Keluarga Pak Trisno 3
Kuakui, Intan memang cantik, manis dan baik, dan selalu memberi perhatian lebih padaku. Teman-teman bilang gadis itu naksir padaku, namun aku katakan pada mereka, bahwa aku masih terlalu muda, baru kelas 2 SMP, usiapun belum genap 14 tahun, dan belum waktunya untuk bercinta-cintaan.
Lalu apa yang mereka katakan padaku, terutama si Faris, yang dengan seenaknya dia bilang “Doni… Doni… gua curiga sama elu.. Jangan-jangan elu itu homo.. masa si Intan yang cakepnya kayak gitu elu tolak.. kalau gua yang jadi elu don…” Atau yang dikatakan si Reza “Don, denger gua ya… elu tuh ganteng.. tampang elu mirip si Al anaknya Ahmad dani.. udah sikat aja.. cuma sekedar untuk penyemangat belajar kan gak apa don…”
Ah, apa yang dikatakan Reza sepertinya terlalu berlebihan, yang mengatakan aku mirip si anulah.. si inilah.. Terlebih yang dikatakan si Faris, yang seenaknya menuduhku homo. Aku normal 100%, lelaki tulen, bahkan untuk anak usia 14 tahun batang penisku terbilang besar, itu dapat kubandingkan dengan aktor-aktor film porno yang kerap aku saksikan filmnya dikamar, dan ukuran penisku rasanya tak jauh berbeda dengan mereka.
Memang aku termasuk bongsor, dengan usia semuda ini tinggi badanku telah mencapai 172 cm, itu artinya aku lebih tinggi dua cm dari ibuku, walaupun belum setinggi ayahku yang 175 cm. Dan aku sama sekali tak tertarik dengan sesama jenis, aku hanya tertarik pada wanita. Namun wanita yang selama ini menarik hatiku adalah…
Bukan sekedar rasa cinta yang kuberikan pada Mamaku, tapi juga nafsu.. nafsu birahi, bagiku dia adalah sosok yang begitu sempurna. Tak ada wanita lain yang dapat menyita perhatianku selain Mama, termasuk Intan, gadis primadona sekolah yang selalu menjadi impian teman-temanku.
Obsesiku adalah Mama, terutama obsesi seksual. Sering aku membayangkan bersetubuh dengan Mama, sehingga sering pula aku mencuri-curi pandang pada tubuh indahnya, terutama saat dirinya mengenakan pakaian-pakaian yg mengekspose bentuk tubuh, seperti saat dia mengenakan hot-pan, pahanya yang mulus dan padat membuat syahwatku mendesir, yang ujung-ujungnya hanya bisa kulampiaskan dengan cara onani.
begitu pula saat dia mengenakan gaun tidur berbahan sutra yang tipis sehingga bentuk tubuhnya yang indah terbayang jelas. bentuk tubuh yang sempurna, pantat bulat dan padat, buah dada besar, padat dan berisi, kulit putih mulus tanpa cacat, wajahnya yang cantik, hidung mancung dan bibir agak lebar dan sensual.
Pernah aku mengintip Mama dan Papa sedang ML dikamarnya, dari lubang kunci aku melihat bagaimana batang penis papa menggenjot vagina Mama. tidak hanya vagina mama yang menjadi sasaran penis papa, tapi juga anusnya. Bahkan aku pernah juga melihat mama sambil menungging vaginanya digenjot oleh papa, pada saat bersamaan lubang anusnya juga disumbat oleh dildo, Ah..
********
Seperti malam-malam yang lain, selesai belajar biasanya aku menonton film-film porno yang telah aku unduh dari situs-situs dewasa. Berbagai jenis film porno dengan berbagai genre hampir memenuhi separuh dari kapasitas harddisc laptopku, mulai dari genre softcore sampai hardcore yang gila-gilaan.
Setiap kali menyaksikan wanita yang sedang bersetubuh di film-film itu, selalu yang kubayangkan adalah sosok Mamaku, sedangkan sosok prianya kubayangkan adalah diriku.
Dan seperti biasanya disaat birahiku menaik, aku mulai melepas celana dan memain-mainkan penisku sambil tatapanku terpusat pada layar monitor komputer.
“Aaaaahhhhh… ayo ma.. terus maaa… memekmu enak ma… zzzzz.. aaaahhhh…” racauku sambil tanganku bergerak mengocok-ngocok batang penis.
Sedang asik aku melakukan “ritual malam” yang hampir rutin aku lakukan itu, tiba-tiba diriku dikagetkan oleh sebuah bentakan keras dibelakangku.
“Doni..! Apa-apaan kamu…”
Secara reflek kursi putar yang kududuki kuarahkan pada sumber suara itu. Dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri didepanku, dia adalah Mamaku, yang sepertinya juga terkejut melihat batang penisku yang masih berdiri tegak. Dengan panik segera kuraih celana pendek dilantai dan langsung kukenakan.
“Ka.. kamu.. keterlaluan.. Doni… awas.. Mama beritahu Papamu nanti…” Sepertinya Mama begitu marah, pipinya yang putih tampak memerah. tapi sepertinya ia juga gugup, seperti ada keraguan dalam dirinya. Ah, tapi mata Mama sepetinya berkaca-kaca, semarah itukah dirinya sehingga sampai ingin menangis.
Hanya kata-kata itu yang leluar dari mulutnya, seraya dirinya pergi sambil menutupi mulutnya, sepertinya ia benar-benar menangis… Langkahnya setengah berlari… Lalu.. brraakk… pintu kamarku ditutup dengan begitu keras.
Ah, mati aku.. Mengapa aku bisa lupa mengunci pintu itu, betapa teledornya aku… Habis sudah diriku… Entah apa yang akan terjadi padaku saat Mama melaporkannya pada Papa. Betapa malunya aku. Jangan-jangan Mama juga mendengarkan kata-kata yang keluar dati mulutku saat beronani tadi. Haduuhhh.. bisa-bisa dianggapnya aku ini anak yang tak waras karna membayangkan ibu kandungnya sendiri saat bermasturbasi.
Laptop yang menayangkan adegan film porno telah kumatikan, dan aku masih terduduk dikursi dengan berjuta-juta pikiran, dan membayangkan hal apa yang akan menimpaku selanjutnya. Ah, disaat nanti Papa pulang dari kunjungan dinasnya kedaerah, sudah pasti Mama akan melapor kepadanya. Bisa jadi setelah itu Papa akan menitipkan aku pada kakek dikampung, karna aku dianggap berpotensi melakukan tindak asusila kepada Mama, dan itu dianggap sebagai sebuah aib bagi keluarga.
Tiba-tiba pintu kembali dibuka dengan pelan, diikuti dengan langkah Mama yang sedikit lesu, matanya sedikit sembab, serta hidungnya agak memerah. Aku hanya pasrah menunggu sumpah serapah yang bakal keluar dari bibirnya yang seksi itu.
Dia duduk dipinggir tempat tidurku, menatapku sejenak, lalu menarik nafas panjang, kemudian mulai bicara
“Doni.. Mama maklum dan mengerti, juga menganggap wajar dan manusiawi, jika anak muda seusia kamu melakukan hal seperti yang tadi kamu lakukan itu… Terus terang tadi secara tak sengaja Mama sempat mengintip dari sela-sela pintu yang masih sedikit terbuka itu.. Tapi setelah mama mendengar desahan-desahan kamu yang selalu menyebut nama Mama…
“Maaf ma…” Jawabku lirih
“Mama tidak butuh kata maafmu… yang Mama butuhkan adalah alasanmu.. Mengapa kamu mendesah-desah sambil menyebut Mama… Ayo jawab..”
Sepertinya otakku tak sempat lagi untuk mengarang cerita yang bisa menyanggah bahwa aku terobsesi pada dirinya. Terpaksalah aku hanya bisa jujur mengatakan apa adanya.
“Do.. Doni memang su.. suka sama Mama…” jawabku gugup
“Suka bagaimana? Suka untuk ngapain? Ayo ngomong yang jelas.. kamu kan anak laki..” tekannya lagi
“Suka.. suka.. Ah.. Doni ingin berhubungan seks sama Mama…” Ah, sial.. keluar juga kata-kata itu
“Ya tuhaaaan… Doniii… Aku ini ibumu naaakk.. Ibu kandungmu… sudah gila kamu..” bentaknya, yang membuatku hanya menunduk menatap lantai.
Kini dia berdiri, lalu menatapku sejenak, kemudian melangkah mondar-mandir disekitar kamarku, sepertinya tengah berpikir, namun aku melihat adanya kebimbangan dalam dirinya, seperti bingung dalam memutuskan sesuatu.. entah apa yang dibingungkannya. Langkahnya berhenti sejenak tepat dihadapanku.. menatapku lagi..
“Doni… kamu itu…” hanya itu yang terucap, lalu tertahan.. sepertinya ingin dilanjutkan… ah, ternyata tidak. Justru malah kembali duduk dibibir ranjang, kembali berpikir… menatapku… lalu menarik nafas panjang.. kembali tampak gugup, sementara kedua kakinya digoyang-goyangkan.. Kembali menarik nafas panjang lagi, kali ini sambil memejamkan kedua matanya..
Lalu tubuh itu melesat kearah pintu.. sepertinya hendak keluar.. Tapi mengapa secepat itu dia keluar? Hanya begitu saja? Bahkan dia belum memponisku. Ah, ternyata dugaanku salah.. justru dia mengunci pintu itu.. tapi mengapa dikunci? Ah, gawat.. Jangan-jangan dia akan menghajarku habis-habisan, makanya pintu itu dikunci agar tak ada yang menghalangi saat aku berteriak kesakitan karna siksaannya..
“Ampun maaaa…” Mohonku, sambil meringkukan badanku dikursi, bagar seekor tikus yang tersudut dipojok ruangan dan tak ada lagi tempat untuk berlari. kedua tanganku kugunakan untuk melindungi wajah dan kepalaku.
“Heh… Doni.. Jangan seperti anak kecil gitu kamu…” Ah, ternyata dia belum menghajarku. kini dia berdiri tepat didepanku.
“Ampun ma… jangan ma…” mohonku
“Ampun.. ampun.. Apaan sih kamu.. kamu pikir Mama mau ngapain…?” kini aku hanya terdiam.
“Doni.. kamu betul kepingin berhubungan seks sama Mama..?”
“Betul Ma… tapi Doni minta maaf.. ampuuun…” kembali aku memohon ampun, berharap Mamaku akan melupakan semua ini.
“Eh, Doni.. kamu denger Mama ya… Sekarang Mama mau tanya serius, dan Mama enggak marah… coba liat wajah Mama.. apakah Mama kelihatan marah.” paparnya seraya tersenyum padaku untuk kemastikan kalau dia memang tidak marah.
“Iya ma… Mama mau tanya apa?”
“Begini Doni… tadi kamu bilang, ingin sekali berhubungan seks dengan Mama.. iya kan? Nah seandainya Mama bersedia memenuhi keinginan kamu untuk ngesek bagaimana…? apa kamu juga bersedia…? Jawab yang jujur ya…” Deg… berdegub kencang jantungku, apa aku tidak salah dengar ini.. Dan bagaimana aku mesti menjawabnya.
“Jawab Doni.. kalau kamu tidak jawab dengan jujur, justru Mama akan telpon papa sekarang juga..”
“Ba.. baik ma.. baik… Doni akan jujur Ma… Doni memang mau Ma… kalau Mama ngajak Doni.. mmm.. ngesek.. Doni sudah jujur Ma.. Mama sudah janji kan, enggak akan melaporkan hal ini kepada Papa.. kalau Doni jujur..” ujarku, berharap kejujuranku itu bisa meluluhkan hatinya untuk tidak memperpanjang masalah ini.
“Bagaimana kalau sekarang juga Mama menawarkan itu? Apa Doni mau melakukannya?” pertanyaan yang kembali membuatku bingung, apa maksud sesungguhnya dari semua itu.
“Menawarkan apa? Dan melakukan apa?” tanyaku masih bingung.
“Doni.. Doni.. Baiklah, sekarang kita lupakan semuanya… tentang marah-marah Mama barusan, tentang Mama yang sempat menangis tadi… Dan sekarang, Mama menawarkan diri Mama kepadamu.. seutuhnya.. kamu boleh melakukan apa saja pada Mama, sesuai keinginanmu.. kamu bisa wujudkan fantasi-fantasi kamu selama ini pada Mama..
bagaimana sayang?” Deg.. jantungku berdetak begitu kencang.. dari ekspresi dan perkataannya sepertinya jujur, tulus, dan sama sekali tak terlihat kalau itu sebuah jebakan, tapi tetap saja aku masih bingung untuk berbuat apa, hingga… Busssseett.. dia menaikan kaki kanannya dikursi tempatku duduk, seraya menyibak dasternya hingga memperlihatkan celana dalam putihnya padaku.
“Mama tau.. kamu masih gugup.. semoga ini dapat menghilangkan kegugupanmu sayang… hi.. hi.. hi..” sebuah susunan kata yang diucapkan dengan nada yang menggoda, dan diikuti dengan tawa renyahnya yang nakal. Ah, justru ini membuatku semakin gugup, namun juga membuat batang penis dibalik celana boxerku berdiri tegak.
Gile mek… paha yang putih mulus dan padat itu kini tepat berada didepan hidungku, dan yang dibalik celana dalam putih itu, yang beberapa helai bulu jembutnya mengintip keluar melalui sela-sela pinggiran celana dalam. Ah, apakah aku hanya mimpi.
Kuangkat tangan kananku dengan maksud menyentuh indahnya paha itu, tapi.. tangannya justru menahan pergelangan tanganku, sehingga maksudku harus tertunda.
“Eiit.. tapi ingat, ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua… jangan sampai orang lain tau, terutama Papa.. Paham kamu… Janji..?” peringatnya sambil mencengkeram pergelangan tanganku.
“Iya ma… Doni janji ma..”
“Bagus.. Sekarang lanjutkan apa yang ingin kamu lakukan..” seraya melepas cengkramannya.
Telapak tanganku mulai menyusuri sekujur paha dan pinggulnya, paha yang selama ini hanya bisa aku tatap, kini dengan bebas dapat kusentuh, bahkan sesekali kuremas dengan gemas, dan katanya aku bebas untuk melakukan apa saja.. ya, apa saja.
“Ma.. celana dalam mama boleh Doni buka ya?”
“Kan, sudah Mama bilang… kamu bisa melakukan apa saja..” paparnya, yang malah dirinya sendiri yang membuka celana dalamnya itu.
Wooww.. liang vagina dengan bulu-bulunya yang lumayan lebat dan tertata rapi itu kini tepat berada dihadapanku. Sebelah kakinya yang diangkat diatas kursi membuat liangnya menganga lebar, mempertunjukan daging merah berkilat yang hanya pernah aku saksikan difilm porno.
Kucium aromanya sampai mataku setengah terpejam, aroma yang belum pernah aku cium sebelumnya, yang pastinya aroma yang membuatku tergoda untuk melakukan hal lebih selain hanya menciumi baunya.
Kusentuh keratan daging merah jambu itu, lunak dan agak sedikit basah, jembutnya ku sibak-sibak sebentar, bahkan kutarik pelan karna gemas.
“Aaawww… masa’ jembut Mama kamu tarik-tarik begitu sih sayang.. sakit dong..”
“Abis Doni gemes ma… Doni jilatin aja ya ma?”
“Ih, kamu memang nakal ya… Ayo jilatin memek Mama sayang…” ujarnya, seraya menyibak bibir vagina dengan kedua tangannya.
Ah, surga itu kini benar-benar berada didepan mataku, menawarkan padaku akan rongga-rongganya yang menganga menggoda. Lidahku mulai menjulur menyentuh bibir vaginanya, untuk beberapa detik lidahku bagai canggung dalam bergerak, kemudian berubah liar menari-nari menyusuri keseluruh bagian, mulai bibir vaginanya, kelentit, jembut, hingga menelusup masuk kedalam ronngganya.
“Uuuuuhhhhhh… nikmat sekali sayang… aaaaaahhhhh… kamu pinter banget sih zzzzzz… aaaaahhhh” Erangan nikmat yang keluar dari mulut Mama bagaikan sebuah komando bagiku untuk semakin agresif mengoral liang kewanitaannya, liang yang sepertinya semakin basah dan hangat, cairan bening agak lendir kian banyak keluar, mungkin ini yang disebut dengan cairan birahi disaat seorang wanita merasakan nafsu untuk disetubuhi.
Beberapa saat kemudian Mama menundukan badannya, sehingga vagina yang sebelumnya berada dihadapanku raib seketika, berganti dengan wajah cantik nan menggoda yang selama ini hanya bisa aku pandang, wajah itu menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat bibirku, lalu menelusup masuk kedalam mulutku, kurasakan gelitikannya pada dinding mulut dan lidahku.
Setelah melumat bibirku, Mama melepaskan t-shirt yang kukenakan, baru kemudian melucuti sendiri gaun yang masih dikenakannya. rupanya mama sudah tak lagi mengenakan bh, sehingga buah dadanya yang kencang dan padat terumbar dihadapanku. Aku menatap nanar pada dua gunung kembar yang putih montok dengan puting sebesar kelereng berwarna pink kehitaman.
“Doni mau netek?” tawarnya, sambil meremas-remas kedua payudaranya sendiri.
“Mau ma… mau..” jawabku penuh semangat. Mama segera menyodorkan kedua buah dadanya pada wajahku, yang segera kukenyot puting yang sekitar 14 tahun lalu pernah juga kukenyot itu.
Setelah dirasa aku puas menetek, mama mengecup bibirku, menjilati leherku, lalu menggigit-gigit kecil puting tetekku, dan terus turun hingga ke pusar. Sampai akhirnya ditarik lepas celana pendek yang membungkus penis tegakku.
“Woooww… Kontol kamu gede juga ya Don… gak kalah sama punya Papamu nih…” ujarnya, sambil mengurut-urut batang penisku.
“Tadikan kamu sudah mencicipi memek Mama… Sekarang giliran Mama yang mencicipi kontol kamu..” Ah, tak kusangka kalau dari mulut Mamaku itu bisa dengan entengnya mengucapkan kata-kata vulgar seperti itu, kata-kata yang membuatku semakin terangsang.
Pertama-tama lidah itu hanya menjilati sekujur penisku, lalu ditelannya sambil kepalanya bergerak naik turun secara berirama. Ah, setelah sekian lama hanya merasakan dengan tanganku sendiri, betapa jauh berbeda rasa nikmatnya bila dengan kuluman mulut yang lembut seperti ini, mulut Mamaku pula.. wanita yang selama ini menjadi hayal mesumku.
“Zzzzzzzzzz… aaaaaaaahhhhhhhh… terus maaaa… kenyot terus kontol Doni maa… sedeeeeepppp…” racauku, sesekali Mama melirik kearahku sambil mulutnya tetap mungulum penisku.
Beberapa saat kemudian mama menghentikan kulumannya, bangkit dan memagut mulutku dengan rakus hingga membuatku sulit untuk bernafas, namun aku justru menyukainya, kutelan ludah mama yang menetes dimulutku. sepertinya mama menyadari kalau aku kerap meneguk air liurnya, hingga sepertinya ia sengaja menumpahkannya dimulutku sambil kami tetap berpagutan.
“Kamu suka meminum air ludah mama ya sayang..?” tanyanya, setelah melepaskan pagutannya.
“Iya ma… Doni suka..” jawabku jujur
“Doni mau lagi sayang.?” tanya Mama, sambil mengusap-usap rambutku.
“Mau ma…” jawabku, setengah memohon.
“Ih, dasar anak mama nakal.. Ayo buka mulut kamu Aaakkk..” ujarnya, setelah mencubit pipiku.
Kubuka mulutku lebar-lebar dengan menghadap keatas, menantikan “hadiah istimewa” yang bakal diberikan Mamaku yang kini berdiri dengan mulut sekitar 30cm diatas mulutku.
Plehh… cairan kental keluar secara perlahan dari mulur mama, sifatnya yang kental membuatnya tak langsung masuk kedalam mulutku, melainkan terlebih dulu menggantung dan masih terhubung dengan mulutnya, sebelum akhirnya jatuh dimulutku dan langsung kuhirup dengan antusias. Beberapa kali mama menumpahkan ludahnya dimulutku, namun rasanya dahaga ini masih tak terpuaskan.
“Doni… kamu pingin ngentotin Mama enggak?” tawarnya, Ah, sebuah penawaran yang menggoda.
“Mau ma.. mau..” jawabku bernafsu.
“Ah, tapi besok aja deh ya… Udah malem nih..” jawabnya
“Yaa… sekarang aja deh ma.. pliss..” mohonku, aku tau mama hanya menggodaku, itu dapat kulihat dari senyum nakalnya.
“Besok aja deh… kan udah malem sayang..” namun tangannya justru mengurut-urut batang penisku.
“Yaa.. mama.. tega deh..” keluhku
“Oke deh ngentotnya sekarang… Aduh segitu sedihnya anak mama…”
“Horeee… sekarang ya ma… yesss..” sorakku.
“Eiiitt… jangan seneng dulu, ada saratnya…” ujarnya, sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya didepan wajahku.
“Apa saratnya?”
“Saratnya kamu harus minta ngentotnya dengan ucapan yg hot.. yg sehot mungkin..” paparnya
Aduh, bagaimana ini.. mungkin yang dimaksudkannya adalah dengan kata-kata yang vulgar, seperti yang sering dia ucapkan itu… tapi bagaimana ya? Ah, baiklah..
“Oke deh ma.. Doni siap..” beberapa saat setelah aku berpikir.
“Ya sudah ayo dimulai…” tantangnya, sambil bersedakep.
“Mamaku sayang.. Ngentot yuk ma… Kontol Doni udah gatel nih ma… pengen ngentotin memek mama, sampai mama bunting…” rayuku dengan penuh percaya diri.
“Wooowww… so sweet… romantis sekali rayuanmu itu sayang… sampai mama terbuai.. Ayo sayang buntingin mama…” Ah, sepertinya kata-kata yang kurangkai itu berhasil membuatnya terbuai, yang langsung melangkahkan kakinya kearah tempat tidur sambil menggengam batang penisku, sehingga aku hanya menguntil dari belakang sambil sesekali meringis karna batang penisku ikut tertarik.
Mama telah berbaring telentang diatas tempat tidurku, sambil tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya
“Ayo.. katanya mau ngentotin mama… mau buntingin mama… koq malah bengong disitu.. ayo sini sayang..” ujarnya, saat aku hanya duduk dibibir ranjang sambil menatap dirinya yang menggosok-gosok memeknya.
Segera aku memposisikan diri berlutut didepan mama, dengan batang penis mengarah pada liang vaginanya.
“Nah, gitu dong… Sekarang masukin kontol kamu kelobang memek mama.. sini mama bantu.. iya.. tekan.. haaapp… pinter anak mama…” Mama membimbingku dengan cara memegang batang penisku dan mengarahkannya keliang vaginanya, hingga akhirnya seluruh batang penisku tenggelam didalamnya. Ah, nyamannya penisku berada didalam vagina mama, hangat rasanya, sesekali kurasakan kedutan-kedutan lembut dari otot-otot vagina mama bagai meremas-remas batang penisku…
“Sebelum kamu genjot.. Kasih mama hadiah dulu dong sayang… aaakkkk” pintanya, seraya membuka mulutnya lebar-lebar.
“Hadiah apa ma?” heranku.
“Ludahi mulut mama sayang… seperti yang tadi mama kasih ke kamu… aaaakkkk” Aku mulai paham apa yang dimaksud oleh Mama.
“Oke deh ma… siap-siap ya ma…” pleh… beberapa kali cairan kental ludahku berpindah tempat kedalam mulut Mama, yang langsung ditelannya dengan tanpa sisa. Ah, mengapa aku begitu menyukai sensasinya itu, momen dimana cairan ludahku berpindah kemulut mama.. Ah, sesuatu sekali.
“Ayo, sekarang digenjot kontolnya sayang…” segera kuikuti apa yang dipintanya itu, dan nafsu birahikupun memang sudah begitu tinggi, dan ingin kulampiaskan sekarang juga.
Pinggulku mulai bergerak maju mundur untuk mempenetrasikan batang penisku didalam liang vaginanya. Ah, kesampaian juga impianku selama ini untuk menyetubuhi mama, semoga saja ini bukan yang terakhir, aku tak ingin cepat-cepat menyudahi kebersamaan yang indah bersama mama seperti ini.
“Iya… nyantai aja sayang… jangan gugup.. nah begitu… iihh.. anak mama mulai pinter nih… aaaauugghhhh nikmaaaaaattttt…” Ah, mama begitu seksi sekali dengan ekspresi seperti itu, ekspresi sedang merasakan nikmat, nikmat oleh hantaman penisku… anak kandungnya sendiri.
“Iya… terus sayang… entotin mama yang lebih kuat sayang… aaaahhh.. buntingin mama sayang.. buntingin ibu kandungmu ini… aaaaaauuugghhhh…” racau mama, yang membuatku semakin bernafsu, hingga kurasakan sesuatu ingin mendesak keluar dari diriku… ya, sepertinya aku akan orgasme.
“Aaaauuuuggghhhhhh… Doniiiii… mama sampai nak… aaaauugghhhh…” ah, sepertinya mama juga demikian.. dan ah… aku tak tahan.
“Mamaaaaaaaaa… Doni juga keluar maaaa… aaaaaaaagghhhhhhhh…” pekikku mengiringi semprotan sperma yang menyirami rahim ibu kandungku itu.
“Iya sayang… taburi benihmu didalam tahim mama sayang… iya yang banyak ya sayang… biar mama cepat bunting… aaaaaaaggghhhhh…” racau mama, bagai orang kesurupan, seiring dengan puncak kenikmatannya yang dicapai, yang berlangsung secara berbarengan denganku.
Beberapa saat setelah itu, tubuhku ambruk diatas tubuh Mamaku, dengan masih batang penisku bersarang dalam liang vaginanya. kurasakan kenyalnya buah dada mama didadaku.
“Iih… anak mama nakal nih… masa’ ibu kandungnya sendiri dientotin sih…” godanya. sambil memencet hidungku.
“Abis mama napsuin banget sih…”
“Emang sejak kapan sih.. kamu mulai nafsu ingin ngentotin mama?”
“Mmmmm… kapan ya? Kayaknya mulai kelas 6 SD tuh ma…”
“Dasar kamu… masih SD aja udah mau ngentotin mama…”
“Oh iya ma… nanti kalau benar-benar mama hamil bagaimana ma?”
“Kalau hamil ya terus melahirkan.. terus punya anak…” jawab Mama dengan santainya.
“Terus kalo Doni punya anak gimana dong ma? Kan Doni masih sekolah..”
“Ya, anaknya kamu yang uruslah.. kamu yang momong.. kamu ke sekolah sambil bawa anak kamu…”
“Orang lain kalo punya anak, kan istrinya yang urus anaknya ma…”
“Tapi kan kamu gak punya istri.. aku kan mama kamu bukan istri kamu… jadi kamulah yang momong anakmu sendiri.. kesekolah sambil gendong bayi.. trus bikinin susunya… kalo abis pup diganti popoknya.. gitu… Nanti temen-temen kamu pada ngebuli kamu semua deh.. Hey, lihat tuh si Doni.. kecil-kecil udah punya anak…
“Aaaaeeeng… mama kok gitu… gak mau.. gak mau ah…” rajukku
“Ya, emang harus begitu… kan kamu yang bikin… kamu yang ngentotin mama… ya harus tanggung jawab dong…”
“Aaaaeeng… mama jahat nih… Doni kelitikin nih… tik.. kitik.. kitik.. kitik…”
“Hi.. hi… hi… Aaawww.. aaww… ampun.. ampuuuunn… udah don.. aaww… hi.. hi… hi… aaaww… geli ah..”
Dan pada keesokan paginya Papaku pulang dari kunjungan kerjanya di daerah, dan semenjak itu pula aku dan mama tak lagi memiliki kesempatan untuk melakukannya, walau hati ini sebenarnya ingin sekali untuk meyetubuhi Mamaku lagi, namun dengan adanya Papa dirumah tentu itu amat sulit untuk dilakukan. Pernah aku mendesak mama untuk datang secara mengendap-endap kekamarku pada tengah malam setelah papa tertidur, tapi sepertinya mama tak memiliki keberanian untuk itu.
“Mama gak berani sayang… tolonglah kamu mengerti posisi mama… Nantilah kita atur waktu yang tepat …” itulah yang dikatakan mama. dan demi kebaikan kami tentulah aku memang harus mengerti keadaan itu.
Yang masih bisa aku lakukan adalah hanya sekedar mencium mama sambil kutelusupkan tanganku kebalik celana dalamnya, jari jemariku dengan lincah mengobel-ngobel liang vaginanya, sementara tangan mamapun melakukan hal yang sama dengan meremas-remas penisku.
Biasanya kami lakukan itu didapur, gudang atau dimanapun yang kebetulan tak ada orang lain disana, itupun harus dengan ekstra hati-hati, dan pandai-pandai pasang mata telinga. Namun semua itu justru membuatku semakin tersiksa, karna sifatnya tanggung, tidak sampai tuntas dalam artian hingga mencapai orgasme, teman-teman bilang istilahnya kentang.
Buntut-buntutnya aku memakai cara lama lagi, yaitu onani. Namun bedanya kali ini, saat aku ingin onani, terlebih dulu aku informasikan pada mama, dan kusuruh mama untuk berpura-pura membaca buku dikursi tak jauh dari kamarku, dan tentu saja mama telah mengerti maksudku, sehingga mama biasanya akan menyingkap dasternya hingga paha dan selangkangannya terlihat olehku yang mengintip dari sela-sela jendela kamar.
Mama cukup pandai untuk melakukan itu seolah-olah dasternya tersingkap secara tak sengaja, bahkan sering mama sengaja tak memakai celana dalam lagi, sehingga liang vaginanya yang indah terumbar jelas untuk menjadi pusat hayalku saat onani. Dan yang membuatku terkesan, pernah satu kali saat mama melakukan itu, vaginanya dalam keadaan tersumpal oleh dildo berwarna hitam.
*******
Dan kesempatan yang aku tunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga, walaupun hampir satu minggu aku menunggunya. Ya, sekarang inilah saatnya.. saat kami akan menghadiri pesta perkawinan saudara sepupuku diBandung. Resepsi perkawinan yang sebenarnya berlangsung esok hari, namun sepagi ini kami telah berangkat menggunakan mobil pribadi yang dikendarai sendiri oleh mama.
Mama memang pandai dalam membuat alasan yang masuk akal, seperti dikatakannya bahwa mama harus terlebih dahulu datang satu hari sebelum hari H, karna diminta bantuannya oleh Tante Wiwik dalam urusan persiapan pesta. Dan disaat Papa menanyakan mengapa tak memakai sopir pribadi saja, mama menjawabnya bahwa mama ingin belajar mandiri, tak ingin tergantung pada sopir, toh dari Bandung ke Jakarta hanya beberapa jam saja, lebih baik sopir pribadi melayani antar jemput Papa dan Nanda karna lebih membutuhkan.
Kendaraan yang kami gunakan kini tengah melintasi tol Cipularang, dengan kecepatan yang bisa dibilang santai seperti ini, menurut mama bisa tiga jam baru tiba di Bandung. Ah, masih lama sekali, padahal aku sudah begitu rindu dengan hangatnya kedutan otot-otot vagina mama pada penisku. Untuk memaksakan pada mama agar menambah kecepatannya terlalu beresiko, aku tau mama tak terlalu piawai dalam berkemudi secara ugal-ugalan, dan yang terpenting adalah keselamatan.
“Nanti sampai di Bandung kita langsung kehotel saja ya don… besok sore baru kita meluncur kerumah tante Wiwik..” papar mama, sambil mengemudikan kendaraannya.
“Iya deh ma… atur aja..”
“Lumayan kan don.. satu hari lebih kita ber sik asik.. sik asik..” sambungnya lagi
“Apa itu ma? Sik asik.. sik asik..” tanyaku sekedar memastikan, walau sebenarnya aku tau apa maksudnya itu.
“Sik asik… artinya melakukan yang asik asiklah… kita entot-entotan.. sampai leceeeeettt…”
“Ih, mama kalo ngomong suka gitu deh… bikin Doni jadi tambah gak tahan aja..”
“Gak tahan mau ngapain emangnya? Mau boker?” goda mama
“Gak tahan pengen cepet-cepet mau ngentotin mama dong..”
“Sabar dong, sayang… ditahan aja dulu ya.. biar nanti kalau sudah sampai dihotel tambah hot dan meletul-letup..”
“Iya deh ma… Doni tahan..”
Untuk beberapa saat kami hanya terdiam, jalan tol dipagi ini cukup lancar, semoga saja tetap lancar sampai Bandung, sehingga nafsu birahiku yang mulai berontak ini tak semakin lama tertahan karna kemacetan lalu lintas.
“Don.. koq bengong aja..” Sapa Mamaku tiba-tiba.
“Abis mau ngomong apalagi ma..” jawabku malas
“Ngomong apa kek.. biar gak bete gitu… Oh iya, mama mau tanya nih.. kira-kira seks macam apa yang ingin sekali kamu mau cobain sama mama nanti?” Ah, yang sebelumnya aku sudah mulai agak ngantuk, kini mulai bugar kembali dengan pertanyaan mama yang satu ini.
“Apa ya? Oh iya ma… Tapi kira-kira mama mau enggak ya?”
“Emangnya apaan sih.. sampe segitunya… lebay ah.. Ngomong aja dong langsung”
“Oke deh… Doni ingin melakukan anal seks dengan mama.. boleh ya ma?”
“Oowwhh.. kirain apaan.. Mau ngentotin lubang pantat mama maksudnya…?”
“Iya ma.. boleh kan ma..”
“Dengan senang hati sayang, mama juga suka koq di anal… Mama akan persembahkan lubang anus Mama untuk dientotin oleh kontol anak mama tersayang…” papar mama, sebuah perkataan vulgar yang membuat syahwatku semakin meninggi.
“Ih, mama… Kayaknya sengaja nih.. kan Doni gak kuat kalo mama ngomongnya gitu terus..”
“Oke deh.. oke deh… mama gak akan ngomong gitu lagi deh.. Ah, dasar nih anak mama sensi banget.. nafsunya gede..”
Tiba-tiba terbersit pikiran nakal didalam otaku. Aku membayangkan seandainya mama menyetir kendaraan dalam keadaan telanjang bulat. Sebetulnya aku ragu-ragu untuk menyatakan itu pada mama, tapi.. ah, bodo amat lah.. cuek aja.
“Ma.. berani gak terima tantangan?” ujarku.
“Tantangan apaan sih..?” tanyanya acuh.
“Mama nyupir sambil telanjang selama dijalan tol…” ujarku sambil cengengesan.
“Apa? Wah gila nih anak…” kejutnya, sambil menengok kearahku sesaat, lalu kembali lagi pandangannya tertuju kedepan.
“Gak apa-apa ma.. lagian pintu tol masuk Bandung kan masih jauh.. nanti kalau kira-kira sudah mau sampai Bandung, menepi saja sebentar untuk pakai baju.. Berani enggak, biar Doni bantu bukain..” mama tersenyum mendengar penjelasanku, ah.. sepertinya mama tertarik.
“Boleh juga sih.. lucu juga.. Tapi kan dari luar keliatan lho don.. Tapi gak apa-apa juga sih.. jalannya lancar ini.. Gak mungkinlah ada mobil yang akan berlama-lama dekat dengan kita… Oke deh mama setuju.. tapi kamu telanjang juga lho…” aku terdiam sejenak mendengar tantangannya untuk mengajakku juga ikut telanjang.
“Oke deh ma.. Doni setuju..” jawabku setelah berpikir sejenak
“Kalo begitu ya udah kamu buka duluan… nanti mama menyusul..”
“Awas ya kalo bo’ong…” Walau sedikit kawatir mama tidak melucuti pakaiannya setelah aku bugil, namun tetap kulepas seluruh pakaianku hingga benar-benar polos. Kulihat mama melirik kearah batang penisku yg memang telah berdiri tegak semenjak tadi.
“Ayo ma, sekarang Doni udah telanjang nih… sekarang giliran mama juga dong..” ujarku yang hanya dijawab dengan senyum oleh mama.
“Mama… ayo buka, koq malah cengar-cengir gitu…” tagihku, yang mulai sedikit sewot oleh jawaban mama yang hanya seyum-senyum itu.
“Ogah lah… ngapain banget.. kaya orang kurang kerjaan aja..” jawabnya dengan santai, tetap dengan pandangan kedepan jalan raya.
“Yaaahh… mama gitu deh.. Ya udah kalo gitu Doni yang buka..” seraya kubuka paksa t-shirt yang membungkus atasannya.
“E.. eh.. eh.. Apa-apaan sih kamu.. aaaww… koq main paksa gitu sih.. ehh… Doniii.. nanti mobilnya nabrak lho… aaawww… gilaaaa… hi.. hi.. hi.. Doni… Ya.. ya.. robek deh..” Walau tak sepenuh hati, sepertinya mama berusaha menghalangi usahaku untuk melucuti paksa pakaiannya dengan cara merapatkan kedua lengan pada tubuhnya.
“Abis mama curang sih…”
“Oke deh.. oke deh… mama mau… tapi santai aja dong..” Akhirnya, mama menyerah, bahkan membantuku mempermudah melepas t-shirt putihnya. kenapa enggak dari tadi sih.. kenapa juga harus ada acara paksa-paksaan kayak tadi.. Ah, dasar mama, mengapa suka sekali dia menggodaku.
Akhirnya t-shirt berhasil dilepas dari tubuhnya, namun masih terdapat bh berwarna krem yg membalut buah dadanya. Dengan tanpa perlu lagi untuk meminta persetujuannya, kulepas pengait dibelakangnya. Yess.. kini mama mengemudi dengan tanpa pakaian atas, kedua susunya yang bulat besar dan putih tampak menggantung-gantung saat dengan genitnya mama menggoyangkannya sesaat, seraya tersenyum menggoda kearahku.
“Sekarang celananya ya ma? Pokonya harus bugil kayak Doni..” kutekan kebelakang sandaran kursi mama, hingga sejajar rata dengan dudukannya. Nah, seperti ini lebih baik, kini mama duduk dengan tanpa sandaran, hingga mempermudah aksesku dalam melicuti celana lagging hitam yang panjangnya hanya beberapa senti dibawah lutut, bahannya yang stright membuat lekuk bokong dan pinggulnya tercetak jelas.
Akhirnya kutarik lepas celana lagging sekaligus dengan celana dalamnya, yang membuatnya kini bugil seperti diriku.
“Puas ya? Kamu bikin mama telanjang dijalan tol begini… puaaasss…” Ujarnya sambil perhatiannya tetap tertuju kearah depan.
“Enggak apa-apalah ma… kan kita telanjangnya sama-sama ini.. Oh iya ma, Doni rekam ya…” aku mulai mengarahkan lensa kamera hp ku kearah mama, merekam aksi nekat mama yang kini telanjang ditempat umum, walaupun memang masih didalam mobil.
“Jangan macem-macem lho don…” ujar mama memperingati aksi shooting yang kulakukan.
“Gak apa-apa ma, nanti sebelum sampai Bandung sudah Doni hapus lagi koq..” janjiku memastikan agar mama tak perlu menghawatirkannya.
“Ayo dong ma bergaya…” pintaku, mengharap mama untuk bergaya dengan ekspresinya yang nakal dan menantang.
“Ngaco kamu ah.. Lagi nyetir begini bagaimana mau bergaya..?”
“Ya, paling enggak ngomong apa kek… masa’ diem begitu sih.. gak seru ah…”
“Dari tadi kan kita udah ngomong…” sanggah mama
“Maksudnya, ngomong kaya’ reporter-reporter gitu lho ma.. kaya yang di tv itu lho…” mama justru tertawa dengan permintaanku itu.
“Ha.. ha.. ha… Doni… Doni.. ada ada saja kamu itu.. segala orang telanjang lah kamu suruh memberikan laporan liputan…” ujar mama, namun untuk beberapa saat dia tampaknya berpikir sejenak. lalu..
“Oke deh… halo selamat pagi pemirsa.. saya kini tengah melintas di jalan tol cipularang.. arus lalu lintas cukup lancar.. Maaf pemirsa, kalau saya bugil begini… soalnya ini permintaan anak saya agar mengemudi sambil telanjang… oh iya pemirsa anak saya itu kurang ajar banget deh.. masa’ ibu kandungnya sendiri dientotin sih ..
Gila ya? tapi saya juga suka sih pemirsa.. hi.. hi.. hi… Soalnya enak sih ngentot sama anak sendiri.. pokoknya sesuatu deh.. Tujuan kami sekarang menuju ke Bandung, tepatnya kesalah satu hotel… dan kami akan ngentot sampai lecet disana… bayangin pemirsa, rencananya bakalan satu hari semalam full of sex..
Ah, mama memang paling bisa kalau soal yang beginian, mungkin karena memang latar belakang mama dulu dibidang
Broad casting, yang masa mudanya dihabiskan sebagai penyiar disebuah stasiun radio swasta kenamaan di Jakarta, bahkan sempat juga bekerja sebagai reporter disalah satu tv swasta, walau hanya sekitar dua tahun, karna disaat hamil kakakku dia mengundurkan diri, dan semenjak itu hanya menjadi ibu rumah tangga biasa sampai sekarang.
“Mantap ma.. mantap.. Gak sia-sia pernah jadi penyiar tv.. eh, ma.. mendingan mama jadi penyiar tv lagi aja ma… penyiar tv bokep tapi… ha.. ha.. ha…” paparku, sekedar untuk menggoda mama.
“Iya.. tapi aktor bokepnya kamu ya… partner mainnya sama lutung” jawab mama, dengan begitu asal.
*******
Hampir setengah jam kami berbugil ria didalam mobil, beberapa kali kami berpapasan saat mobil lain menyalip, namun sebagian besar dari mereka tak menyadari dengan keadaan kami disini, walau ada juga beberapa yang terkejut dengan memalingkan wajahnya kearah kami seolah tak percaya. Menanggapi ini mama hanya tertawa renyah.
“Eh, Doni… dari pada kamu bengong sambil ngeliatin mama begitu, mendingan kamu onani aja gih…” tawar mama, sesaat setelah melirik kearahku.
“Enggak ah… Dari pada onani mendingan Doni langsung aja…” jawabku, sambil senyum-senyum penuh arti.
“Langsung bagaimana? jangan macem-macem kamu don.. Kalau maksud kamu pingin ML disini sekarang juga, kayaknya enggak mungkin deh…” terang mama memperingatkan.
“Kita coba aja dulu…” jawabku, seraya bergerak maju kearah mama, memposisikan tubuhku tepat dibelakang mama. Posisi sandaran kursi yang sebelumnya telah kulipat kebelakang hingga sejajar rata dengan dudukannya menjadikan tempatku berpijak sambil berjongkok. Kuamati sejenak, rasanya tidak mungkin menelusupkan batang penisku dengan posisi bokong mama duduk seperti itu.
Ah, otak ini memang selalu brilian untuk mendapatkan ide-ide yang gemilang, seraya kuambil bantal kecil untuk sandaran kepala. Kusuruh mama untuk mengangkat pantatnya sejenak, lalu kuselipkan bantal kecil itu diantara bokong dan dudukan kursi. Dan terbukti, begitu bantal kecil itu diduduki, praktis bagian belakang bokongnya tak sampai menyentuh dudukan kursi, melainkan hanya tergantung karna ukuran bantal yang kecil tak mampu untuk menampung bokong bulatnya.
Yes, kini telah ada celah yang memungkinkan untuk menelusupkan batang penisku kedalam… Ah, sepertinya untuk kumasukan kedalam vaginanya terlalu sulit, dengan posisi seperti itu liang vaginanya praktis tertutup dan sulit dijangkau, sedang yang paling memungkinkan dan mudah dijangkau adalah liang anusnya.
“Kayaknya tetep susah don, kalau kamu mau entotin memek mama dengan cara begini… kalau mama mesti nungging, jelas gak mungkin dong sayang…” jelas mama, seolah merasa tak yakin kalau ideku bakal terlaksana.
“Siapa yang mau entotin memek mama.. yang akan Doni toblos kan lubang pantat mama…” ujarku yang kini mulai meraba-raba liang dubur mama itu.
“Ah, dasar kamu anak pinter.. oke deh, mama juga udah kepingin nih ngerasain kontol anak mama menganal lubang pantat mama… ayo sayang, langsung toblos aja…” ujar mama, seraya sedikit menundukan tubuhnya dan menyorongkan bokongnya kearahku.
Tanpa menunggu lebih lama, segera kutancapkan batang penisku yang telah berdiri tegak kedalam liang anus mama. Ah, ternyata cukup sulit, sepertinya terlalu kering.
“Dikasih ludah dulu dong kontolmu sayang…” saran mama, yang segera kuturuti untuk membaluri penisku dengan air ludah yang sebelumnya kutampung pada telapak tanganku.
“Oke deh, cukup.. langsung ditancepin aja sayang…” pinta mama, yang segera kudorong ujung penisku yang telah penuh oleh olesan air liur kedalam liang anusnya. Bless… terbukti memang ampuh, pelumasan yang cukup membuat batang rudalku mudah saja menembus lubang pelepasannya, yang diikuti oleh erangan lirih mama.
“Uuuuuugghhhh… mantep sayang.. Ayo digenjot…” segera kukayuh pinggulku maju mundur secara berirama. Berbeda dengan liang vagina, lubang yang satu ini lebih seret dan menggigit. namun yang membuatku tertarik dengan anal seks adalah sensasinya itu, sensasi liar dimana melakukan seks dengan ketidak laziman, setidak lazim diriku yang menyetubuhi ibu kandungku ini.
Walau liang anus mama kini telah terisi oleh batang penisku yang berpenetrasi didalamnya,
mobil yang kami tumpangi masih melaju dengan sebagaimana mestinya, konsentrasi mama dalam mengontrol kemudi kendaraan masih terjaga. dari mulutnya terdengar erangan dan rintihan bahkan racauan. Sepertinya mama menikmati aksi yang kulakukan ini, yang membuatku semakin semangat mengocokan batang penisku didalam anusnya.
Dengan kaki berpijak pada sandaran kursi yang aku luruskan hingga mendatar, pantatku bergerak maju mundur, kedua tanganku meremas buah dadanya. Sesekali lidahku menjilat-jilat pada leher dan tengkuknya.
“Uuuuuggghhhh… terus sayang… terus entotin lubang pantat mama sayang… kamu suka kan sayang… inikan yang selama ini memang selalu kamu impikan… iyakan sayang?” racau mama, sambil tatapannya tetap tertuju kedepan, Namun dari cermin kulihat mata itu terlihat sayu dan separuh terpejam.
“Iya ma… Doni suka ma… nanti dihotel Doni entotin lagi lubang pantat mama ya ma…? Uugghh… uugghh.. uugghh”
“Iya sayang… tentu dong… kamu puas puasin deh nyodomi ibu kandungmu ini… wahai anakku yang doyan ngentot hi.. hi.. hi..”
“Aaaahhhh… mama nih, bikin Doni gak kuat aja… tuh kan ma.. aaaahhhhhhhhh…” omongan mama vulgar dan seronok itu bagaikan kata-kata yang indah yang membuai birahiku, hingga merangsang sendi-sendi sensitifku untuk bereaksi, sebuah reaksi puncak yang menghantarkan kenikmatan orgasme yang diikuti dengan semburan sperma yang dipagi itu menyirami lubang pelepasan mama.
Hanya beberapa detik kenikmatan puncak itu kureguk, kini tubuhku terdiam, dengan batang penis masih tertanam didalam anusnya, kurangkul tubuh mama dari belakang dengan pipi kananku kurebahkan pada punggung mama.
“Gimana puas sayang? Sedaaaaaaaapppp…” ujar mama dengan setengah menggoda
“Iya ma… Doni puaaass… banget” jawabku dengan masih menggelendot dibelakang tubuh mama.
“Tapi sekarang malah mama nih yang kentang…”
“Maaf deh ma… nanti deh di hotel kita saling puas-puasin…” ucapku dengan rasa sedikit menyesal karna sepertinya mama merasa birahinya yang mulai memuncak justru tidak mendapat pelampiasan hingga tuntas.
“Enggak apa koq sayang… santai aja lagi…” hibur mama, yang diikuti mengecup lembut rambutku dengan memalingkan kepalanya kebelakang.
Beberapa saat kemudian aku kembali duduk dikursi sebelah mama, kulihat diatas permukaan jok sekitar kursi mama tampak menggemang cairan kental dengan aroma yang khas. Sepertinya air maniku mulai menetes keluar dari dalam lubang anusnya.
“Wah, peju kamu pada belepotan dikursi mama nih don… banyak banget keluarnya ya..?” ujar mama setelah menengok sesaat kearah belakang pantatnya.
“Iya deh ma.. Doni bersihin ya?” ujarku, seraya mengambil beberapa lembar tisu.
“E-eh jangan… siapa yang suruh bersihin.. biarin aja Doni, mama suka koq sama aromanya…”
“Masa’ suka sih, sama bau begini.. kan agak anyir-anyir gimana gitu ma…” heranku sambil mengembalikan lagi tisu pada kotaknya.
“Justru baunya itu yang bikin mama bergairah Doni… Oke deh kalau kamu pikir mama hanya mengada-ada.. sekarang mama mau tunjukin kamu bagaimana mama begitu menyukainya..” paparnya, sambil sesekali menghirup nafas dalam-dalam, bagai orang yang tengah mengendusi aroma makanan yang menurutnya lezat.
“Sekarang kamu ambil peju kamu itu pakai jari kamu..” perintahnya, aku masih tertegun untuk beberapa saat. Aku mulai berpikir, apakah selanjutnya mama akan…? Ah, aku rasa mama tak akan melakukan hal menjijikan yang sering aku lihat difilm-film porno itu.
“Koq bengong… ayo tempelin aja pakai jarimu, lalu kamu suapin kemulut mama…” Busset… rupanya mama benar-benar ingin mencicipinya. Akhirnya kuturuti keinginannya, jariku mulai menyapu genangan air mani pada jok sekitar bokong mama dengan jari tengah dan telunjukku.
“Aaaaakkkkk… ayo suapin mama sayang..” mulutnya membuka, seolah tak sabar untuk menerima jariku yang telah dilumuri cairan kental ini.
Kedua jariku kumasukan lada mulutnya, yang langsung dikulumnya beberapa saat. Gila mamaku ini, benar-benar maniak. Ah, tapi mengapa aku justru menyukai aksi mama yang sebenarnya menjijikan itu. Aku menyukai momen dimana dengan rakusnya mama melomoti jari jariku, terutama saat dengan nakalnya mama melirik kearahku.
“Lagi sayang…” pinta mama, saat dirasakannya sperma dikedua jariku telah habis ditelannya.
Kuulangi apa yang kulakukan itu hingga beberapa kali sampai cairan lental dikursi benar-benar habis, bahkan seolah masih nelum puas, mama menyuruhku untuk memasukan jariku kedalam liang anusnya untuk mengorek sisa-sisa speema yang masih bersarang didalamnya, setelah beberapa lama kutarik lagi keluar, aroma khas lubang dubur dan sperma berpadu menjadi satu, yang kembali kumasukan kedalam mulutnya untuk dikulum.
“Ih, mama jorok deh…” godaku, setelah selesai “ekstra puding” mama untuk pagi itu. Mama hanya tersenyum menanggapi godaanku itu, seraya tangan kirinya meraih kepalaku dan mengecup bibirku. Ah, masih kurasakan aroma anyir khas air mani pada mulutnya itu.
*******
Untuk beberapa saat kami masih bertelanjang bulat, hingga akhirnya mama menepikan mobil untuk mengenakan kembali pakaian kami. Setelah itu mobil kembali melaju, menuju hotel yang akan menjadi ajang untuk mencurahkan segala ekspresi birahi kami, ibu dan anak ini.