Keluarga Pak Trisno 4
“Kayaknya ini lebih asik ketimbang hotel don.. dan lebih bebas, karna cuma kita berdua aja yang ada disini..” terang mama. Memang didalam sebuah bangunan yang letaknya dikawasan perbukitan itu hanya ada sebuah villa, yang kebetulan kami sewa sekarang ini, dan pada radius sekitar ratusan meter lagi baru terdapat bangunan villa yang lain.
Seorang penjaga Villa hanya memberikan nomer telpon pada mama jika kami membutuhkan sesuatu, entah itu makanan atau apapun, dan mereka akan mengantarnya. Sebenarnya bangunan ini terlalu besar untuk kami berdua, bahkan jumlah kamarnyapun ada empat, dilengkapi dengan kolam renang bernuansa alami, yang didisain bak sebuah telaga dengan dinding batu, dan dasarnya adalah hamparan batu-batu kali seukuran kepalan tangan, yang sumber airnya langsung dari mata air disekitar situ dan terus mengalir kearah sungai dibawah villa, sehingga airnya senantiasa fresh dan bersih, namun juga teramat dingin.
*****
Belum satu menit setelah pria penjaga Villa itu meminta diri, bahkan kamipun masih berada disekitar aea teras, mama langsung melumat bibirku untuk beberapa saat.
“Ayo don… kamu harus puasin mama.. sejak dimobil tadi kamu bikin mama kentang.. kini saatnya mama minta pertanggung jawabanmu..” ujarnya, seraya menarik lenganku menuju kedalam Villa.
Disofa ruang santai mama duduk sambil melepaskan celana blue jeansku, aku yang masih berdiri hanya memperhatikan apa yang diperbuatnya, hingga beberapa saat kemudian seluruh pakaian yang membalut tubuhku telah terhambur diatas lantai, meninggalkan tubuhku yang bugil tanpa selembar benangpun.
Batang penisku yang masih separuh berdiri bagai tenggelam didalam mulut mama yang mengulumnya dengan gerakan kepala maju mundur secara berirama, alhasil peniskupun akhirnya berdiri tegak, sehingga mulut mama harus lebih lebar lagi dalam membuka.
Tak beberapa lama kemudian, mama menyuruhku naik diatas sofa dengan posisi menungging membelakangi mama yang kini duduk diatas meja.
Sambil berpegangan pada sandaran sofa, pandanganku menoleh kebelakang, memperhatikan mama yang kini telah melucuti pakaiannya hingga bugil. Entah apa lagi yang akan dilakukannya, untuk sementara tangannya hanya mengelus-elus buah pantatku, sambil sesekali tersenyum kearahku
Mmmhhh… rupanya lidah mama menjilat-jilat pada anusku.. Aaahhh… sedapnya, aku hanya mengerang nikmat merasakan lembutnya lidah mama yang menggelitik-gelitik liang duburku.
“Zzzzzzzzz… Aaaaaaaggghhhhhhh… enak maaa…” erangku, tanpa kusadari tanganku meremas kuat pada sandaran sofa yang menjadi peganganku. Melihat reaksiku sepertinya lidah mama semakin liar menari-nari disekujur anusku, bahkan sempat aku terperanjat kaget saat kurasakan lidah itu seperti menerobos masuk kedalam rongga anusku.
“Enak ya? Tadi dimobil kamu mengAnal mama… disini malah Anal kamu yang mama servis…” Ujar mama, seraya menyudahi aksi rim-jobnya.
“Ayo, sekarang giliran kamu yang menyervis mama..” perintah mama, dibarangi dengan menampar pelan buah pantatku, seraya menghempaskan bokongnya disofa, lalu mengangkang sambil menyibak lebar liang vaginanya dengan dua tangannya.
Sambil berjongkok pandanganku terpaku pada keratan daging merah diselangkangan mama dengan liangnya yang menganga karna disibak dengan dua tangannya. Dan wajah itu, wajah mama yang selalu membuatku tergoda itu tersenyum sambil sesekali memain-mainkan lidahnya memancing diriku.
“Koq dipelototin aja sih? Dimamam dong sayang…” dimamam? Ah, mama.. itukan kata yang selalu digunakannya saat aku kecil dulu, saat dengan sabarnya mama menyuapi diriku. Untuk urusan mengurus anak, mama memang tak pernah mempercayakannya kepada pembantu atau babby sitter, bukan karna memperhitungkan soal biaya yang harus dikeluarkan, tapi faktor untuk ingin memberikan yang terbaik bagi anaknyalah yang menjadi pertimbangan utama, bagi mama sentuhan seorang ibu dengan babby sitter tetaplah berbeda, sepengalaman apapun seorang babby sitter, sentuhan seorang ibu tetap yang terbaik bagi anak-anaknya.
Bahkan hingga kelas satu SDpun terkadang mama masih menyuapi diriku, itu biasanya disaat aku malas untuk makan. “Aduh Doni… nasinya dimamam dong sayang…” itulah kata-kata yang selalu kuingat. dan disaat aku hanya terdiam, itu artinya mama harus menyuapi diriku yang sebenarnya saat itu telah memasuki usia yang tak pantas lagi untuk disuapi.
Tapi yang saat ini ditawarkannya bukanlah sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya, daging mungkin iya.. tapi daging mentah. Daging mentah berwarna kemerahan yang berkilat karna cairan yang melumasinya. Daging yang dalam satu tahun belakangan ini hanya menjadi objek hayalku, yang hanya dapat aku lihat dengan cara mengintip secara bersembunyi-sembunyi saat mama mandi, atau saat ML dengan papa.
Lidahku mulai terjulur, menjilati bibir vagina mama, sesekali jari jemarinya yang tengah menyibak liang vaginanya ikut tersentuh oleh lidahku.
“Aaaaaaggghhhhh… anak mama makin pinter aja jilatin memek mama… uuuuuggghhhhhh…” gumam mama, sambil telapak kaki kanannya menyentuh-nyentuh batang penisku, hingga kuserong agak kekiri posisi selangkanganku untuk memberikan akses pada kaki mama agar lebih mudah mengurut-urut penisku dengan telapak kakinya.
“Itil mama juga dimamam dong sayang… kamu tau kan itil itu yang mana?” pinta mama, terus terang akupun masih ragu yang mana sebenarnya benda yang dimaksud mama, sehingga aku hanya mengulumi gelambir vagina mama yang lumayan lebar itu.
“Bukan itu sayaaaang… itil itu yang ini lho… yang diatas memek ini… nih yang ini, ayo jilat sayang…”
Organ mungil yang dimaksud mama, yang letaknya disudut paling atas diantara bibir vagina kini mulai kujilati, dan beberapa detik kemudian kuhisap dan kuemut bagaikan bayi yang menetek puting susu.
Shhrruuuffffttt… shhrruuuffffttt… suara sedotan mulutku yang menghisap gemas klitoris mama bagai berkolaborasi dengan rintihan mama dalam mengekspresikan nikmat yang dirasakannya.
“Mmmmmhhhhh… lezat don… uuuuhhhggggghhhhh… terus jilatin itil mama… emut don… aaaagghhhh…”
Kedua tangan mama yang sebelumnya digunakan untuk menyibak bibir vagina, kini beralih menjambak pelan rambutku, sementara telapak kaki kanannya ditekan dan diputar-putar pada batang penisku yang bediri tegak.
“Ma, Doni jilatin lubang pantat mama ya?” pintaku, setelah beberapa menit mengoral vagina mama.
“Ooowwwhh… kamu ingin ngerasain anus mama juga? Aduh anak mama nih, udah ngentotin anus mama, sekarang masih mau mencicipinya juga ya..” ujar mama, dengan gayanya yang menggoda, seraya memposisikan tubuh bugilnya menungging diatas sofa, posisi yang sama saat tadi mama menjilati anusku, sehingga mempertontonkan bokong bulatnya padaku yang masih berjongkok diatas lantai.
“Ayo sayang, katanya mau nyicipin lubang anus mama… Ayo dimamam dong sayang…” Ah, mama betapa menggodanya, terutama saat dengan genitnya mengedipkan mata indahnya kearahku sambil mencolok-colok liang anusnya dengan jari telunjuk, ah, sebuah aksi yang menantang.
Sikap mama yang seperti itu benar-benar membuatku tergoda, meja pendek yang berada didepan sofa kini menjadi tumpuanku yang jongkok menangkring diatasnya, sehingga posisi wajahku sejajar tepat dengan bokong bulat yang kini tengah dicolok-colok oleh jari telunjuk mama. Aku hanya terpana dengan pemandangan yang hanya pernah aku saksikan dilayar monitor laptopku dalam film porno itu.
“Eh, koq malah bengong aja sih… Nih mama kasih bonus biar sadar hi.. hi.. hi…” Yang dimaksud bonus disini adalah dengan memasukan jari telunjuk yang sebelumnya digunakan mencolok liang anusnya kedalam mulutku, ah, betapa konyolnya mama, namun bibirku justru merapat mengulum jari telunjuk yang menebarkan aroma khas liang anus, dan oleh mama justru dicolok maju mundur didalam mulutku.
“Woowww… sudah mama duga, anak mama pasti doyan..” ujarnya, seraya kembali memasukan jari telunjuknya dalam liang anus untuk kemudiam dicolok-colok beberapa saat dan kembali dimasukan kedalam mulutku yang menerimanya dengan antusias.
“Sudah deh, sekarang langsung kamu mamam aja lubang anus mama ya sayang…” ujarnya, diikuti dengan meraih bagian belakang kepalaku dan mendekatkan kearah anusnya.
Lidahku mulai bergerak mengelitik sekitar disekitar lubang pelepasannya, aroma khas yang menebar membuatku justru semakin terangsang, hingga lidahku bergerak lebih aktif dan mulai menerobos hingga masuk kedalam rongganya.
“Mmmmmmm… uuuugghhhhh… nikmat don… aaagghhhhh… kamu pinter banget sih sayang… mmmmmhhh… iya terus sampai dalam sayang… nah, begitu… aaagghhhh…” racau mama, sambil sesekali memejamkan matanya.
Sekitar lima menit aku mengoral liang anusnya, gerakan lidahku sepertinya betul-betul membuatnya tak tahan, hingga kemudian mama bangkit, dan dengan tergopoh-gopoh seolah begitu tergesa-gesa, dibaringkan tubuhnya telentang mengangkang diatas lantai.
“Cepet don… kamu entotin mama… Mama dah gak kuat nih sayang… cepat tancepin kontol kamu kedalam memek mama… Cepet.. cepet… cepet…” perintahnya, dengan nada sedikit emosional. Ah, sepertinya mama benar-benar dalam keadaan full horny nih.
Dengan agak gugup segera kuposisikan diriku diatas tubuhnya dengan batang penis tepat didepan liang vaginanya. Belum sempat aku mendorongnya, tangan mama menekan bokongku hingga amblas batang penisku didalam liang vaginanya yang telah begitu basah.
“Ayo langsung genjot sayang… genjot yang kuat…” seperti yang dipintanya, bokongku bergerak maju mundur dengan cepat dan bertenaga, sambil kedua tanganku bertumpu pada paha montoknya yang putih mulus dan kini sedikit lengket karna berkeringat.
Pok… pok… pok… bunyi benturan pahaku dengan paha mama demikian riuh, bercampur aduk dengan bunyi kecipakan kedua kelamin kami yang tengah perpenetrasi, dan ocehan mama yang tak kalah riuhnya.
“Terus sayang… entotin mamamu yang kuat sayang… Iya bagus begitu… uuuggghhhhh… kamu memang anak mama yang berbakti pada orang tua sayang… kamu bikin mama bahagia… Mama bersukur punya anak seperti kamu yang sudah mau ngentotin mamamu, ibu kandungmu sendiri… aaaggghhhhh…” Ah, mama ini kalau sudah horny tingkat tinggi..
“Kamu mau buntingin mama ya sayang? Iya kan? Kamu mau mama beranakin anak kamu kan? Terus nanti kalau anaknya cowok, besok besar mau ngentotin mama juga kan? Harus dong… kamu jangan cemburu ya sayang… uugghhhhhh… Tapi kalo anaknya cewek pasti kamu entotin juga kan? Iya kan sayang..? Iya dong…
harus.. kita ngentotnya sama-sama ya sayang… uuuggghhhhh… kamu merawanin anakmu nanti didepan mama ya sayang… mmmmmhhhhh… sedaaaappppp…” Aduh, bener-bener keterlaluan nih, bener-bener gila nih mama, omongan macam apa itu. Tapi.. ah, entah setan apa yang kini tengah berada dikepalaku, kenapa aku justru menyukai kata-kata gila itu.
Hingga beberapa saat kemudian tubuh mama mengejang disertai dengan pekikan keras memcahkan kesunyian didalam villa itu.
“Aaaaaggggggghhhh…” pekik mama, disertai dengan mengguncang-guncangkan bokongnya dengan liar dan menekan-nekan bokongku dengan kedua tangannya, yang bermaksud agar lebih tandas batang penisku menghujam liang vaginanya.
Hanya beberapa detik setelah itu, mama terdiam dan hanya menyisakan nafasnya yang masih tersengal-sengal.
Bosan dengan gaya misionary seperti ini, terlebih mama yang telah klimak dan kini hanya terdiam membuat gairahku sedikit menurun, seraya kucabut batang penisku dari dalam liang vaginanya yang telah bancir dan becek itu.
Aku berpikir sejenak sambil memperhatikan tubuh mama. Ah, enaknya diapain tubuh ibu kandungku ini, hingga timbul ide didalam otakku.
Tubuh mamaku yang hanya berbaring telentang diatas lantai kupegang kedua pegelangan kakinya, lalu kutekuk keatas hingga kedua telapak kakinya menyentuh kepalanya, sehingga pantatnya mengacung keatas dengan liang anus bagai mengarah kelangit-langit.
“Aduuuuhhhhh… mama mau kamu apain sih sayaaang.. koq ditekuk-tekuk begini sih, kayak pemain akrobat aja… pegel tauuuuu…” keluh mama, dengan nada yang sedikit malas karna sepertinya masih letih.
“Doni mau entotin bo’ol mama dengan gaya seperti ini ma… pasti asik deh.. he… he.. he…” ujarku.
“Ada-ada saja kamu don… Ya udah deh, gak apa-apa koq.. kamu boleh melakukan apapun pada mama sayang… terserah yang kamu mau…”
“Horeeeee… siap siap ya ma..” Seraya kuberdiri setengah menunduk, posisi lubang analnya yang menghadap keatas mengharuskanku untuk sedikit menekuk kebawah batang penisku hingga ujungnya berada tepat dimuka liang anus mama.
Bless… Amblas seluruh batang penisku kedalam liang anusnya, kugenjot beberapa saat, lalu kulepas keluar sekedar untuk bermain-main. Pluuupp… batang penis tercabut, menyisakan lubang analnya yang menganga terbuka. Ah, sebuah pemandangan yang erotis bagaimana lubang anus yang terbuka menganga memperlihatkan rongga-rongganya yang berwarna merah jambu.
Hingga kuulangi langkah itu beberapa kali untuk sekedar menyaksikan sensasi lubang anus yang menganga lebar. Kulihat mama hanya menyaksikan tingkahku dengan pandangan mata sayu, namun dengan bibir yang tersenyum. Mungkin merasa lucu dengan tingkahku itu. Hingga timbul ide dari kepalaku, bagaimana kalau bibir yg tengah tersenyum itu kusumbat dengan batang penisku, ya, batang penis yang tentunya kini menebarkan aroma khas lubang dubur.
“Ayo ma… dimamam kontol Doni.. pasti lebih enak deh ma.. kan udah bercampur dengan bau bo’ol mama.. pastinya asik deh ma… Aaakkk.. maaaa… Aaeemmmm… he… he… he…” kusodorkan batang penisku kearah mulut mama, yang segera dikulum oleh bibir yang sebelumnya tersenyum kearahku itu.
“Enak kan ma? He.. he.. he… Mama doyan tuh…” godaku, sambil menikmati batang penisku dikulum oleh mama. Dan beberapa saat kemudian kumasukan kembali penisku kedalam liang anusnya.
“Dasar anak nakal kamu… masa’ mulut mama dijejelin kontol yang habis masuk dari bo’ol mama sih… kan bau sayang…” ujarnya, namun dari nada bicaranya sepertinya mama menyukainya.
“Mama mau lagi kan? Ini ma… aaakkk… aaeemmm…” kembali mama memyambutnya dengan antusias batang penisku, dan dikulumnya bagai menikmati es krim.
Aksi konyol yang kulakukan pada mama memberikan sensasi sendiri bagiku, terutama saat dengan lahapnya mama mengulum batang penisku, sebuah aksi yang merangsang sahwatku, hingga kurasakan sepertinya diriku tak lama lagi akan mencapai puncak kenikmatan.
“Ma.. Doni mau keluar nih… Doni keluarin di memek mama ya? Biar mama cepet hamil.. nanti kan Doni punya anak.. mudah-mudahan aja anaknya perempuan.. biar bisa Doni entotin juga ma…” Astaga, sungguh tak percaya aku sanggup mengatakan itu, padahal pikiran sehatku dan hati nuraniku sesungguhnya tak ingin jika mama sampai hamil anakku, aku tak ingin punya anak, aku masih terlalu muda, dan aku masih ingin sekolah, Ah, sepertinya yang sedang berbicara tadi adalah nafsu birahiku.
“Iya sayang… keluarin peju kamu dimemek mama aja.. dirahim mama.. biar mama bunting ya sayang..” balas mama, menanggapi perkataanku.
Dengan masih dengan posisi yang cukup akrobatik, yaitu kedua kaki mama kutekuk hingga telapak kakinya menyentuh kepalanya, batang penisku kutelusupkan kedalam liang vaginanya, namun kali ini dengan posisi membelakangi mama. Dengan mengangkangi tubuhnya, pinggulku milai bergerak turun naik menggenjot batang penisku didalam liang vaginanya.
Sloopp.. Sloopp.. Sloopp… Suara kocokan penis pada vagina bagai menyemangatiku dalam memacu pinggulku dengan kedua tangan yang bertumpu pada kedua paha belakang mama, hingga akhirnya kurasakan rasa nikmat tiada tara, rasa nikmat yang bersumber pada penisku yang menjalar hingga keseluruh sendi tubuh dan jiwaku, yang diikuti dengan semburan cairan kental yang menumpahi liang vagina mama, posisinya yang seperti itu membuat seluruh tumpahan air maniku tertampung seluruhnya didalam rahim mama.
“Aaaaaaaaaaggghhhh… nikmaaaaaatttt…” pekikku, dengan mata yang separuh terpajam dan mulut menganga dan diikuti dengan gerakan tubuhku yg mengejang-ngejang seiring semburan air mani.
“Iya.. taburkan benihmu sayang… taburkan pejumu didalam rahim mamamu… yeesssssss…” balas mama, sambil kedua tangannya menekan-nekan bokongku dari belakang.
Beberapa detik kemudian gerakan tubuhku terhenti, bersamaan dengan terhentinya semburan spermaku kedalam rahim ibu kandungku.
Fuhhh… mau copot rasanya lututku ini, bersetubuh dengan posisi setengah membungkuk seperti tadi memang cukup memakan tenaga. Kini aku berbaring dilantai disamping mama, yang mengecupku dengan mesra sambil mengelus-elus batang penisku yang mulai mengecil.
“Duh, anak mama untuk hari ini udah dua kali klimaks nih… Waktu dimobil tadi udah muncratin peju kamu di lobang pantat mama, sekarang giliran dimemek mama deh… Masih terasa nih don, hangatnya peju kamu didalam memek mama”
“Iya nih ma… enak banget.. Doni betul-betul puas… tapi pegel juga nih dengkul Doni… posisi kayak tadi bikin capek ma…”
“Gak apa-apa capek sedikit sayang… yang penting kan kita puas, dan yang pastinya kita happy… iya enggak?”
“Iya betul ma… Doni betul-betul happy ma… Doni ingin begini terus setiap hari jadinya..”
“Ya gak bisa dong sayang… kan ada papa… yang penting kita harus pandai-pandai mengatur dan menyiasatinya.. udah deh, untuk yg satu ini biar mama yang atur… tugas kamu cuma ngerawat ini kontol jangan sampai hilang ya… kalo kontol ini sampai hilang, aduh bisa merana deh mama.. hi.. hi.. hi..” ujar mama, sambil terus memainkan batang kontolku dengan sesekali meremasnya dengan gemas.
********
Tak terasa saat itu hampir pukul satu siang, tubuh telanjang kami masih berbaring diatas lantai, dan kami masih bermesra-mesraan bagai sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta.
Bagai seorang gadis yang tengah bermanja dengan kekasihnya, mama menyandarkan kepalanya diatas dadaku, seolah diriku adalah sosok yang dikasihinya, dalam artian kasih seorang gadis terhadap jejaka pujaannya.
“Ma, ngomong-ngomong Doni udah laper nih… mama gak laper?” setelah melakukan aktifitas yang melelahkan namun sangat mengasikan tadi, tentu cukup menguras tenaga, buntut-buntutnya perutlah yang mulai terasa keroncongan.
“Iya sih, mama juga laper… tapi mama maunya begini terus aja don… plis ya don, sebentar aja… mama masih ingin berada didekapanmu sayang… duhai kekasihku kangmas Doni yang tampan…” ujar mama, dengan manja namun juga bernada menggoda, walau sedikit bernada gombal, namun aku sungguh menyukai rayuan mama itu.
“Ih, mama lebay deh…” ujarku, sambil mencubit hidung bangir mama.
“Aaaeeeng… biarin..” ih mama, koq jadi kayak anak abg gini sih.
********
Sekitar satu jam kemudian, setelah mama menghubungi petugas villa yang sebelumnya memberikan nomer telpon, seorang pria datang mengantarkan makanan, yang sepertinya adalah petugas deliverry order dari sebuah restoran disekitar wilayah ini. Dan tentunya kami sudah tak lagi telanjang seperti tadi.
Ayo dimamam sayang… katanya laper..” ujar mama, setelah menata makanan yang akan kami santap diatas meja makan.
Dengan lahap aku menyantap kentang dan ayam goreng cepat saji dari brand yang cukup populer itu, sebenarnya aku lebih menyukai makanan nusantara dari pada makanan cepat saji seperti ini, tapi apa boleh buatlah, ketimbang kami harus keluar villa untuk mendapatkan itu semua, lebih baik menunggu disini sambil bermesraan dengan mama, walaupun harus puas hanya mendapatkan ayam goreng, kentang dan setangkep nasi putih.
Dua potong ayam dan beberapa kentang goreng telah berpindah mengisi lambungku, kecuali nasi putih yang masih belum kusentuh, diseberang meja makan mama masih menikmati hidangannya, walau perhatiannya lebih tertuju pada ponselnya yang diletakan diatas meja.
“Nasinya dimamam dong sayang…” ujarnya, setelah melirik sebentar pada makananku, kemudian kembali perhatiannya terpusat pada smart phonenya. Ah, benda sialan itu sepertinya mulai mengalihkan perhatian mama deriku.
“Enggak ah… kalo disuapin sih mau..” jawabku asal, dengan sedikit ketus. sebenarnya hanya sekedar ungkapan dari rasa kesalku karna perhatian mama lebih tertuju pada pesawat handphonenya itu, bahkan selama makan tadi mama tak mengajakku ngobrol sama sekali, kecuali kata-kata terakhir tadi.
Sepertinya mama menyadari itu, seraya tersenyum dan mengalihkan perhatiannya dari ponsel, berganti menatapku dengan senyum manisnya.
“Beneran mau mama suapin?” sepertinya mama mulai menggodaku.
“Enggak koq ma… Doni cuma asal ngomong aja.. Abis mama sih, melototin hp terus.. makanan mama aja cuma sedikit yang dimakan, mama malah kayak cuekin Doni…” Ah, mengapa aku sesensitif ini, bukankah yg dilakukan mama itu biasa, entahlah mungkin saja disaat-saat seperti ini aku tengah manja-manjanya dengan mama, dan tak ingin perhatian mama beralih dariku.
“Maapin mama deh sayang… eh mama serius lho, kamu mau mama suapin?” tawarnya sambil melirik kearah nasi yang belum kusentuh. Aku masih tak mengerti apa yang mama maksud, dan masih tak tau untuk menjawab apa, dan tiba-tiba mama berdiri, menggeser makanan diatas mejaku sedikit kepinggir, seraya duduk diatas meja tepat dihadapanku.
Sambil duduk diatas meja, mama meyingkap keatas dasternya. Seperti yang telah kuduga mama sudah tak lagi mengenakan celana dalam, sehingga vaginanya terpampang dihadapanku. Ah, sungguh menggodanya mama. Kedua telapak kaki mama ditumpukan diatas pahaku, yang saat itu hanya mengenakan celana pendek basket dengan atasan t-shirt tanpa lengan.
“Sekarang mama akan suapin kamu, dan mama jamin, pasti kamu akan suka…” ujar mama, seraya mengambil sejumpit nasi dari Styrofoam disebelahnya. Nasi dimakannya, namun hanya dikunyah, saat mengunyah tatapannya mengarah padaku yang masih bertanya-tanya apa yang selanjutnya akan dilakukan mama padaku.
“Buka mulutmu…” ujar mama, dengan mulut yang masih terisi oleh nasi yang baru saja dikunyahnya.
“Ayo buka…” ujarnya lagi, setelah aku hanya diam tanpa mengikuti apa yang diperintahkannya.
Sepertinya aku mulai mengerti apa yang akan dilakukan mama, mungkin ini yang dimaksudkannya menyuapi diriku.
Dengan ragu akhirnya aku membuka mulut dengan lebar. Kedua tangan mama memegang kedua pipiku, mengarahkan mulutnya yang terkatup tepat diatas mulutku yang menganga lebar. Seperti yang telah kuduga, mulut yang sebelumnya terkatup itu terbuka, menumpahkan isinya kedalam mulutku. hangatnya “bubur” buatan mama kurasakan memenuhi mulutku, namun aku masih belum menelannya.
“Ayo dimamam buburnya sayang…” ujar mama dengan lembut. Glek.. segera kutelan semua yang diberikan mama, tandas tanpa tersisa. Ah, luar biasa.. ada sensasi nikmat kurasakan dengan apa yang diberikan mama padaku, yang membuatku ketagihan dan ingin mendapatkannya lagi.
“Sedap ma… lagi dong ma… cepetan…” pintaku, sambil kedua tanganku memegang paha mama.
“Iya kan? Mama udah duga, anak mama ini pasti ketagihan…” ujar mama, seraya mencubit pipiku.
Kembali mama menjimpit nasi dan mengunyahnya. Ah, mengapa rasanya begitu lama mama mengunyahnya, sepertinya aku sudah tak sabar menerima makanan yang dilepehkan langsung dari mulut mama. Sambil menunggu, tanganku beraksi dengan mengobel-ngobel liang vagjna mama yang tengah mengangkang didepanku itu.
Beberapa saat kemudian kembali mama menumpahkan isi mulutnya kedalam mulutku yang kali ini langsung kutelan, seolah tak puas dengan rakus kulumat bibir mama hingga kami saling berpagutan beberapa saat.
“Lagi ma… sampai habis nasinya..” bisikku, usai kami saling berpagutan.
Akhirnya seluruh nasi habis berpindah kedalam lambungku, yang seluruhnya dilakukan dengan cara yang spesial oleh mama, Ah, betapa nikmatnya rasa nasi itu, seolah diri ini masih belum puas. Sensasinya itulah yang membuatku keranjingan. Setiap momennya itu bagiku begitu erotis, terutama saat cairan putih kental itu tertumpah kemulutku, rasanya aku ingin agar momen itu berlangsung lama
“Gimana sayang, enak kan?” tanya mama, sambil tangannya membersihkan sisa-sisa nasi yg sedikit belepotan didaguku.
“Luar biasa ma… Pokonya mantap deh.. Mama memang hebat..”
“Siapa dulu dong… Mama gitu loowww…” ujarnya, seraya dirinya turun dari posisi duduknya diatas meja makan, dan kembali duduk dikursi, namun kali ini dia duduk tepat disampingku.
“Doni, tadikan sudah mama tunjukan padamu, bagaimana rasa kasih seorang ibu yang menyuapi makanan pada anaknya…” terang mama
“Iya ma… Doni tau, Terima kasih deh ma…” potongku
“Eit, tunggu dulu.. mama belum selesai bicara.. Dan tidak cukup dengan hanya ucapan terima kasih..” ujar mama, sambil menudingkan jari telunjuknya kearahku.
“Terus harus dengan apa lagi dong ma? Apa dengan Doni harus giat belajar, patuh kepada orang tua, bukankah itu semua sudah Doni lakukan ma… Kan mama bisa liat sendiri dari nilai prestasi sekolah Doni selama ini… Doni juga gak pernah koq melawan atau membatah kepada mama atau papa, Doni selalu menurut…
“Iya, mama tau… prestasi sekolah kamu selama ini cukup baik, bahkan sangat memuaskan.. tapi kali ini bukan itu yang mama maksud…”
“Lalu harus apa lagi dong ma?” tanyaku, dengan wajah sedikit cemberut, namun dengan lembut mama membelai rambutku.
“Begini Doni.. Aduh, kamu jangan langsung jutek begitu dong sayang…” hibur mama, kali ini sambil mengelus lembut pahaku.
“Abis sih mama… pakai ngomong gak cukup dengan ucapan terima kasih segala… kayak apaan aja..” gerutuku, namun mama hanya tersenyum, seraya meremas batang penisku yang masih terbungkus celana pendek, yang membuat wajahku sebelumnya cemberut kembali tersenyum.
“Dengar Doni, mama ingin kamu menunjukan bakti nyatamu pada mama, tentu saja sesuatu yang mulia yang membuat mama bahagia.. tapi mmmm… gimana ya? mama sebetulnya malu sih untuk ngomongnya..
“terang mama, namun sepertinya mama ragu untuk untuk meneruskannya, dan tentu saja itu membuatku penasaran.
“Emang apaan sih ma… ngomong aja kenapa sih ma.. Doni jadi penasaran nih…” desakku.
“Ah, enggak deh.. enggak jadi..” ujar mama, yang membuatku semakin penasaran.
“Aduh… mama ini.. ngomong aja ma… plis deh.. Untuk mama, seberat apapun itu, pasti akan Doni coba lakukan deh kalau itu bisa menyenangkan hati mama…” desakku, sambil memegang kedua bahu mama. Ah, sepertinya mama tau kalau aku begitu penasaran.
“Oke deh.. mama akan terus terang… tapi janji ya, kamu jangan kaget..”
“Enggak deh ma… suwer..” ucapku sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahku.
“Mmmm… begini Doni, obsesi mama selama ini adalah.. mmm… mama ingin kamu pipisin muka mama…” terang mama, dengan agak malu-malu sambil menundukan wajah dan memain-mainkan jari jemarinya.
“Apaaa…” kagetku, mendengar apa yang dikatakan mama
“Tu kan… mama sudah duga, kamu pasti terkejut… kamu juga pasti menolaknyakan?” ujar mama, sambil memalingkan wajahnya dari diriku.
“Mama serius…?” tanyaku memastikan
“Serius lah… apa kamu pikir mama hanya main-main… Gimana, kamu bersedia enggak menunjukan baktimu kepada mama…?” ujar mama. Aku berpikir sejenak untuk mempertimbangkan keinginan mama itu, mengencingi wajah ibu kandungku sendiri, betapa kurang ajarnya itu… tapi.. Ah, kalau memang itu membuatnya bahagia mengapa tidak.
“Iya ma, Doni bersedia…” setujuku, yang serta merta wajah mama berubah sumringah dan langsung memeluk serta mengecup mesra bibirku.
“Aiiiihhhh… kamu memang anak mama yang baik dan berbakti… mama benar-benar bangga sama kamu… ayo sayang, cepetan dong pipisin wajah mama, mulut mama… mama juga mau minum pipis kamu lho sayang.. plis dong cepet ya..” Ah, betapa bahagianya wajah mama mendengar persetujuanku itu, namun aku masih bingung bagaimana harus memulainya untuk menuruti keinginannya yang aneh itu.
“Tapi gimana caranya nih ma?” tanyaku, bingung.
“Mmmm… Gini aja deh, kamu naik dimeja ini, terus berdiri diatas meja, dan mama duduk dikursi ini sambil membuka mulut.. Nah, nanti kamu pipisin deh mulut mama, oke? ngertikan?” terangnya
“Oke deh ma… Doni paham..” jawabku, seraya naik keatas meja makan.
“Eh, don… lebih baik buka aja semua pakaian kamu, mama juga koq.. kita telanjang aja sekalian, biar sip gitu looww…” pinta mama, diikuti dengan melucuti dasternya hingga bugil, begitupun dengan aku yang juga melepas t-shirt dan celana pendekku.
“Ayo sayang… langsung dong, pliss.. pliss.. mama gak sabar nih sayang… aaaakkkk..” mohon mama, sambil membuka mulutnya dengan lebar, sedang aku mulai memposisikan diri sebagaimana orang yang hendak membuang air kecil.
Seeerrrr… sambil berdiri diatas meja makan, air seni yang keluar dari penisku disambut oleh pekikan gembira saat pancuran pertama mengenai wajahnya. Sebagaian cairan hangat beraroma pesing itu masuk kedalam mulutnya yang menganga, dan langsung ditelannya dengan rakus. Ah, betapa liarnya mamaku, sungguh tak kusangka mama memiliki fantasi yang aneh seperti ini, namun entah mengapa aku sepertinya juga begitu menikmati, bagiku mama begitu seksi dan menggoda saat dengan antusiasnya menerima tumpahan air kencingku, seolah air kencingku adalah cairan yang maha berharga baginya, dengan hal itulah aku merasa tersanjung, sehingga ingin sebanyak-banyaknya aku menumpahkan air seniku diwajah dan mulutnya untuk dinikmati mama, yang sesekali juga digunakan untuk membasuh wajahnya, wajah cantik yang selama ini menjadi objek hayalku, dan kini wajah itu menjadi sasaran air kencingku, dan untuk itu pula dia sendirilah yang memintanya, bahkan memohon.
“Wuuuuwwwww… minum sudah, cuci muka sudah… sekarang keramas dulu ah…” pekik mama, sambil mengarahkan kepalanya dibawah pancuran air seniku, seraya kedua tangannya menggosok-gosok rambutnya.
Akhirnya air seni yang keluar dari penisku hanya tinggal satu dua, dan kemudian terhenti sama sekali.
“Fuuuuuhhhh… sedaaaaaapppppp… mama benar-benar puas don… kamu memang anak mama yang sungguh berbakti pada mama… terima kasih ya sayang…” ujar mama, mengekspresikan rasa puas dan rasa terima kasihnya padaku.
“Iya ma… sama-sama, Doni juga suka koq ngeliat mama minumin air kencing Doni kayak tadi, mama keliatannya hot banget deh, Doni jadi tambah nafsu sama mama…” balasku, seraya menghempaskan bokongku diatas meja makan, menghadap mama yang masih menyibak-nyibakan rambutnya yang telah basah oleh air seniku.
“Aaaiihhh… Doni… Mama senang sekali kalau kamu memang seperti itu sayang…” ujar mama, seraya memeluk dan mengecup bibirku.
“Ludahin mulut mama dong sayang… aaaakkkkkk…” pinta mama, diikuti dengan membuka mulutnya dengan lebar tepat dibawah wajahku yang saat itu duduk diatas meja makan. Untuk kegemaran mama yang satu ini aku sudah cukup familier, yang memang sebelumnya pernah kami lakukan dirumah.
Kuarahkan posisi mulutku tepat diatas mulut mama yang menganga, lalu kutumpahkan air ludahku tepat kedalam mulutnya, yang langsung diteguknya hingga tak tersisa.
“Lagi sayang…” bisiknya, dan kuturuti apa yang diinginkannya, hingga empat kali aku meludahi mulut mama sampai kurasakan tak ada lagi air liur dapat kuberikan pada mama.
“Terima kasih sayang… kamu benar-benar membuat mama bahagia…” ucap mama, seraya merangkul dan mulumat bibirku dengan kecupan liarnya yang membuatku gelagapan karna hampir terjatuh dari meja makan yang kududuki.
“Sekarang entotin mama lagi dong sayang… memek mama sudah gatel banget nih, pipismu tadi itu lho, yang bikin nafsu mama semakin tinggi..”
Akhirnya kusetubuhi mama dengan sekujur badan dan rambutnya yang masih basah oleh air seniku tadi, dan persetubuhan kami divilla itu terus berlanjut hingga esok hari, sebelum pada sore harinya kami kerumah tante Wiwik untuk menghadiri acara pernikahan putrinya. Ah, benar-benar saat yang tak akan pernah terlupakan olehku, saat-saat yang begitu indah, dimana aku bisa mewujudkan dan mengekspresikan segala fantasi seksualku pada mama, dan mama bukan hanya sekedar memenuhi apa yang aku inginkan, bahkan mama memperkenalkan padaku permainan-permainan yang mendebarkan namun sungguh mengasikan, yang membuatku bagai berada disurga yang maha nikmat bersama mama.
Menurut mama, bahwa fantasi-fantasi seks yang direalisasikan padaku itu sebagian besar belum pernah dilakukannya pada papa, menurut mama dirinya malu untuk meminta pada papa, sedang denganku mama tak sungkan-sungkan untuk mengutarakannya, karna mama yakin kalau aku pasti akan memahaminya. Keterikatan batin sebagai ibulah yang membuatnya merasa yakin kalau aku dan mama memiliki kesamaan selera dan fantasi dalam soal seksual, dan itu memang terbukti, sehingga aku dan mama bagaikan gayung bersambut, keduanya saling mengisi dan saling memenuhi.
Dan hubungan terlarangku dengan mama tidak cuma sampai divilla itu saja, namun tetap berlanjut pada hari-hari berikutnya. Walaupun tidak bisa dikatakan terlalu sering, kami masih bisa menyempatkan untuk melakukannya, biasanya mamalah yang mengatur skenario agar tak tercium oleh papa, seperti halnya mama berpura-pura minta diantar olehku untuk pergi berbelanja ke super market, dan pastinya kami mampir terlebih dahulu kesebuah hotel untuk sekedar satu atau dua kali orgasme, untuk kemudian barulah menuju ke super market, alasan berputar-putar mencari barang atau sesuatu yang dibutuhkannyalah yang menjadi alasan saat papa menanyakan mengapa sampai begitu lama.
Dan masih ada beberapa skenario oleh mama yang cukup brilian untuk kami dapat berasik masuk dengan aman dan nyaman, dan tentunya puas lahir batin.
Sungguh naif sekali kalau aku menganggap hubungan istriku dengan Doni masih dalam batas kewajaran.
Tadinya aku masih berfikir kalau ini hanyalah perasaanku saja, suatu efek yang timbul karena hubunganku dengan Nanda, sehingga timbul kecurigaan kalau istriku juga melakukan hal yang sama pada anak laki-lakiku.
Namun saat sore itu aku memergoki mereka tengah berciuman didalam gudang belakang rumah, sepertinya kecurigaanku bukanlah sebuah su’udzon belaka, walaupun mereka berdalih tengah mencari sepatu lama istriku yang katanya berada didalam tumpukan barang bekas, tapi aku bukanlah bodoh, sikap gugup mereka tak bisa menyembunyikan itu, terutama Doni, anak itu masih terlalu hijau untuk dapat bersandiwara dengan baik.
Sial, padahal dia pamit denganku satu hari sebelum hari H, dengan alasan untuk membantu segala urusan tetek bengek acara hajatan itu. Nah, kalau begitu, satu hari semalam sebelumnya istriku dan Doni kemana saja, dan ngapain aja, kalau memang ada urusan lain mengapa dia tidak berterus terang saja padaku.
Untuk menanyakan semua itu kepada istriku rasanya aku tak berani, mungkin ketidak beranianku itu karena aku juga memiliki hubungan spesial dengan Nanda, dan bukan tak mungkin istriku juga mulai mengetahui hubunganku dengan anak gadisku itu, itu dapat kulihat dari sikap istriku beberapa hari ini yang seolah begitu kaku.
Seperti halnya malam ini, semenjak berada dikamar ini tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, bahkan kini dia sudah terlelap dengan posisi memunggungiku.
Kalau memang istriku dan Doni memiliki hubungan seperti halnya aku dan Nanda, Ah, betapa bejatnya keluargaku ini, entah keluarga macam apa ini, ah.. tidak, rasanya aku tak perlu memponis keluargaku dengan pandangan seperti itu, lebih baik aku membangun sebuah keyakinan bahwa yang aku lakukan ini adalah suatu kelaziman belaka, toh aku tak pernah memaksa anakku, dia menikmatinya, bahkan teramat sangat.
Saat ini telah menunjukan jam 11 malam, kuperhatikan istriku dengan seksama untuk memastikan kalau dia memang benar-benar telah tertidur. Hmmm… sepertinya dia memang telah pulas, kini saatnya menjumpai si jantung hatiku, si pemuas nafsuku yang paling sempurna, ya dialah Nanda, putri kandungku, yang beberapa minggu belakangan ini benar-benar membuat hidupku serasa lebih indah dan lebih bergairah.
Dengan mengendap-endap dan kaki agak berjinjit aku melangkah keluar kamar, kubuka pintu kamarku dengan perlahan untuk meminimalisir suara deritan pintu yang dikawatirkan dapat terdengar oleh istriku.
Kini aku telah berada didepan pintu kamar anak gadisku, setelah tengak-tengok kiri kanan kubuka pintu yang memang tak dikunci, karna sore tadi secara diam-diam aku telah membisikan padanya bahwa malam ini aku akan menyambangi kamarnya untuk sebuah kenikmatan, dan dengan wajah berbinar dia menjawab “oke deh pa…
Pintu kubuka dengan perlahan, dan… woowww.. putriku memang penuh dengan kejutan, kali ini kudapati dirinya tengah menungging diatas ranjang dengan tanpa selembar benangpun, rambutnya dikuncir dua dengan pita merah jambu sehingga membuatnya makin terlihat imut dan menggemaskan.. dan apa itu yang dikulumnya?
Fuiihhh… bokongnya itu, begitu menantang dengan posisi menungging seperti itu, vaginanya terjepit diantara dua pahanya, hingga menggambarkan garis vertikal pada bagian tengahnya, serta bibir vaginanya tampak tembem karna jepitan pahanya.
Dan liang imut diatasnya itu, liang yang selama ini justru sering dimintanya untuk kugasak dengan batang penisku. Ya, liang anusnya, pada liang itulah justru putriku lebih menikmati hantaman kontolku, walau aku tetap masih sering menggenjot lubang vaginanya, bagiku orgasme didalam liang vaginanya lebih nyaman, ada kenikmatan tersendiri saat menaburkan benih-benihku kedalam rahim putri kandungku, entah sudah beberapa kali saja rahimnya itu menampung sepermaku.
“Selamat malam papa sayang… ayo pa.. Nanda udah kangen nih…” ucapnya, seraya kembali mengulum loli pop ditangannya.
“Iiihh… kamu ini makin gemisin aja sih sayang…” gemasku, seraya kurebut permen loli pop dari tangannya.
“Aaaeeeng… papa jangan diambil dong. Kembaliin…” rengeknya.
“Ssssstttt… tenang aja sayang.. permennya papa buat lebih enak lagi deh… pasti kamu suka…” jawabku, seraya kutancapkan permen itu kedalam liang anusnya yang menantang.
“Zzzzzz… aaaaggghhhhh… Papa ada-ada aja nih…” desahnya, saat permen itu kugerakan maju mundur dengan memegang tangkainya.
“Nih sayang… sekarang kamu ma’em lagi ya… aaeemmmm..” kusuapi kembali permen yang baru saja “bertamasya” didalam liang anusnya itu. Setelah beberapa saat dikulum, kembali kutarik keluar dari mulutnya.
“Gimana sayang… tambah enak kan?” tanyaku.
“Sedap pa.. nikmaaaatt… Lagi dong pa.. pliss..” mohonnya lagi, segera kembali kumasukan kedalam liang anusnya, lalu kukocok beberapa saat. Pluuppp… kembali kutarik keluar, namun kali ini kumasukan kedalam mulutku dan kukulum beberapa saat. Mmmm… ada sensasi tersendiri menikmati permen yang “dibumbui” oleh aroma anus anakku ini.
“Papaaaa… koq dimakan sih… itukan punya Nanda…” protesnya, dengan ekspresi wajah cemberutnya.
“Ih, kamu ini pelit banget sih.. Papa kan juga mau coba’in permen rasa anus kamu sayang…” jawabku, seraya kumasukan kembali kedalam liang anusnya. beberapa saat setelah kukocok kumasukan kembali kedalam mulut putriku yang tengah cemberut itu.
Setelah beberapa kali aksi seperti tadi kuulangi, nafsu birahiku yang sebelumnya memang tengah tinggi kini semakin bertambah tak terbendung, seraya kulucuti semua pakaian yang melekat ditubuhku hingga bugil.
“Duh.. anak papa ini bikin papa makin gemes aja… papa udah gak tahan nih sayang…” seraya kuarahkan batang penisku yang telah berdiri tegak didepan liang anusnya yang menganga.
“Iya pa… Nanda juga udah gak nahan nih… ayo pa, masukin aja dede’nya… keanus Nanda ya pa…” pintanya, seraya kembali mengulum permen loli pop yang kini kembali dipegangnya.
“Iya anak nakal… papa tau deh yang kamu suka..” ujarku, seraya kutancapkan penisku kedalam liang duburnya.
Plok.. plok.. plok… suara tepukan paha kami mulai berbunyi, yang menandakan tengah terjadinya penetrasi batang penisku didalam liang pelepasannya.
“Mmmmm… nyemmm… nyemmm… enak pa… terus pa.. genjot yang kenceng pa… yang dahsyat ya pa… mmmm…” gumamnya, dengan permen yang masih dalam kulumannya.
Ah, mengapa bagiku begitu seksinya putriku dengan ekspresi seperti itu, perpaduan antara kepolosan seorang bocah dengan kebinalan seorang wanita yang begitu gandrung akan hantaman batang kontolku pada anus dan vaginanya.
“uuuggghhhh… kamu memang menggemaskan ya sayang… selalu bikin papa makin tergila-gila aja… nih rasakan hantaman kontol papamu… huhghh… huhghh.. huhghh…” seraya kuhantamkan bokongku dengan sekuat tenaga hingga tubuhnya yang menungging berguncang-guncang hebat, begitupun dengan ranjang yang kami gunakan mulai menimbulkan bunyi berderit dari sambungan kayunya.
“Hiiaaaahhhhh… nih rasakan sayang… huuhhkk… huuhhkk.. huuhhkk..” ujarku, sambil terus mengayuh, dan peluhpun telah membanjiri sekujur tubuhku.
“Iya pa, ashhik.. paa.. teruuhhuss… uuhh.. uuhhhh.. henahak.. pa.. ah.. ah…” Gumamnya, dengan suara yang terputus-putus karna goyangan tubuhnya yang begitu hebat.
Hingga beberapa saat kemudian kurasakan sesuatu ingin merangsak keluar dari diriku, ya.. orgasme yang sepertinya memang telah diujung tanduk.
Segara kutarik keluar batang penisku pada lubang anusnya, tubuhnya yang masih dalam posisi menungging dengan kasar kudorong hingga telentang, seraya kumasukan batang penisku pada liang vaginanya yang memang telah becek oleh cairan birahi.
“Papa ingin keluarkan air mani papa didalam rahim kamu sayang.. didalam memek kamu duhai putri kandungku yang nakal…” gumamku, seraya kukayuh bokongku naik turun, sehingga menimbulkan suara berkecipak yang gaduh.
Permen loli pop yang masih dikulumnya segera kurebut dan kucampakan dibawah ranjang, sebagai gantinya adalah mulutku yang melumat dengan rakus bibir mungilnya.
Lidahku mulai bergerilya mencari-cari didalam rongga mulutnya, manisnya permen masih dapat kurasakan pada mulutnya, yang saat ini tengah kuhisapi lidahnya.
Hingga beberapa saat kemudian tubuhku mengejang, kayuhan bokongku semakin cepat dan bertenaga, dan diikuti dengan semburan cairan kental dari penisku yang menyirami rahimnya. Crootttt… croottt… crotttt… Lima hari aku tak berhubungan badan, baik dengan dia maupun istriku membuat air mani yang kutumpahkan didalam liang vaginanya cukup banyak.
“Peju papa yang keluar banyak ya pa… Emangnya papa mau bikin ade ya? hi.. hi.. hi…” ujarnya, yang membuatku kaget mendengarnya.
“Husss… ngomong apa kamu..” balasku, yang kini telah menghentikan kayuhan bokongku, dan hanya mendiamkan penisku yang masih bersarang didalam liang vaginanya.
*******
“PAPAAAAAA… Apa apaan ini…” terdengar teriakan dengan nada marah dari arah pintu kamar, dan betapa terkejutnya aku, ternyata sumber suara itu adalah dari istriku yang saat itu berdiri didepan pintu sambil menatap kami yang tengah dalam posisi saling bertindihan dan batang penisku masih tertanam dalam liang vagina putriku.
“Eh, mama… anu ma.. anu..” jawabku gugup, seraya kucabut batang penisku dari liang vaginanya. Celana piyama yang berserak diranjang segera kuraih, dan dengan tanpa lagi menggunakan celana dalam segera kukenakan.
“Begini sebenarnya ma… anu.. itu lho…” gugupku, hingga tak tau harus berbicara apa selain hanya bergumam tak jelas.
“CUKUUUPP…! Nanda, sekarang kamu keluar…” bentak istriku, seraya menghardik Nanda yang masih berbaring telanjang diatas ranjang.
“Tapi ma… Nanda kan masih kentang.. tanggung ma…” Ah, sungguh keterlaluan sekali anakku ini, dalam keadaan seperti ini masih bisa-bisanya dia memperhitungkan birahinya yang masih belum klimaks.
“Keluar mama bilang..!” bentak istriku lagi, yang segera diikuti oleh Nanda yang ngeloyor keluar sambil menenteng pakaiannya.
Sepeninggalan Nanda, aku hanya bisa duduk diranjang dengan wajah tertunduk, namun kali ini hatiku tak terlalu merasa gentar, dan memang tak perlu untuk merasa takut dengan istriku yang memergoki aku dan Nanda sedang berhubungan badan seperti tadi, toh aku juga telah memegang kartu dirinya, kartu As yang siap kubeberkan saat dia memprotes semua ini.
Sambil berdiri istriku menatapku, seraya menghempaskan bokongnya dikursi belajar anakku yang sebelumnya telah digeser untuk didekatkan kearahku.
“Pa, papa itu sadar enggak sih… Nanda itukan anak kita, anak kandung papa sendiri.. koq papa bisa-bisanya sih…” paparnya, yang langsung kupotong sebelum ucapannya selesai.
“Owwhh… jadi kalau kamu yang melakukannya dengan Doni gak apa-apa ya… begitu?” akhirnya kartu As itu keluar juga, yang diikuti dengan raut wajah kaget istriku.
“Ja.. jadi.. jadi papa sudah tau..?” ujarnya gugup, dengan wajah yang mulai pucat.
“Bagaimana aku tidak tau… aku bukan orang bodoh ma… Apa yang mama lakukan digudang tempo hari dengan Doni, dengan begitu nafsu mama melumat bibirnya sambil tangan mama merogoh kedalam celana pendeknya, dan Doni juga merogoh kedalam celana dalam mama kan? barangkali jari tangannya sedang mengobel memek mama…
iya kan? Lalu saat mbak Wiwik menikahkan anaknya, mama sama Doni berangkat dari rumah satu hari sebelumnya, dengan alasan mau bantu-bantu urusan persiapan pernikahan, sedangkan mbak Wiwik bilang mama baru hadir hanya beberapa saat sebelum acara resepsi selesai… lalu yang sehari semalamnya kemana aja mama sama Doni?
Dan bukan hanya itu, masih banyak tingkah laku kalian berdua yang membuat papa curiga… namun papa sengaja hanya berdiam.. Ya, diamnya papa semata-mata karna memang papa punya hubungan khusus dengan Nanda, sehingga papa tak akan munafik dengan mengusik hubungan kalian, walau sebenarnya hati kecil papa merasa terusik juga dengan hal itu..
“Jadi papa menganggap mama munafik?” tanyanya, dengan masih menunduk, namun aku hanya terdiam tak menjawab pertanyaannya.
“Ta.. tapi Nanda kan perempuan pa… kalau dia sampai hamil bagaimana?” tanyanya lagi
“Ooowwhh.. Jadi karna Doni laki-laki, menurut mama enggak apa apa gitu?” ujarku, dia tak menjawab perkataanku itu, kecuali menatapku sesaat lalu kembali tertunduk, begitupun dengan diriku yang juga hanya bisa menunduk dan tak tau harus berbuat apa untuk dapat menemukan solusi yang tepat dalam menengahi ini semua.
Akal sehatku tentu berharap kalau hubungan kekeluargaan kami tidak terjadi konflik apalagi perpecahan akibat semua ini. Untuk beberapa saat kami masih saling terdiam, dan aku mulai menyesali atas hubungan terlarangku dengan Nanda.
Ah, mengapa aku sampai sebodoh itu hingga bisa menjalin hubungan sebagaimana layaknya suami istri dengan anak kandungku sendiri. Dan istriku? Kenapa juga dia melakukan hal yang sama.
Akhirnya kami saling bertatapan, namun masih saling terdiam, hingga kembali menunduk, hanya beberapa saat kami kembali bertatapan, kali ini cukup lama, hingga kulihat bibirnya yang sebelumnya hanya terdiam kkni mulai membentuk senyuman, yang juga aku balas dengan senyum, dan bibir itupun mulai tertawa, hingga akupun juga ikut tertawa, kami saling tertawa, tepatnya mentertawakan diri kami sendiri yang telah berbuat bodoh dengan melakukan hubungan incest yang sebenarnya hanya patut dilakukan oleh orang-orang barbar yang tak memiliki norma-norma dalam kehidupannya.
Akhirnya tawa kami terhenti, perasaan pasrah dan menerima sepertinya telah berteduh pada diri kami, sehingga kami mulai dapat berpikir dengan kepala dingin dan tak perlu lagi untuk saling menyalahkan.
Yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar hubungan keluarga kami tetap harmonis dan tetap terhormat dimata masyarakat.
“Terus, kalau sudah begini, gimana selanjutnya pa?” tanya istriku, setelah puas tertawa.
“Yah, kita jalani saja semuanya ma… kita ikuti alur permainan yang telah kita mulai ini..”
“Maksudnya?” tanya istriku, kali ini dia duduk diranjang tepat disampingku.
“Ya, kita anggap saja semua ini sebagai hal yang wajar, mama tetap bisa main sama Doni, dan papapun tetap bisa main dengan Nanda, dan kita tidak perlu lagi main kucingan-kucingan seperti selama ini.. namun semua ini hanya menjadi rahasia kita sekeluarga.. dan mama juga harus yakin bahwa yang kita lakukan ini bukanlah suatu aib, dan jangan sekali-kali kita merasa bahwa yang kita lakukan ini adalah suatu tindakan asusila, dan itu akan kita tanamkan pada diri anak-anak kita, sehingga mereka tak perlu rendah diri..
“Ya, enggak dong pa… malahan si Doni sendiri tuh, yang kayaknya udah ngebet banget sama mama…” sanggah istriku.
“Tapi kamu juga suka kan?” tanyaku, dengan nada menggoda.
“Ah, papa.. ya iya lah… Eh, si Doni itu begini lho pa…” ujarnya, diikuti dengan mengacungkan ibu jarinya.
“Ih, dasar kamu… suka ya, dapet brondong…” godaku, seraya mencubit hidungnya, yang diikuti dengan tangannya yang mulai merangkul pinggulku.
“Ah, sama… papa juga tuh dapet ABG… pasti kontol papa nih yang merawanin Nanda.. iyakan?” ujarnya, diikuti dengan meremas batang penisku yang terbungkus didalam celana setelan piyamaku.
“Eh, pa.. mmm.. nanti kalau keluarga kita telah terbuka seperti penjelasan papa tadi, lalu Doni sama Nanda juga saling entot-entotan gimana pa?” tanya istriku.
“Ya biarin aja lah, kalau mereka suka sama suka… apa salahnya sih? Emang kenapa.. kamu keberatan?” terangku.
“Enggak… aku cuma tanya aja koq…” jawabnya.
“Tapi kalau Nanda sampai hamil bagaimana pa?” tanyanya lagi
“Mmmm… begini aja ma, kalau nanti dia hamil, untuk sementara kita suruh dia berada dirumah saja, soal ketinggalan pelajaran itu bukanlah masalah, papa bisa atur agar Nanda tetap naik kelas, toh dia juga anak yang cerdas, aku bisa mendapatkan materi-materi pelajaran untuk Nanda agar dia tetap bisa belajar dirumah, nanti kalau ada famili kita yang tau, bilang saja kalau Nanda dihamili oleh teman laki-lakinya yang tak mau bertanggung jawab, dan setelah ia melahirkan, semuanya beres, dia bisa kembali lagi kesekolah dengan alasan bahwa selama ini dia tinggal dirumah neneknya di Jogja karena suatu hal..?
“Terus gimana dengan anaknya?” tanya istriku.
“Ya, kita rawat lah… kita besarkan dia dengan penuh cinta dan kasih sayang…” jawabku
“Sepertinya papa begitu yakin deh kalau Nanda bakalan hamil, sampai-sampai papa telah memiliki rencana seperti tadi, emangnya selama ini peju papa selalu dikeluarkan didalam ya pa?”
“Iya ma… cukup sering, abis kayaknya ada sensasi sendiri gitu lho ma… saat numpahin peju papa didalam rahimnya itu… ah, kayaknya gimana gitu…”
“Ah, dasar papa…” ujarnya, seraya mencubit perutku.
“Oh iya, kalau mama gimana? Apa Doni juga keluarin didalem…?”
“Ya, begitulah.. pa..” jawabnya
“Begitulah, bagaimana?” tanyaku untuk meyakinkan.
“Ya, si Doni itu lho pa… sering ngeluarin pejunya didalem memek mama… mana pejunya banyak banget lagi…” terangnya, Ah, entah mengapa gairah seksku kembali bangkit mendengar ceritanya itu.
“Alaaaahh… paling mama juga yang suka kaliiii… ngaku deh…” desakku
“Hi… hi.. hi… tau aja nih papa, iya juga sih pa… kayaknya alasannya sama deh sama yang papa katakan tadi, sepertinya ada sensasi sendiri kalau anak kandung kita menaburkan benihnya kedalam rahim dimana dulunya dia berasal.. Sesuatu banget gitu lho pa…” terangnya, sepertinya perasaan kaku dan canggung diantara kami telah benar-benar sirna, berganti dengan perasaan bebas dan lepas dalam mengungkapkan perasaan hati kami, yah..
“Ih, dasar mama… mau bikin anak ya?”
“Sebetulnya enggak juga sih pa… sejujurnya sih mama malah begitu kawatir kalau sampai hamil, tapi entah mengapa ya pa, saat si Doni klimaks itu lho… eh, mama malah suka ngoceh begini… ayo sayang hamilin mama… buntingin mama sayang… buntingin ibu kandungmu ini… aduh gila deh pa… mama jadi malu sendiri kalo inget…
“Gak apa apa deh ma… mama gak perlu kecil hati dan merasa bersalah, itu adalah fantasi mama yang memang ingin sekali dibuntingin oleh anak kandung mama… iyakan? ayo ngaku…”
“Iya juga sih pa… sensasinya itu lho pa… gimana ya? Sulit dilukiskan… Ah, betapa indahnya dihamilin anakku sendiri…” Ah, benar-benar edan juga rupanya fantasi istriku ini.
“Kalau mama memang suka, papa sih setuju-setuju saja mama dapat anak dari Doni, konsekuensinya malah lebih mudah dan gak seribet kalau Nanda yang hamil, kalau mama betul-betul telah hamil, kita bilang saja kalau aku adalah ayahnya, bereskan…” paparku.
“Betul pa? Serius nih?” tanya istriku, sambil menggenggam pegelangan tanganku, seolah ingin mendapat kepastian yang kebih meyakinkan. “Ya betul dong ma… apa papa keliahatan seperti main-main…”
“Aiiihhh… papa memang baik banget deh, mama semakin sayang aja sama papa…” ujarnya, diikuti dengan mengecup pipi kiriku.
“Makin sayang sama papa atau sama Doni?” godaku.
“Ya beda dong pa… kalau sama Doni kan sayangnya seorang ibu kepada anak…” jawab istriku.
“Sayang seorang ibu pada anak koq pake acara entot-entotan..” godaku lagi
“Ih, papa rese deh… mama cubit nih, iihh…”
“Auuuwww… sakit ma aduh… ampun deh…” walau aku telah memohon, namun istriku tetap menyubiti perutku, hingga kubalas dengan menggelitiki ketiaknya yang memang hanya mengenakan daster tanpa lengan, sehingga kami saling tertawa cekikikan untuk beberapa saat.
“Oh iya pa… kemana tadi si Nanda, kasian tuh kayaknya tadi dia benar-benar tanggung deh pa.. Mmmm.. apa papa mau entotin Nanda lagi sampai dia klimaks…?” tawarnya
“Iya juga sih ma… Tapi mama keluar dulu dong…” pintaku
“Aduh, gak usah deh pa… mama juga mau liat aksi anak kita itu, apa dia bisa menandingi kehebatan mamanya dalam soal ngeseks…”
“Wah, mama belum tau Nanda sih…”
“Apa maksud papa… mama jadi tambah penasaran nih, apa sih hebatnya si Nanda… mama panggil ya pa…?”
“Ya, terserah kamu…”
“Nandaaaaaa… kesini sayang… mama udah enggak marah lagi koq…” teriak istriku, sebuah teriakan yang mengawali babak baru dari kehidupan seks keluarga kami yang lebih bebas dan demokratis.