hayo… mau ngapain tangannya di sana…” goda Bram.
Tia membalas dengan mengecup bibir Bram lalu menarik ujung kaos Bram, menyingkap tubuh atas Bram. Sementara itu Tia terus menciumi tubuh suaminya, dari bibir turun ke dagu, rahang, leher.
Bram menahan nafas. Ia sekarang paham sebagian besar ceritanya. Perubahan Tia sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian disebabkan Citra juga. Citra bercerita bagaimana Tia minta saran agar Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain.
Dan kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Tia membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya seperti yang terjadi sekarang. Sebelumnya, Tia sangat konservatif dan lebih banyak pasif di ranjang.
Sekarang, Tia dengan genitnya merayu dan menggerayangi Bram. Aksinya sudah tidak kalah dengan perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi Bram kenikmatan badan. Tia yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang dilakukannya kini.
Tangan Tia sudah menyentuh kemaluan Bram yang sedikit tegak, jari-jari Tia merangkum batang Bram. Tia mulai membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali lagi, dan membuatnya tegang sempurna. Bram tersentak sedikit ketika kocokan Tia makin cepat.
“Ah…” Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium bibirnya. Ah, betapa manis bibirnya. Ah… dia kok jadi jago ngocok juga?
“Pelan… sayang…” bisik Bram.
Tia mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas kocokannya. Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin buru-buru.
Tangan Bram mencengkeram lengan atas Tia, wajahnya terlihat berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Tia menyapu hidung Bram selagi Tia mengulum salah satu telinga Bram. Beberapa waktu lalu, Tia sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Tia baru menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana. Bram mengerang keras selagi Tia kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Bram, di daster Tia, di seprei. Tia tak melepas dan terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.
“Yah… berantakan nih. Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan keenakan.
“Habisnya Mas Bram mau pergi… jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Tia.
Tia sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa langsung ‘dapat’. Bram meraih wajah Tia.
Ciuman yang menyusul sungguh panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.
“Beresin dulu nggak?” goda Tia.
“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi.
Detik berikutnya Tia didorong sehingga telentang, kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua pahanya.
“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.
“Biarin aja… Mas…” Bram melihat Tia menggigit bibir kemudian kembali berkata. “Mas aku pengen…”
Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.
*****
Pagi, dua hari kemudian…
Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Tia, Bram meninggalkan rumah. Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk.
Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Tia terus mengajaknya bercinta. Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama.
Tapi tugas kantor harus dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Tia.
*****
Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Tia resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi…
Entah kenapa, Tia merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan. Itu semua terjadi sesudah Tia berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup. Sebelum Bram berangkat, tadi Tia masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi.
Hampir saja Tia membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian. Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Tia. Tia menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana. Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Tia membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi.
Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.
“Emmh… Mas… Mas Bram…” Tia menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya.
Tapi Tia tak kunjung mendapat orgasme. Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram…atau siapapun.
“Ohh,” keluh Tia yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.
Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Tia mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana. Sesudahnya, Tia kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.
*****
Sore menjelang malam.
Tia makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes. Lalu… apa? Tia menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Tia melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Tia yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.
“Puuunten,” Mang Enjup memberi salam.
“Eh, Mang Enjup. Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah? Ayo, ayo masuk.”
Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.
“Mangga calik,” Tia mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Sebentar, saya bikin teh dulu.”
“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Tia pergi ke belakang untuk membuatkan minum.
Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit kemudian Tia keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya. Dengan cekatan Tia menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Tia duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Tia.
“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram. “Neng Tia enggak kesepian kan?”
“Ah, nggak Mang…” kata-kata Tia tidak sesuai dengan isi hatinya. “Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”
“Gini,” kata Mang Enjup. “Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota. Pesta apa selametan atau semacamnya. Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda. Perusahaan kita diundang juga.” Sebagai putri seorang pengusaha, Tia paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.
“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup, “tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota. Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Tia sekalian? Kan Neng Tia juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis. Banyak gunanya buat nanti. Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”
Tia mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Tia besok sore. Tia mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali. Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup.
“Mang, udah begitu aja? Si Tia nggak kita apa-apain?”
“Hush!” Mang Enjup menghardik. “Ngga sabaran amat sih? Tunggu ajah. Nanti juga kalian kebagian lagi. Sekarang kita pulang. Reja! Ayo jalan.”
Mobil melaju meninggalkan rumah Tia.
Besok sorenya…
Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Tia langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik. Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Tia tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.
“Uwaaah… meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.
Tia tersipu dipuji seperti itu. Mang Enjup langsung mengajak pergi.
“Ayoh kita berangkat.”
Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans—dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir. Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta. Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang.
Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, manusia-manusia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Tiada yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.
Ini bukan pertama kali Tia hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”.
Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antusias. Banyak sekali laki-laki berumur 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan. Kebanyakan tamu perempuan juga berumur 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha.
Kehadiran Tia sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Tia, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir. Tia yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak. Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Tia ke sana-sini. Ini anggota DPRD; ibu ini guru besar kedokteran di universitas; suami-istri itu pengusaha ekspor-impor; bapak itu kepala dinas.
Semua perkenalan berlangsung singkat, Tia sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. Setiap kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Tia sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram. Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Tia adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.
“Hei, Tia!” terdengar panggilan akrab.
Tia menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Tia—sambil tangannya seperti mau menggerayangi Tia. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.
Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Tia, karena ada urusan lebih penting. Tia dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Tia bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Tapi Danang, yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol.
Mereka berdua sudah saling kenal rupanya. Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Tia berkenalan dengan Pak Walikota. Tia sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu. Pak Walikota bertubuh tegap dan besar; dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu.
Umurnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. Dia menjabat tangan Tia dan tersenyum lebar. Jabat tang