Keluarga Pak Trisno 6

Setelah pesta seks keluarga yang kami lakukan untuk pertama kalinya tadi, hingga hampir pukul delapan pagi ini kami baru sempat sarapan. Mmmm… sedap juga nasi goreng udang buatan si Tini pembantuku ini, kemana perempuan itu? Oh iya, diminggu pagi seperti ini biasanya setelah bersih-bersih rumah dan menyiapkan sarapan dia keluar bersama teman-teman seprofesinya jalan-jalan ke pasar tumpah yg tak jauh dari komplek kami, semacam pasar kaget yang hanya ada diminggu pagi seperti ini.

Tapi aku menjadi sedikit kurang nyaman dengan keberadaan pembantu rumah tangga itu, bagaimana jika perempuan itu mengetahui apa yang kami lakukan sekeluarga ini, sebagai seseorang yang bekerja dan menetap dirumah ini, lambat laun dia pasti juga akan tahu dengan apa yang kami lakukan, untuk memberhentikannya jelas tak mungkin, karna kami begitu membutuhkannya.

Ah, persetanlah, aku rasa dia bukanlah type orang yang usil, dan bukanlah orang yang memiliki keberdayaan untuk usil, karna dia juga membutuhkan pekerjaan ini, sehingga aku rasa dia tak akan peduli dengan apapun yang dilakukan oleh majikannya selama itu tak mengusik dirinya, dan tentunya selama dirinya masih menerima gaji dengan lancar.

Ah, seumur-umur baru kali ini aku makan dimeja makan sambil telanjang, begitupun dengan istriku yang berada disamping kiriku ini, juga Nanda dan Doni yang duduk dikursi sebelah kananku. Tadinya aku telah mengenakan celana pendekku, tapi dasar istriku, dia justru melarangnya dengan alasan kalau dirinya belum mendapatkan puncak kenikmatan dipagi ini, berbeda dengan aku dan kedua anakku yang tadi telah mencapai orgasme.

“Jangan ada yang pakai baju dulu, kan mama belum dientot… Pokoknya begitu selesai sarapan kalian berdua langsung ngentotin mama ya! Awas jangan pergi kemana-mana dulu…” itu yang baru saja dikatakannya tadi. Tapi tak apalah, apa salahnya makan sambil telanjang, itung-itung mengekspresikan kebebasan, asas yang kini telah menjadi komitemen dikeluarga kami.

Obrolan-obrolan ringan menyelingi sarapan pagi kami ini, sesekali diikuti dengan tawa dan canda, atau sedikit serius saat istriku memberi sedikit arahan kepada kedua anak kami tentang hubungan seks.

“Oh iya ma.. Katanya Doni masih suka disuapin sama mama… Ayo dong ma, coba Doni disuapin sekarang…” celetuk Nanda, yang diikuti oleh ekspresi malu Doni.

“Suapin apaan sih kak Nanda.. dibohongin mama mau aja…” sanggah Doni.

“Eiitt… Doni. Kamu enggak usah malu begitu dong sayang.. Iya tuh, Doni emang paling suka disuapin mamanya..” ujar istriku.

“Tuh betul kan… Itu tuh, yang langsung dilepehin dari mulut mama, Iya kan? Pasti langsung ditelen dong.. Gak perlu dikunyah lagi… hi.. hi.. hi…” goda Nanda, yang membuat Doni semakin bersemu malu.

“Ayo Doni, mama suapin sekarang ya? Biar kak Nanda sama papa tau… Mau ya, sayang? pasti nanti Nanda iri deh, liat kamu mama suapin… Ayo sayang..” rayu istriku, yang akhirnya disetujui oleh Doni dengan menganggukan kepala sambil tersenyum malu.

“Nah, gitu dong.. Ayo ma, langsung aja ma… kita jadi penasaran nih, iya enggak pa?” rajuk Nanda

“Iya nih.. ayo cepet dong ma..” sambungku.

Akhirnya istriku beranjak dari kursinya, seraya duduk diatas meja tepat menghadap Doni yang masih duduk dikursinya, kedua kaki istriku menginjak kedua paha Doni, sehingga praktis dirinya kini mengangkang mempertontonkan vaginanya kearah Doni.

Sepertinya momen ini bakalan menarik, sehingga aku berinisiatif mengambil handycam yang masih berada diruang keluarga.

“Gimana sayang… kamu udah siap disuapin mama..?” tanya istriku kepada Doni, seraya melirik dan tersenyum menggoda kearah kamera yang kupegang. sedang ditangannya telah memegang piring berisikan nasi goreng yang isinya tinggal menyisakan separuh bagian.

“Iya ma, Doni udah…” jawab Doni, dengan kedua tangannya memegang paha istriku.

“Kalau gitu buka dong mulut kamu…”

“Ah, mama aja belum makan nasinya, belum lagi ngunyahnya…” jawab Doni

“Ih, kamu itu.. pokoknya buka mulut kamu sambil menatap mama.. biar mama semangat kan…” terang istriku, yang akhirnya dituruti oleh Doni yang menganga keatas kearah istriku yang tengah mengunyah makanan.

Dan… wooww.. beberapa saat kemudian istriku menumpahkan isi dalam mulutnya yang merupakan nasi yang telah lembut kedalam mulut Doni yang berada dibawahnya, dan tanpa mengunyah lagi Doni langsung menelannya dengan antusias.

“Bagaimana sayang, nikmat kan sarapannya?” tanya istriku, seperti biasa sambil melirik kearah kamera dengan senyumnya yang menggoda.

“Mmmm… sedap ma.. nikmat…” jawab Doni, kali ini bocah itu tak lagi canggung dan lebih rilek, bahkan tangan kanannya yang sebelumnya hanya memegang paha istriku kini beralih mengusap-usap bibir vagina istriku yang berada tepat dihadapannya.

“Wah, anak saya ini memang paling suka disuapin seperti ini lho pemirsa… dia emang manja, masa’ udah gede begini koq masih saja minta disuapin sama mamanya sih… hi.. hi.. hi…” komentar istriku dengan gayanya yang khas, genit dan menggemaskan.

Kembali istriku menyuap nasi dan dikunyahnya, selama istriku mengunyah tangan Doni semakin agresif bergerilya, dan kini bukan sekedar mengelus-elus bibir vaginanya, namun jari telunjuk dan tengahnya mulai mengobel-ngobel didalam liang vaginanya, membuat istriku sesekali memejamkan mata karna nikmat yang dirasakan

Kembali untuk yang kedua kalinya istriku menumpahkan makanan yang telah lembut bagaikan bubur, dan kembali ditelan langsung oleh Doni, seolah belum puas mulut istrikulah yang jadi sasaran, dan langsung dipagutnya dengan buas.

“Udah ya sayang… masa’ kamu cipok mulut mama terus sih, kan mama harus mengunyah sarapan kamu lagi…” ujar istriku, saat dirasakannya Doni seperti tak ingin melepas pagutan pada mulut mamanya itu.

“Abis Doni gemes banget sih ma…” jawab Doni

“Gemes apa nafsu? Ya udah, kalau gitu selama mama mengunyah, kamu jilatan aja memek mama ya… Nih, mama lebarin deh biar kamu lebih leluasa..” usul istriku, seraya membuka kedua pahanya dengan lebih lebar dari sebelumnya, sehingga liang vaginanya tampak menganga menantang, yang mempermudah akses bagi Doni untuk membenamkan kepalanya diselangkangan istriku.

Kembali istriku mengunyah sambil menikmati jilatan lidah putranya itu yang mulai menggelitik liang vaginanya.

“Wooww… so sweet ya pa, Doni sama mama romantis sekali..” ujar Nanda padaku, yang sedari tadi memang terlihat terkesima dengan apa yang dilakukan ibu dan anak itu.

“Kamu mau juga sayang? Kalau kamu mau papa juga bisa koq suapin kamu…” tawarku kepada Nanda.

“Betulan pa… iya pa, Nanda mau banget pa… plis dong pa… Nanda mau sekarang ya…” Ah, dasar anak ini, baru saja aku tawarkan seperti itu, langsung saja merajuk meminta untuk dilaksanakan saat itu juga.

Akhirnya aku juga duduk diatas meja, tepat disamping istriku, sedang Nanda duduk dikursinya disebelah Doni.

“Wooowww… Nanda kepingin disuapin papanya juga nih… pasti tadi kamu iri tuh, liat Doni mama suapin… iyakan?” goda isttiku, yang dibalas dengan cibiran bibir oleh Nanda.

Berbeda dengan Doni, seperti biasa Nanda lebih suka sarapan pagi dengan beberapa potong roti tawar dengan olesan selai strawbery, sehingga yang kini sedang aku kunyahpun adalah roti tawar.

Tak seperti nasi yang cukup lama istriku harus mengunyahnya, sedangkan roti hanya beberapa kunyahan saja kurasakan telah lembut, hingga langsung kutumpahkan kedalam mulut Nanda yang telah terbuka.

“Gimana sayang, enak?” tanyaku

“Mmm… yummy pa.. nikmaaattt.. sekarang selainya dong pa..” ujarnya, segera kuraih botol selai strawberry, satu sendok kecil benda berbentuk jeli dengan warna merah kusuap kedalam mulutku, kukenyam-kenyam sejenak, lalu kutumpahkan kedalam mulut gadis imut yang telah menanti dengan penuh harap itu, benda berbentuk jeli itu sepertinya menjadi lebih encer karna bercampur dengan air ludahku, yang langsung ditelannya dengan lahap.

“Glekkk… mmmm.. lagi pa.. Aaaakkkk..” pintanya, dan kembali kukunyah sepotong roti dan langsung kulepehkan kedalam mulutnya.

“Sekarang Nanda mau mimik cucu dong pa.. aus nih..” pintanya dengan gaya khasnya yang kekanak-kanakan.

Kuraih segelas susu miliknya yang tinggal separuh, kuteguk, dan kutumpahkan kedalam mulutnya, glekk.. langsung ditelannya.

Ah, aksi yang sebenarnya menjijikan ini justru membuat birahiku semakin bangkit, hingga menggodaku untuk juga merasakan apa yang dilakukan Nanda.

“Sayang… papa juga mau dong… sekarang kamu yang suapin papa ya…” mohonku

“Oke deh pa, sekarang papa duduk sini ya, Nanda yang duduk dimeja..” setujunya, seraya kami bertukar tempat, aku yang duduk dikursi, sedangkan Nanda duduk diatas meja.

Gadis itu mulai mengunyah sepotong roti, mulutnya yang mungil tampak sedikit termonyong-monyong oleh terlalu banyaknya roti yang dikunyah. Tak seberapa lama kemudian kedua tangannya memegang pundakku, mimik wajahnya mengisyaratkan padaku bahwa dirinya akan segera menumpahkan isi roti didalam mulutnya, hingga semakin lebar kubuka mulutku, dan pleh…

gumpalan-gumpalan kental roti dari mulut putriku mulai berpindah, aaahh.. mengapa momen disaat gumpalan kental roti itu menetes masuk kedalam rongga mulutku ini rasanya terlihat begitu erotis bagiku, begitu sensual, dan aaahh, hangatnya air liur putriku dapat kurasakan, dan glekk… mmm… berpindah seluruhnya kedalam perutku.

“Enak kan pa…?” tanyanya padaku

“Iya sayang, nikmat… suapin papa lagi sayang…” ucapku, penuh harap

“Sekarang selainya ya pa…?” ujarnya, seraya menyuap satu sendok selai strawbery kedalam mulutnya, seperti yang tadi aku lakukan, selai itu diemut dan dikenyam-kenyamnya beberapa saat, lalu ditumpahkan lagi kedalam mulutku secara perlahan, sehingga sedikit lebih lama aku menyaksikan momen dimana cairan kental yang membentuk garis vertikal yang terhubung dari mulutnya ke mulutku itu, bahkan sepertinya dia sedikit kesulitan untuk memutus cairan kental itu walau telah berusaha memutuskannya dengan menggunakan bibirnya, hingga akhirnya diraihnya dengan jari telunjuk, lalu diusapkan jarinya itu kemulutku.

“hi.. hi.. hi… susah pa, lengket..” ujarnya, seraya kukulum lembut jari telunjuknya itu, dan kutelan manisnya selai strawberry bercampur air ludahnya kedalam perutku.

Tiba-tiba istriku yang berada disebelah Nanda meraih dagu putri kami itu, dan betapa terkejutnya aku saat istriku menumpahkan isi didalam mulutnya kedalam mulut Nanda.

“Nih, kamu suapin ke papa kamu, dia kan sukanya sarapan nasi goreng, bukannya roti.. Iya enggak pak?” yang hanya kujawab dengan senyum

Seperti yang diperintahkan istriku, Nanda menuangkan “titipan” dari istriku itu kedalam mulutku, sepertinya istriku telah terlebih dulu mengunyahnya dengan halus, sehingga tanpa perlu dikunyah lagi oleh Nanda, nasi goreng yang telah bercampur oleh air liur istriku dan juga Nanda itu memang sudah lembut, yang langsung kutelan dengan antusias.

“Ma, Doni juga mau sarapan roti dong?” celetuk Doni.

“Ah, kamu itu… suka ngiri aja deh..! Nanda, tuh adikmu mau sarapan roti juga..” ujar istriku, seraya membaringkan tubuhnya dengan kepalanya direbahkan diatas paha Nanda.

“Ayo sayang, kamu suapin rotinya kemulut mama… ini untuk adikmu lho…” pintanya, diikuti dengan membuka mulutnya.

Seperti yang dipinta mamanya, Nanda mengunyah sepotong roti tawar dan, woooww… betapa erotisnya dua orang wanita cantik yang adalah ibu dan anak itu saling melepehkan makanan dari mulut mereka.

Setelah kunyahan roti dari Nanda telah berpindah kedalam rongga mulut istriku, lalu dia kembali bangkit dari posisi berbaringnya, dan tentu saja selanjutnya ditumpahkan kedalam mulut Doni, yang kemudian ditelannya roti spesial dengan campuran air liur mama dan kakaknya itu.

Cukup lama juga kami saling suapan-suapan dengan cara yang tak lazim itu, dan itu kami lakukan secara bergantian, kadang istriku yang menerima lepehan makanan dari Doni, atau sebaliknya. Bahkan dengan kreatif kami melepehkan makanan hingga tiga tahap sebelum akhirnya masuk kedalam perut, contohnya dari Doni dilepehkan kemulut istriku, lalu istriku melepehkan lagi kemulut Nanda, barulah dari mulut Nanda diberikan padaku yang langsung kutelan.

“Papa sekarang mimi’ dulu ya…” ujar Nanda, setelah dirasakan cukup makanan yang mengisi perut kami.

Tangan gadis itu meraih gelas yang berisi air putih lalu diteguknya, namun tidak untuk ditelannya, melainkan hanya dikumur-kumurnya beberapa kali, lalu.. Plehhh.. air putih yang berubah warna menjadi keruh itu tumpah dari mulut putriku masuk kedalam mulutku, glekk.. kutelan dengan penuh rasa nikmat cairan yang sedikit hangat itu.

********

Setelah selesai sarapan pagi yang istimewa itu, sarapan pagi yang lebih tepat dikatakan sebagai aktifitas seksual ketimbang sebagai aktifitas untuk mengganjal perut, sehingga bukan cuma rasa kenyang yang kami rasakan, melainkan birahi kami justru yang bertambah meletup-letup minta dilampiaskan, terutama istriku yang pada pagi ini belum memperoleh orgasme, bahkan liang vaginanya itu sama sekali belum merasakan sodokan penis-penis kami untuk minggu pagi ini

“Ayo, sekarang giliran mama yang minta jatah… uugghh mama udah gatel banget nih” ujar istriku, yang langsung menarik pegelangan tanganku dan Doni untuk menuju keruang keluarga tempat dimana kami berasik masuk sebelumnya.

“Aduuhh… sabar dikit kenapa sih ma, hampir papa terjengkang dari kursi nih..” protesku, betapa tidak, aku yang masih terduduk dikursi makan langsung ditariknya dari arah membelakangi hingga kursi yang kududuki nyaris terguling kebelakang.

“Mama gak mau tau, pokoknya sekarang kalian harus puasin mama…” balasnya, sambil terus berjalan menarik lenganku dan Doni dengan langkahnya yang tergesa-gesa, sedang dari belakang kulihat Nanda berjalan mengikuti kami dengan langkah santai

Sesampainya diruang keluarga, istriku langsung mendorong tubuh Doni, hingga bocah itu jatuh terduduk diatas lantai.

Bagai singa betina yang lapar, diterkamnya putraku itu, diikuti dengan melumat bibirnya hingga bocah abg itu tampak gelagapan melayaninya.

“Uuuggghhhhh… kamu yang entotin memek mama ya sayang…” ujarnya, setelah puas melumat bibir putranya itu, bersamaan dengan itu pula digenggamnya batang penis Doni yang telah berdiri tegak, seraya disumbatkan kedalam liang vaginanya yang sedari tadi telah basah oleh cairan syahwat.

“Ayo pa, sekarang papa yang toblos lubang anus mama..” perintah istriku, seperti yang telah kuduga istriku memang terobsesi dengan aksi DP yang sebelumnya kami lakukan pada Nanda, dan istriku memang belum pernah melakukan itu sebelumnya, kecuali dengan dildo yang memang cukup banyak kami koleksi. Namun dengan pria lain istriku sama sekali belum pernah, bahkan selama pernikahan kami dia belum pernah berhubungan seks dengan pria lain, untuk yang satu ini aku sungguh percaya dengan kesetiaan istriku, berbeda dengan diriku yang sering mencari kesenangan diluar dengan wanita lain, namun hubunganku dengan wanita-wanita itu sebatas hubungan seks semata, sebatas having fun, sama sekali aku tidak melibatkan perasaan yang lebih dalam, dalam artian hubungan asmara, apalagi cinta, semuanya murni sekedar hubungan seks alias hubungan syahwat semata, dan itu semua telah kuutarakan sebelumnya kepada wanita-wanita itu, sehingga merekapun juga tidak berharap lebih dariku, kecuali hanya toblosan batang penisku saja yang mereka harapkan.

Seperti yang dipinta istriku, kutancapkan batang penisku pada liang anusnya dengan posisi doggy style, dan tanpa menunggu lebih lama lagi, kupompakan bokongku maju mundur dengan berirama, sementara Doni yang berada dibawah hanya diam menikmati goyanganku yang tentu saja juga turut membuat bokong istriku bergerak maju mundur membuat penisnya juga turut berpenetrasi didalam liang vagina mamanya.

Sebagai pihak yang tak ikut berpartisipasi, Nanda hanya duduk diatas kursi sambil tangannya membidikan fokus handycam kearah kami.

“Mmhhhggghhhhhhh… goyang terus paaa… uuggghhhhhhh…” gumam istriku, sesekali mulutnya melumat bibir Doni yang berada dibawahnya. Posisinya yang menungging seperti itu membuat kedua buah dadanya yang besar ikut bergerak maju mundur bagai buah mangga bergelantungan yang tertiup angin.

Hingga beberapa saat liang anus istriku kurasakan mulai sedikit kurang nyaman, minimnya pelumasan membuatnya sedikit seret dan menghambat penetrasi yang tengah berlangsung, hingga timbul ide dikepalaku, seraya kupanggil Nanda.

“Nanda.. coba kesini sebentar sayang..” panggilku, tanpa banyak tanya lagi Nanda melangkah kearahku setelah terlebih dahulu diletakkannya handycam diatas meja.

“Ada apa pa…?” tanyanya, sambil duduk tepat disampingku

“Coba tolong kamu isepin dulu kontol papa ya sayang… Anus mama kamu udah seret banget nih..” pintaku, sambil menyodorkan batang penis yang telah kucabut dari liang anus istriku.

Tanpa menjawab, dengan sigap gadis itu langsung menggenggam dan mekasukannya kedalam mulutnya, untuk kemudian kepalanya mulai bergerak maju mundur untuk mengocok batang penisku didalam mulutnya.

Justru malah istriku yang kini protes karna merasa kesenangan yang tengah dirasakannya harus terhenti sesaat.

“Aduuuhh… cepetan ngisepnya dong Nanda, yang penting udah kena ludah kamu kan cukup, ngapain juga kamu lama-lama… Kan mama lagi nanggung nih…” protes istriku.

“Iya… iya… ini juga udah… iiihhh… mama ini rese’ banget deh kalo lagi horny…” jawab Nanda, setelah melepaskan kuluman batang penisku.

Kembali kutelusupkan batang penisku kedalam liang anus istriku, yess… kini batang penisku lebih leluasa bergerak setelah mendapat pelumasan oleh air ludah Nanda.

Aaaaggghhh… ternyata Nanda tidak tinggal diam, kini lidahnya bergerak menjilati liang anusku dari belakang, aaagghhh… nikmatnya.

“Iyaaaaa… terus pa… entotin lobang pantat mama pa… uuuggghhhhh… nikmatnya bo-ol sama memek mama dientotin bersamaan oleh suamiku dan anak kandungku… aaaggghhhhh…” oceh istriku, reaksi yang membuatku semakin bersemangat memacu pinggulku maju mundur dengan semakin kuat, dengan kedua tanganku meremasi buah pantatnya yang padat dan bulat.

Hingga beberapa saat kemudian terdengar pekikikan keras dari mulut istriku sebagai pengantar dirinya dalam mencapai puncak kenikmatan double penetrasinya untuk yang pertama kali itu.

“Aaaaaaaaagggghhhhhhhhh… enaaaaaakkkkk…” pekiknya, diikuti dengan gerakannya yang mengejang dan tersendat-sendat dengan wajah yang mendongak keatas dan bola mata hanya putihnya saja yang tampak.

Hingga akhirnya istriku hanya tertelungkup diam setelah tuntas menikmati puncak birahinya. Namun goyanganku tetap berlanjut membombardir tubuh diam istriku.

Namun hanya sekitar lima menit berselang istriku mulai terlihat bergairah lagi, itu ditandai dengan lidahnya yang mulai terjulur saling berpilin dengan lidah Doni.

“Mau mama ludahin sayang?” tawar istriku pada Doni

“Mau ma… Aaaakkk..” jawab Doni, diikuti dengan membuka mulutnya lebar-lebar, dan gumpalan air liur bening dengan sedikit berbusa menetes jatuh dari mulut istriku kedalam mulut Doni, Agghhh… betapa mesranya ibu dan anak itu.

“Ma, Doni mau keluar ma… aaaaagghhhhh…” Dalam beberapa menit kemudian, Doni kemberikan isyarat bahwa dirinya hendak mencapai orgasme yang kedua untuk pagi hari itu.

“Tahan dulu ya sayang… tahan dulu deh..” ujar istriku, seraya dirinya beralih posisi berbaring telentang disamping Doni, sehingga membuat batang penisku tercabut dari liang anusnya.

“Ayo Don, masukin kontol kamu kedalam memek mama sekarang, mama mau kamu keluarin peju kamu begini..” pinta istriku, dengan posisi kedua paha terbuka lebar, memperlihatkan liang vaginanya yang merekah siap menampung sperma yang akan ditumpahkan putra kami itu.

Sepertinya istriku merubah posisinya seperti itu dengan maksud agar sperma putra nya itu bisa lebih leluasa dan lebih efekstif menaburi rahimnya. Ah, dasar.. Apa maksud istriku itu, apa dia sungguh-sungguh serius ingin dihamili oleh putra kandungnya itu.

Doni segera bangkit dan memposisikan diri diatas tubuh istriku, sleepp… dengan mudah batang penisnya menembus liang vagina ibu kandungnya itu.

“Ayo sayang… Mama sengaja merubah posisi seperti ini supaya peju kamu lebih gampang menaburi rahim mama… Ayo, keluarin peju kamu dirahim mama… Biar mama cepet hamil ya sayang… kamu suka kan punya anak dari mamamu ini sayang… aaaggghhhhhh… iya.. bagus sayang.. Iyaaa… heghh… heghh…

“Aaaaagggggghhhhhhhh… Doni keluar maaaaa… aaaaaggghhhhhh…” Hanya beberapa detik bocah abg itu melenguh keras, seiring semburan sperma kedalam rahim istriku.

“iyesssss… terus yang banyak sayang… pejuin memek mama yang banyak… buntingin mamamu ini… uuuggghhhhh…” oceh istriku, dengan kedua tangannya memeluk erat pinggul Doni.

Sementara Nanda yang sebelumnya menjilati liang analku kini telah kembali asik dengan handycam ditangannya, dengan fokus kearah Doni yang tengah menanamkan benihnya dirahim istriku.

Dan beberapa saat kemudian tubuh Doni ambruk diatas tubuh istriku, yang disambut dengan kecupan sayang istriku pada keningnya.

Sadar Nanda tengah menshooting dirinya, istriku memalingkan wajahnya kesamping, tepatnya kearah kamera.

“Hai pemirsa… tadi anak saya ini baru saja menaburkan spermanya didalam rahim saya, rahim mama kandungnya ini… doakan saya ya pemirsa.. semoga saya cepat-cepat hamil dari benih anak saya ini… muaaacchhh..” oceh istriku, diakhiri dengan kembali mengecup kening Doni yang masih menindihi tubuhnya.

“Kamu pindah dulu ya sayang, mama masih mau ngentot lagi nih sama papa kamu… nanti terburu papa kamu ngentotin Nanda lagi deh.. soalnya si Nanda keliatannya udah mulai horny lagi tuh.. Dah dulu ya..” ujar istriku, dan dengan malas bocah itu berdiri, seraya duduk diatas sofa dengan batang penis yang mulai mengecil.

“Ayo pa.. hajar anus mama lagi pa… papa udah gak sabar kan… cepetan pa… Biar si Nanda jadi penonton aja.. sori ya Nanda… kacian deh lu..” oceh istriku, sambil memposisikan diri menungging diatas lantai dengan pipi sebelah kirinya bertumpu menempel pada lantai, sedang kedua tangannya digunakan untuk menyibak liang anusnya hingga tampak membuka lebar siap untuk ditoblos..

“Awas ya ma… nanti Nanda kerjain lho..” balas Nanda yang masih memegang handycam dengan fokus kearah istriku.

Bless… batang penisku kini telah kembali menoblos liang anus istriku, kedua tanganku memegang pegelangan tangannya yang digunakan menyibak liang duburnya, sehingga istriku hanya bertumpu pada kepalanya saja dengan pipi sebelah kirinya ditopangkan pada lantai, praktis saat bokongku bergerak maju mundur, pipinya itu bagai kain pel yang bergerak maju mundur mengelap lantai dibawahnya.

“Pa.. pa… lepasin tangan mama pa… jangan begini pa.. aww…” pinta istriku, namun aku tak memperdulikannya, aku tetap membombardir liang anusnya semakin kuat dan cepat.

“Enggak… Biar kamu tau rasa… he.. he.. he…” godaku, kadang aku memang suka iseng dalam berhubungan seks dengan istriku, begitu juga dengan dia, istriku pernah mengikat kedua tanganku ditiang tempat tidur sambil dirinya bebas “mengerjai” ku sampai aku klimaks, namun itu semua hanya sekedar fariasi saja, sama sekali tidak untuk menyakiti.

“Iya pa, betul pa… jangan dilepasin pa… hi.. hi.. hi… rasain kamu ma…” sambung Nanda.

Namun betapa tetkejutnya aku saat secara tiba-tiba gadis itu menginjakan kaki kanannya pada kepala istriku.

“Nih, rasakan pembalasanku… dasar lonte sialan…” ujar Nanda, sambil memberi isyarat dengan mengedipkan sebelah matanya padaku, bahwa yang dilakukannya hanya sekedar main-main. Ah, sepertinya anak ini menirukan apa yang sebelumnya dilakukan istriku padanya.

“Eh.. eh.. apa apaan sih kamu, jangan kurang ajar ya.. awas kamu…” ancam istriku kepada Nanda.

“Hih… kamu sukakan diperlakukan seperti ini, dasar pelacur…” ujarnya lagi, sambil menekan-nekan kakinya yang menginjak bagian pipi istriku. Dari ekspresi wajahnya memang aku dapat menilai kalau istriku sebenarnya oke-oke saja atas perlakuan putrinya itu, itu dapat kulihat dari senyum yang tergambar dibibirnya, walaupun sebelumnya dia sepertinya protes.

“Nih, makan nih… jempol kakiku pelacur…” hardik Nanda sambil menelusupkan ibu jari kakinya kedalam mulut istriku yang langsung dikulum olehnya.

“Sudah aku duga kamu memang suka… cuiihhh…” kali ini diikuti dengan meludahi wajah istriku dengan posisinya yang sambil berdiri.

Seolah kurang puas, gadis itu berjongkok dan menjambak rambut mamanya itu.

“Kamu masih mau aku ludahin, pelacur..!” ujar Nanda, sambil menjambak rambut istriku.

“Ya, mama mau… mau…” ujar istriku, sepertinya istriku juga mulai ikut larut dengan permainan yang dibangun oleh putriku itu.

“Buka mulut kamu…” perintah Nanda, yang segera diikuti istriku dengan membuka mulutnya lebar-lebar

“Nih terima.. dasar lonte..! cuiiihhhh..” gumpalan ludah dari mulut Nanda melesat masuk kedalam rongga mulut mamanya, yang langsung ditelannya. Namun sepertinya istriku masih belum puas.

“Lagi… lagi dong Nanda… ludahin mulut mama lagi… Aaaaakkkk..” mohon istriku

“Nih.. cuuiihhh… dasar babi rakus” umpat Nanda, aku hanya tersenyum melihat aksi anakku itu, dan tentunya sambil terus menghujamkan penisku maju mundur didalam liang anus istriku, namun kali ini goyangan bokongku tak terlalu keras dan cenderung santai, karna perhatianku justru tertarik melihat aksi yang tengah dilakukan putriku ini.

“Eh, lonte… sekarang akan aku berikan sesuatu yang lebih indah, sesuatu yang pasti membuat kamu tergila-gila hi… hi.. hi…” oceh Nanda, entah apa lagi yang akan dilakukannya pada istriku. Kini gadis itu kembali berdiri dan menginjakan kaki kanannya dikepala istriku.

“Eh, Doni… sini kamu..” panggilnya kepada Doni, yang sedari tadi hanya berbaring santai sambil menyaksikan ulah Nanda.

“Apaan sih?” tanya Doni, setelah menghampiri Nanda, namun Nanda hanya menjawabnya dengan cara membisikannya sehingga aku tak dapat mendengar apa yang dibicarakannya, kecuali hanya reaksi Doni yang seperti menahan tawa sambil menutupi mulutnya.

“Gimana? Mau enggak?” tanya Nanda, sepertinya meminta kepastian

“Oke deh, siiipp…” jawab Doni, sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Kalo gitu udah, cepetan…” desak Nanda, aku masih penasaran dengan apa yang tengah direncanakan kedua kakak beradik ini.

“Nih ma, Doni kasih hadiah yang spesial untuk mama… dan mama pasti suka kan. he.. he.. he…” Astaga, ternyata rencana yang mereka susun adalah mengencingi wajah ibu mereka, itu dapat kupastikan saat Doni berdiri diatas istriku sambil memegangi penisnya yang telah tak lagi berdiri itu dengan ujungnya mengarah pada wajah istriku, dan suuurrrrrrr…

“Aaaawwwwww… enggak begini juga kali… kalau gini kena mata mama dong… aawwwww… aaaauuufffhhh… bbbfffrrrhhh… aaaaahhhh… aaauuufffhh… glekkk… aaahhh… glekkk… aahhh…” istriku tampak gelagapan dengan kucuran air hangat berwarna kekuningan yang menyemprot kewajahnya itu, yang dapat dilakukan hanya memejamkan matanya agar percikannya tak mengenai bola mata, namun mulutnya justru terbuka menampung tumpahan air seni yang memancur deras, dan beberapa kali kulihat diteguknya cairan yang memenuhi rongga mulutnya itu, sepertinya istriku memang menyukainya, seperti yang diceritakannya tadi malam bahwa dia pernah melakukan hal yang serupa dengan Doni, hanya bedanya tidak dengan cara seperti ini, yaitu dengan kepala diinjak oleh putrinya, sedang kedua tangannya kupegangi dari belakang, sehingga dirinya tak kuasa untuk bergerak, dan tak berkutik.

“Hi… hi… hi… Ayo terus don, kencingin yang banyak… supaya mama puas tuh, hi.. hi.. hi…” ujar Nanda, dengan kaki kanannya masih menginjak kepala ibunya itu.

“Iya kak.. mama emang paling suka koq minum air kencing Doni, waktu di Bandung dulu mama juga minum air kencing Doni..” terang Doni, sambil terus memegangi penisnya yang masih mengucurkan air seni.

“Iya, tadi malam mama udah cerita, makanya aku suruh kamu kencingin mama…” ujar Nanda.

“Iya, tapi enggak begini juga dong Nandaaaaa… aauuufffff… aaahhhh… tadi kena mata mama perih juga tau… uuufffhhh… fffuuuaaahhh…” protes istriku, dengan susah payah.

“Ya udah, mama merem aja kalo gitu…” jawab Nanda enteng.

Hingga beberapa saat kemudian kucuran air yang keluar dari penis Doni mulai menurun intensitasnya, dan akhirnya hanya tinggal tetesan-tetesan kecil hingga akhirnya berhenti sama sekali.

“Gantian don… Nih, kamu sekarang yang injek kepala mama..” pinta Nanda.

Kini giliran Doni yang menginjak kepala mamanya dengan kaki kanan. Berbeda dengan Doni yang sebelumnya hanya berdiri disamping istriku, sedangkan Nanda berdiri mengangkangi wajah ibunya itu.

“Nih ma… sekarang nikmati air kencing Nanda, pasti lebih nikmat deh… hi… hi.. hi…” dan surrrrrr… tumpahlah air seni dari vagina Nanda kewajah istriku, berbeda dengan air seni Doni yang memancur kencang, air seni yang keluar dari vagina Nanda hanya tumpah begitu saja, bahkan beberapa bagian justru mengalir kepahanya sendiri, namun sebagian besar tetap jatuh kewajah dan mulut istriku yang juga diminumnya.

“Gimana ma? Lebih enak kan?” goda Nanda

“Tau, Ah… Haaauuufff… glekk.. fffuaaahhh…” jawab istriku sambil menenggak cairan dimulutnya itu.

“Gimana ma? Pasti puas dong, dikencingin sama dua orang gitu lho…” Goda Nanda, setelah tuntas membuang air kecil kemulut dan wajah istriku.

“Awas ya kamu Nanda…” ancam istriku, namun ekspresinya sama sekali tidak menunjukan suatu ancaman apalagi kebencian, melainkan hanya senyum kepuasan.

“Nih, Nanda kasih bonus, cuiiihhh…” balas Nanda, yang diikuti dengan meludahi wajah istriku, rupanya hal itu memancing Doni untuk juga melakukan hal yang sama.

“Nih ma, bonus dari Doni, cuiiihh… he… he… he…” ujar Doni, yang kini telah melepaskan injakan kakinya pada kepala istriku.

Beberapa saat setelah itu, kurasakan diriku akan mencapai klimaks hingga kupacu bokongku dengan lebih kuat, tanganku yang sebelumnya memegang pegelangan tangan istriku kini beralih meremas bokongnya dengan kuat.

Plekk… plekk.. plekk… Suara benturan pahaku dengan bokong istriku terdengar semakin keras, hingga akhirnya aku memekik keras menyongsong orgasme yang akan kurasakan.

“Aaaaaaagggghhhhhhh… maaaaa… papa keluar maaaa…” pekikku.

“Papa… tahan dulu pa… plis deh…” pinta istriku, seraya mendorong perutku hingga aku jatuh terduduk.

“Papa tahan ya pa… Nanda, kesini kamu sayang… cepetaaann…” perintah istriku, seraya menyuruh Nanda untuk berbaring telentang diatas lantai.

“Pa… sekarang papa keluarin peju papa dimemek Nanda aja pa… ayo cepetan dong pa… awas ya, kalo sampai keluar diluar duluan…” seperti halnya tadi malam, rupanya istriku menginginkan lagi kalau aku menaburkan spermaku didalam rahim putriku itu, terpaksalah dengan ekstra terburu-buru, kawatir “kawah” yang telah mendidih ini meletus diluar, segera kutobloskan batang penisku kedalam liang vaginanya yang menganga disibak oleh tangan istriku.

“Aaaaggghhhhh… aaggghhhhhh… aaaaggghhhhhhhh…” erangku, semburan sperma yang menaburi rahim putri kandungku seolah mengiringi rasa nikmat yang kurasakan diminggu pagi itu untuk yang kedua kalinya, dibantu oleh istriku yang ikut menekan-nekan bokongku dari belakang, yg seolah ingin sebanyak-banyaknya aku menumpahkan sperma kedalam rahim putriku itu.

“Horeeeeee… terus pa.. yang banyak pa… sampai tetes terakhir… buntingin anakmu ini pa… yeeeeessssss…” oceh istriku, dengan gayanya yang khas, sambil sesekali menatap kearah handycam yang diletakan diatas meja namun masih dalam posisi on recording.

“Iya pemirsa… Papanya Nanda baru saja menaburkan benih-benihnya didalam rahim putri kandungnya ini… do’akan juga ya pemirsa… semoga Nanda cepat hamil mengandung anak dari papanya… Eh, Nanda kamu mau kan punya anak dari papa kamu? Mau enggak?” oceh istriku

“Tentu mau dong ma…” jawab Nanda, yang liang vaginanya masih tertancap oleh batang penisku.

“Aaahhh… kamu memang anak mama yang pinter ya… Nih mama kasih hadiah buat kamu.. hi.. hi.. hi…” ujar istriku, seraya meraup dengan tangannya genangan air seni yang masih membanjiri l Ayo Don, masukin kontol kamu kedalam memek mama sekarang, mama mau kamu keluarin peju kamu begini.. antai itu untuk kemudian disiramkannya diwajah Nand Aaaaggghhhhh…

“Aaaaawwwww… mama gitu deh… aaawwwww…” pekik Nanda, bukannya istriku berhenti, malah justru semakin banyak yang diraupnya lalu diguyur dan diusapskan kewajah putriku itu.

“Hi… hi.. hi… rasain kamu… oke pemirsaaaa… sekian dulu ya… salam incest selalu… mmuuuaaaacchhh…”

Supartini, biasa dipanggil Tini, itulah namaku. 25 tahun umurku, berasal dari sebuah dusun dikaki gunung Merapi. Pembantu rumah tangga adalah profesiku, profesi yang telah saya lakoni sejak lima tahun terakhir, tepatnya semenjak dusun kami hancur akibat meletusnya gunung Merapi, bencana yang banyak memakan korban, baik itu harta benda maupun nyawa, termasuk nyawa suamiku Mas Ngatiman, yang membuatku menjadi janda pada usia perkawinan kami yang belum genap dua tahun, bahkan kami belum sempat diberikan momongan oleh Gusti kang gawe urip.

Walaupun hanyalah seorang buruh tani merangkap buruh bangunan, Mas Ngatiman merupakan tulang punggung bagi perekonomian kami, tepatnya aku dan simbok, wanita sepuh yang adalah ibu kandungku, sosok yang membesarkan dan merawatku seorang diri semenjak kematian bapakku diusiaku yang kelima.

Ah, Mas Ngatimanku… Sudah beberapa kali kuingatkan untuk lupakan saja kerbau dan kambing kita itu, jelas-jelas sudah ada larangan dari petugas untuk tidak berada dikawasan dusun kita itu, tapi apa yang kamu bilang “Cuma itu harta berharga yang kita punya tin, terutama kerbau, tanpa hewan itu bagaimana kita bisa menggarap sawah nanti. Biar aku tinggal dirumah agar bisa memberi makan dan menjaga ternak-ternak kita, kamu sama simbok saja yang tinggal dipengungsian.. nanti kalau situasinya telah membaik aku jemput kalian..” itu yang dulu dikatakannya, namun Gusti kang murbeng dumadi berkehendak lain, alih-alih dapat menyelamatkan ternak-ternak kami, justru dirinyapun tewas terkena terjangan awan panas, meninggalkan kami yang akhirnya hidup kehilangan sandaran, dalam artian sandaran kasih sayang seorang lelaki yang melindungiku, maupun sandaran ekonomi yang seharusnya membuatku dan simbok bertahan hidup.

Mengikuti ajakan temanku, akhirnya aku pergi ke Jakarta ini untuk mengadu nasib. Sebenarnya aku lebih tertarik menjadi pelayan toko seperti Narti temanku, namun apa daya aku tak memiliki ijasah SMU seperti dirinya, sehingga hanya pekerjaan sebagai pembantu rumah tanggalah yang dapat menampung wanita yang hanya lulus SD seperti diriku ini, padahal kalau dari segi penampilan aku jauh lebih menarik ketimbang temanku itu, mmm..

Didusunku dulu aku termasuk bunga desa yang banyak membuat hati para pemuda desa terpincut. Wajahku yang oval dan dagu bak lebah bergantung serta hidung yang bangir membuat wajahku mirip bintang film tahun 90an Paramita rushadi, belum lagi tubuhku yang bertinggi170 cm, yang tentunya tergolong cukup tinggi untuk seorang wanita, tubuh seksi dan montok, tak kalah dengan bodynya Nikita Mirzani atau Aura kasih…

Sekali lagi nuwun sewu, bukan maksud saya untuk menyombongkan diri, tapi itu semua menurut pengakuan teman-temanku, dan setelah aku timbang-timbang saat aku bercermin dikaca lemari didalam kamar dengan tanpa selembar benangpun, sepertinya yang dikatakan mereka itu tidaklah berlebihan, kecuali warna kulit disekitar tanganku saja yang agak hitam karna sering terkena matahari atau panas api kompor saat memasak, sangat kontras dengan warna kulit tubuhku yang asli yang kuning cenderung putih, sehingga lengan atas dan bawah terkesan belang hitam putih.

Sekali waktu pernah ada seseorang yang menawarkan padaku untuk bekerja padanya dengan hasil yang jauh lebih besar ketimbang seorang PRT, katanya penampilanku terlalu mubajir kalau hanya untuk digunakan sebagai pembantu rumahan, dia bilang pekerjaan yang ditawarkan hanyalah menemani pria-pria berkantong tebal.

Namun menurut cerita teman seprofesiku, wanita gemuk separuh baya yg penampilannya bak toko perhiasan berjalan itu adalah seorang mucikari alias germo yang mencari keuntungan melalui wanita-wanita muda yang dijadikannya sebagai perempuan penghibur kelas atas. Tentu saja aku menolaknya, aku bukannya menampik rejeki yang lebih baik, sebagai manusia aku juga mempunyai mimpi yang ingin aku wujudkan, mimpiku adalah mendapatkan uang yang cukup untuk membeli sawah dan kerbau dikampung halaman, sehingga dapat menunjang perekonomianku dan simbok tanpa aku perlu lagi untuk bekerja di Jakarta.

Pekerjaanku sebagai PRT memang terdengar sulit untuk dapat mewujudkan mimpi itu, untuk sekarang ini saja, harga sawah yang tidak terlalu luwas nilainya sudah mencapai angka ratusan juta, sehingga kalau dihitung secara matematis sepertinya gajiku ini kalau dikumpulkan hingga puluhan tahunpun masih tak mungkin dapat membelinya, belum lagi aku harus menyisihkan uangku untuk simbok dikampung.

Tapi bukankah tak ada salahnya kita bermimpi. Orang bijak bilang bermimpilah setinggi langit, karna jika engkau jatuh, maka engkau akan jatuh diantara bintang-bintang. Ketimbang aku bermimpi yang tanggung-tanggung atau setengah-setengah, bisa-bisa kalau aku terjatuh maka cuma akan temangsang dipohon kelapa, iya kalau pohon kelapa, wong di Jakarta ini sudah jarang pohon kelapa, nah kalau tiang listrik, bisa modar aku kesetrum, gosong.

Namun kalau mimpi itu dapat terwujud dengan harus menjual harga diriku, tentu saja aku menolaknya mentah-mentah, karna hanya inilah harta satu-satunya yang aku miliki, kalau juga harus aku jual, entah apalagi yang aku punya. Karna bagiku memek bukan untuk dijual, bukan karena aku takut dosa. Tidak munafik, walau tidak bisa dikatakan sering, kadang-kadang akupun pernah mencari kepuasan seksual, namun tentunya berdasarkan suka sama suka.

Kalau yang akhir-akhir ini, aku melakukannya dengan satpam komplek. Dulu waktu bekerja dimajikan yang sebelumnya, aku juga pernah melakukannya dengan anak majikan, atau dengan suami majikan, tapi itu dulu, dan itu semua sama sekali aku tak meminta bayaran, karena yang aku inginkan hanyalah kepuasan, sehingga aku juga pilih-pilih orang, gak asal orang yang mengajak lalu aku terima, tentu saja orang itu harus sesuai dengan seleraku, kalau ganteng sih relatif.

Dan akupun juga tak ingin jika harus mengeluarkan uang untuk kepuasan yang aku dapat itu, seperti satpam komplek itu, dia pikir kalau aku suka ML dengannya aku ini naksir dia, alaaaahh.. enak aja, wong dia saja sudah punya anak istri, aku bukan type wanita yang suka merebut suami orang.

Dan kurang ajarnya lagi, dia pernah mencoba minta uang sama aku dengan alasan untuk ganti hpnya yang jadul, prreeetttt… tentu saja tak aku berikan, dan dengan ketus aku maki dia “Heh, mas Yono..! Situ jangan coba-coba ngeretin saya ya, kamu pikir aku ini naksir sama sampeyan, cinta sama sampeyan… Sampeyan ngaca dulu, inget tuh sama anak bini sampeyan… inget ya, saya cuma butuh kontol sampeyan, itupun kalau saya lagi horny, kalau tidak ya emoh.. Jadi sampeyan jangan besar kepala… Jangan sampeyan coba-coba manfaatin saya, seperti halnya saya juga gak pernah manfaatin sampeyan… Yo wis, mulai sekarang saya gak butuh lagi kontol sampeyan…”

Dan sejak saat itu, lobang memekku aku nyatakan telah tertutup bagi batang kontolnya, aku tak perduli dia berkali- kali merengek meminta maaf, aku malah sengaja apabila melintas pos satpam saat ingin kepasar aku lenggak-lenggokan bokongku yang montok dan sintal ini didepannya. Dan kini yang dia bisa lakukan cuma menatap bokongku yang terbalut celana legging dengan wajah mupengnya.

Tak jauh berbeda dengan wanita-wanita cantik yang rela nikah dengan pria kaya dengan tujuan untuk dapat hidup mewah sekaligus agar status sosialnya juga ikut terdongkrak, walaupun sebenarnya dia tidak mencintai pria itu. Sehingga merakalah yang patut disebut sebagai wanita murahan dan tak lagi punya harga diri, berbeda dengan wanita yang sekedar mencari kepuasan birahi seperti aku ini, yang terpenting aku tak merusak rumah tangga orang, akupun juga tak pernah memberi inisiatif terlebih dulu, selalu para lelaki itu yang terlebih dulu menggodaku.

Dan yang paling penting lagi aku selalu mempertimbangkan kebersihan dan kesehatan, dalam artian sebisa mungkin aku selalu meminta pria itu menggunakan kondom saat ML denganku, kalau dia tidak mau ya sudah, tidak ada ML, disamping aku tak ingin terkena penyakit, aku juga tak ingin jika harus menanggung beban kehamilan atas perbuatanku itu.

Selama lima tahun aku menjalankan profesiku sebagai pembantu rumah tangga, sudah beberapa kali pula aku berganti-ganti majikan, rata-rata dari mereka adalah orang-orang terpandang, mulai dari artis sampai pejabat negara, dirumah merekalah aku bekerja. Satu alasan yang paling dominan yang membuatku harus berganti-ganti majikan adalah faktor penampilanku, istri-istri majikanku kerap cemburu denganku, mereka kawatir suami mereka akan terpincut padaku, sejujurnya aku tak punya niat sedikitpun untuk menarik atau mencari perhatian dari mereka, apalagi berniat untuk merusak tumah tangga mereka.

Sekali lagi aku bukanlah wanita bermental pelacur yang matre, sehingga walaupun pria-pria itu membujukku dengan iming-iming uang, aku tak akan begitu saja tergoda kalau memang pria itu tidak sesuai dengan selera seksualku. Terlebih salah seorang mantan majikanku dulu, seorang pria setengah baya yang bertubuh tambun, perut buncit, serta wajah bagai…

mmm.. maaf, seekor babi, yang adalah suami dari seorang tokoh wanita yang kerap memperjuangkan hak-hak perempuan, atau entah apalah namanya, pokoknya wanita separuh baya itu sering aku lihat tampil dilayar tv, membicarakan tentang persamaan hak wanita, tentang emansifasi wanita, dan.. Ah, enggak taulah, pokoknya yang dibicarakan itu selalu yang membela kaum wanita gitu lho.

Aku masih ingat dalam suatu pembicaraan dia pernah berbicara bahwa dia tidak pernah menganggap pembantu rumah tangga itu sebagai pembantu, “Saya selalu menempatkan mereka sebagai asisten, sehingga saya lebih suka menyebut mereka dengan sebutan asisten rumah tangga, ketimbang pembantu rumah tangga…

“Saya menganggap asisten rumah tangga itu bagian dari keluarga…” ucapnya lagi, sebuah ungkapan yang mendapat sambutan tepuk tangan yang cukup hangat dari penonton.

Tapi sebetulnya… Ah nuwun sewu, bukan maksud saya untuk nyinyir, karna sebagai pembantu rumah tangganya saya tak merasa pernah diajak makan bersama satu meja olehnya, dia pernah bilang “Heh, Tini.. Jangan pernah kamu makan duluan ya, sebelum kami semua selesai makan..” itu yang aku tau yang pernah dia katakan, sehingga aku selalu memegang peringatannya itu, dan tak berani untuk melanggarnya, juga saat makanpun aku tak pernah duduk dimeja makan, melainkan didapur atau didalam kamarku.

Pernah satu kali aku menyeterika blusnya, yang menurutnya hasil seterikaanku itu kurang berkenan baginya, hingga dengan bengisnya ia memaki “Tiniiiii… lu kalo nyetrika yang bener dong… ini lipetan lengannya bukan disini, kenapa disini yang elu seterika, toloooll.. Awas sekali lagi lu bikin begini, muka’ lu entar yang gua seterika sekalian…

Dan yang saya heran lagi, dia dan suaminya yang mirip, mmm… maaf, babi itu, kalau dirumah mereka tak saling bicara, tidurpun pisah kamar, tapi kalau tampil di tv, aduhaaaiii… layaknya pasangan yang selalu rukun dan tak pernah bermasalah, dan memang itu yang masyarakat tau.

Ah, sudahlah… yang sudah ya sudah, itukan masa lalu, toh akhinya aku diberhentikan oleh perempuan itu, penyebab utamanya dia jengkel karna suaminya yang mirip babi itu selalu menatap tubuhku dengan pandangan mesum.

Yang penting, majikanku yang sekarang ini orangnya baik, tak pernah ngomel, apalagi memaki, dan yang paling membuatku semakin kerasan bekerja disini adalah setiap hari minggu aku diberikan kelonggaran dalam pekerjaan, yaitu aku hanya diwajibkan menyiapkan sarapan pagi saja, setelah itu aku free, boleh keluar rumah hingga sore hari baru pulang, atau kalaupun aku dirumah aku tidak diwajibkan untuk bekerja, karna untuk hari minggu majikan perempuankulah yang masak, intinya mereka memberiku libur pada satu hari itu.

Disamping itu, majikanku ini juga memberi kesempatan padaku dalam tiga bulan sekali untuk pulang kampung, plus dibelikannya tiket kereta api pulang pergi, sehingga aku bisa menjenguk simbokku selama dua hari dirumah, Ah, aku sungguh bersukur masih bisa mengopeni simbokku ini walaupun beliau harus tinggal sendirian dirumah, bagi kami nasib simbok masih tetap lebih beruntung ketimbang nasib yang menimpa Mbah Ginem, wanita tua tetanggaku itu harus hidup sebatang kara sepeninggalan suami dan anaknya akibat bencana Merapi, sehingga dia harus bersusah payah menyambung hidup dengan cara mengumpulkan ranting-ranting kayu dihutan untuk kemudian dijual sebagai kayu bakar kepada penduduk, seberapa banyaklah tenaga perempuan tua itu dapat membawa kayu bakar yang hanya dipanggul oleh punggung tuanya itu, sehingga untuk makan sehari-haripun sering tidak mencukupi, sehingga saat aku pulang kampung kusempatkan untuk memberi sedikit rejekiku padanya.

Seperti halnya di Jakarta, aku juga sering memberikan sisa makanan dari rumah majikanku yang tentunya masih layak konsumsi kepada beberapa gelandangan atau orang gila yang biasanya hidup dibelakang pasar, itu sering kulakukan saat pagi hari belanja kepasar. Semua yang kulakukan itu bukan karena aku mengharapkan pujian dari orang lain, bahkan bukan pula karna aku berharap untuk mendapatkan pahala, yang aku lakukan adalah semata-mata agar orang-orang yang kelaparan atau orang yang sangat membutuhkan itu setidaknya bisa sedikit teratasi rasa laparnya, karna memang hanya sedikit itu yang bisa kubantu.

Dan aku bukanlah seperti beberapa orang kebanyakan itu, yang mengatakan ikhlas bersedekah karena sesuatu yang diyakininya, dengan harapan mendapatkan balasan pahala yang setimpal, sebagai bekal dihari akhir kelak, itu katanya. Ah, wong ikhlas koq masih mengharapkan balasan, bukankah seharusnya yang namanya ikhlas itu benar-benar tak mengharapkan apapun, Bahkan mereka tak perduli apabila uang yang disedekahkannya itu diselewengkan oleh orang yang tak bertanggung jawab.

Menurutnya begini “Terserah dia, mau diapain keq uangnya itu, itukan urusan dia, kalau diselewengkan dialah yang berdosa, yang penting aku telah ikhlas untuk bersedekah, dan aku bersedekah ikhlas atas namaNya… sehingga untuk itu aku yakin kalau aku tetap mendapat pahala…” bukankah kalau begitu namanya egois, yang diharapkan hanyalah pahala, sedangkan pihak yang seharusnya menerima bantuan masih tetap kelaparan, alias penyalurannya tidak tepat sasaran, dan itu tak diperdulikan oleh si dermawan itu, kalau begitu dimana rasa kemanusiaannya, sehingga aku berkesimpulan orang-orang yang berfikiran seperti itu, disaat kepercayaan mereka kepada yang diyakininya itu luntur, otomatis mereka tak akan peduli lagi untuk menolong sesamanya yang kekurangan, karena yang ada dikepalanya hanyalah pamrih.

Ah, mengapa juga aku harus ngelantur membahas yang begituan.. Kembali kemajikanku, Oh iya, majikanku itu sudah cantik, baik pula, suaminyapun baik, namanya pak Trisno, orangnya tampan dan gagah, begitu pula anak-anaknya yang satu cantik dan yang satu tampan.

Tapi yang membuatku tak habis pikir adalah… Ah, kembali aku nyinyir, sebetulnya aku tak enak jika harus menceritakan tentang keganjilan keluarga itu, karena bagiku mereka begitu baik. Aku katakan ganjil karena mereka memiliki kebiasaan melakukan hubungan seks sekeluarga, ya sekeluarga, bersama dengan anak-anak mereka sekalian, saling toblos tanpa pandang bulu…

Edan tidak? Aku berani mengatakan ini karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, walaupun dengan cara mengintip dari sela-sela jendela kamarku. Oalaaahhh… Gusti, lakon apalagi yang kini tengah kau pentaskan, lha wong anak sama bapak, anak sama ibu, kakak sama adik, lha koq saling berhubungan badan seperti itu, dan eladalaaahh…

cara mereka berhubungan badan itu, sungguh gak umum, lha wong lubang silit kok ditoblos, apa lubang memek mereka itu masih tak cukup untuk melampiaskan birahi mereka itu, dan yang lebih gila lagi pakai acara minum-minum air kencing segala, apa begitu cara orang-orang kaya memperoleh kenikmatan, tapi koq kenapa aku suka sekali ya mengintip pesta edan-edanan yang meraka lakukan di hampir tiap malam itu, tapi kalau aku gak suka kenapa juga aku begitu terangsang melihat aksi mereka, Ah, Pak Tisno yang ganteng dan gagah, seandainya batang kontolnya yang besar itu merojok lobang memekku, agghhhh…

Dan Mas Doni, brondong ganteng itu, mmmm… andai saja batang kontolnya itu aku emut, mmmhhh… Ah, sudah hampir satu bulan lobang memekku ini tak tersentuh oleh toblosan batang kontol, ya, semenjak aku putuskan hubunganku dengan satpam tengik itu, praktis semenjak itu pula aku tak memiliki gebetan yang bisa kupinjam batang kontolnya untuk menggaruk “gatel” dilobang memekku ini.

Dan, ah.. biasanya jam-jam 9 malam seperti ini mereka sedang asik-asiknya berasik masuk, lebih baik aku ngintipin mereka, dari pada kegatelan begini tapi gak ada lawan, paling ujung-ujungnya swalayan, alias nyolok-nyolok lobang memekku dengan jari tangan, gak apalah, ketimbang manyun.

Ah, sial, ruang keluarga kelihatannya sepi-sepi aja nih, apa malam ini mereka enggak pesta, hmmm… biasanya kalau enggak diruang keluarga berarti didalam kamar utama, yaitu kamar Pak Tris dan Ibu Tris, itu artinya jendela kamarku ini tak ada gunanya, Ah, lebih baik aku ngintip dari luar kamar utama, sebelumnya juga pernah aku lakukan, jendelanya biasanya tidak mereka tutup rapat, sehingga aku masih bisa ngintip dari sela-sela bagian pinggirnya.

******

Yesss… betul, tampaknya mereka tengah asik-asiknya, dan wooww.. batang kontol Mas Doni sedang menghantam memek mamanya dalam posisi nungging, sedangkan Pak Tris mencoblos kontolnya didalam lobang silit Mbak Nanda juga dengan posisi menungging, dan dua perempuan yang sama-sama nungging itu saling berciuman, ah, lesbian pula mereka, ih, ternyata bukan sekedar saling ciuman, kini mereka justru saling meludah kemulut lawannya, dan saling telan air ludah, benar-benar edan memang.

Kini Mas Doni telah membuka matanya, dan mengapa dia berhenti, dan mengapa pula menoleh kearah jendela, tepatnya kearahku.. Astaga… jangan-jangan? Ah, sial.. betul sepertinya dia mengetahui kebetadaanku… asuuuu.

“Heh… siapa itu..! itu mbak Tini kan? Ngapain disitu Mbak…” teriaknya, ah, aku tertangkap basah.. dan tak ada waktu lagi untuk menghindar, kaburpun tak ada gunanya, terpaksalah aku hanya terpaku disini sambil menunduk, bersamaan dengan itu pula mereka menghentikan aktifitasnya itu, namun sepertinya kini mereka tengah saling berbicara, atau berdiskusi, entah apa yang mereka diskusikan, suara mereka pelan, dan separuh berbisik, hanya sesekali mereka menengok kearahku yang masih berada dibalik jendela yang separuh terbuka itu.

Tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka “Mbak Tini, disuruh masuk… kamu ini, ngintip aja kerjanya… ayo cepetan…” ujar Mbak Nanda, yang hanya mengeluarkan wajahnya dari sisi daun pintu yang dibuka.

Dengan langkah gugup aku memasuki kamar majikanku itu, disana mereka semua masih dalam keadaan bugil.

“Heh, Mbak Tini… kita tadi udah sepakat bahwa Mbak Tini harus dihukum atas perbuatan yang telah Mbak Tini lakukan… Iya kan ma?” terang Mbak Nanda, sambil berjalan mengelilingiku yang hanya berdiri tertunduk ini, Ah, entah hukuman apa yang akan mereka berikan padaku, semoga saja bukan pemecatan.

“Iya dong… harus, namanya juga ngintipin orang yang lagi asik-asikan, masa’ enggak dihukum sih…” balas, Bu Tris, yang sedari tadi hanya berdiri sambil bersedekap dengan melipat kedua tangannya didada.

“Heh, Mbak Tini sebelumnya juga udah sering ngintipin kami kan? Hayo ngaku… jangan bo-ong lho, kalo bo-ong hukumannya tambah berat…” bentak Mbak Nanda lagi.

“I.. iya Mbak Nanda, saya memang sebelumnya juga pernah ngintipin..” jawabku, apa adanya.

“Memangnya kenapa koq kamu sampai sering-sering ngintipin kami?” Kali ini, Ibu Tris yang tanya.

“Ayo… jawab tuh yang jujur, kenapa kamu sering intipin kami… awas jangan bo’ong..” sambung Nanda

“Mmmm… a.. anu… mmm… anu…” ujarku gugup, entah aku harus jawab bagaimana, lha wong aku mengintipi mereka karena memang aku suka, dan kepingin juga merasakannya. Apa mungkin aku harus menjawab seperti itu.

“Ayo jawab yang jujur… jangan anu-anu saja… Apa karena kamu juga suka ya? kamu kepingin juga ngerasain yang kami lakukan.. hah? Jawab yang jujur…” tekan Bu Tris

“Iya, ayo jawab yang jujur… Jangan-jangan Mbak Tini kepingin juga ya? Awas ya kalau mbak Tini gak jujur, hukumannya bakalan tambah berat..” sambung Mbak Nanda.

Aduh, modar aku.. Gimana ini, terpaksa aku harus terus terang nih, kayaknya mereka tau kalau aku sebenarnya juga kepingin ngerasain seperti mereka, bisa menikmati batang kontol Pak Tris dan Mas Doni, duh, kedua lelaki ganteng itu hanya santai-santai saja diatas ranjang, Pak Tris justru hanya tersenyum-senyum sambil duduk dibibir ranjang, sedangkan Mas Doni berbaring santai, dan Ah, batang-batang kontol mereka masih saja berdiri tegak, dan ukurannya jauh lebih besar dibanding kepunyaan Mas Yono, satpam komplek itu.

“Iya nih, pasti Mbak Tini kepingin ngerasain juga kan? Buktinya tuh, dari tadi mata Mbak Tini ngelirik kekontol papa sama Doni aja… Ayo ngaku, mbak Tini kepingin itu kan…?” tekan Mbak Nanda lagi, diikuti dengan menunjuk kearah selangkangan Mas Doni dan Pak Trisno.

“Sekali lagi, kami ingin kamu itu jujur ya tin… Ingat, sinar matamu tidak bisa dibohongi kalau kamu memang mengharapkan itu kan?” potong Bu Tris, juga diikuti dengan menunjuk kearah Pak Tris dan Mas Doni. Waduh, apa iya toh.. Apa perasaan kita bisa dilihat dari sinar mata? Apa mataku ini menheluarkan sinar?

“I… iya sa… saya memang suka…” terpaksalah aku harus jujur, sepertinya memang sulit untuk menyangkalnya.

“Suka apa?” bentakMbak Nanda, sambil tangannya menepak lenganku.

“Suka kontol… Eh, maaf..” jawabku dengan spontan karena sedikit kaget akibat bentakan Mbak Nanda

“Iya, kontol siapa? yang jelas dong.” sambung Mbak Nanda lagi.

“Kon.. Eh, anunya Pak Tris sama Mas Doni..” jawabku

“Nah, gitu dong… Berarti kamu memang suka kan? karena kamu memang suka sama Doni dan papanya, dan kepingin ngerasain kontol-kontol mereka, maka saya putuskan bahwa hukumannya adalah, kamu harus dikeroyok oleh mereka…” papar Bu Tris, Waduh, dikeroyok? Apa ini maksudnya? Apa aku mau dipukuli sama Pak Trisno dan anaknya itu.

“Duduk..!” bentak mbak Nanda, sambil tangannya menekan pundakku dengan kuat, sedang kaki kanannya menyepak engkol kakiku dari belakang, yang membuatku jatuh terduduk bersimpuh dilantai.

Betepa terkejutnya aku saat Mbak Nanda yang berjongkok dibelakangku menyibak mulutku dengan kedua tangannya hingga mulutku terbuka lebar. Belum lagi aku paham apa maksud Mbak Nanda melakukan itu, tiba-tiba Bu Tris memberi isyarat dengan menepuk tangannya, yang bersamaan dengan itu Pak Tris dan Doni mendekat kearahku.

“Ayo guys… Saatnya untuk eksekusi..” ujar Bu Tris, diikuti dengan menjentikan ibu jari dan jari tengahnya.

“Ayo… siapa dulu nih, yang mau nyoblos mulut Mbak Tini…” ujar Mbak Nanda. Nyoblos? Mulutku mau ditoblos, dengan apa?

“Aku dulu aja deh..” Belum terjawab rasa penasaranku, Mas Doni telah berdiri didepanku dengan batang kontol mengarah didepan wajahku.

“Ya sudah, kalo gitu langsung hajar aja don..” ujar Mbak Nanda. Langsung hajar? Jangan-jangan…

Haauuupphhh… benar seperti yang aku kira, Mas Doni menghujamkan batang kontolnya kedalam mulutku yang menganga karena dibengkek oleh Mbak Nanda.

Mmmmuugghhh… ghlloogghh… ghloogghh… ghlloogghh… haauuufffff… Sial, kenapa kasar sekali sih Mas Doni ini, sebelumnya aku juga pernah oral seks, tapi ya tidak seperti ini, kalau begini caranya bisa kewalahan aku. Aduh, mana ujung kontolnya sampai menyodok-nyodok tenggorokanku, bisa muntah aku kalau begini caranya.

“Yeeeeeeee… Ayo terus yang kenceng don…” sial, gadis abg ini sepertinya malah senang, dan Ah, kini Bu Tris juga ikut-ikutan menjambak rambutku dan menekan-nekan kepalaku keselangkangan Mas Doni.

“Ini nih, hukuman untuk tukang ngintip… ayo don, lebih kuat lagi… lebih kenceng…” ujar Bu Tris.

Tangan Mbak Nanda kini tak lagi membengkek mulutku, kini tangan itu justru melucuti daster yang melekat ditubuhku, hingga menyisakan kutang dan celana dalamku.

“Udah, telanjang aja sekalian… kita semua juga telanjang koq” ujar Mbak Nanda, yang kini juga mulai melepaskan kutang dan celana dalamku.

“Woooww.. ternyata badan Mbak Tini oke juga ya, engak nyangka nih… Eh, papa.. Gimana nih, body Mbak Tini oke enggak?” ujar Mbak Nanda, yang hanya dijawab dengan acungan ibu jari tangan oleh Pak Tris. Ah, ternyata Pak Tris juga mengakui keindahan tubuhku ini.

Haduuhhh.. Mas Doni ini koq semakin ganas aja sih membombardir mulutku, ujung kontolnya yang terus menerus menyodok-nyodok tenggorokanku membuat air mataku keluar seperti menangis, air liur sudah tak terkira lagi begitu banyak yang memenuhi dagu dan pipiku, belum lagi yang menggenang hingga kebagian tetek sampai keperut, yang akhirnya jatuh menggenangi lantai.

Kini kedua tanganku ditekuk kebelakang oleh Mbak Nanda, lalu dipeganginya dengan kuat. Sial ternyata bukan hanya dipegangi, kini malah diikatnya dengan sarung pembungkus bantal guling, praktis aku tak bisa lagi berkutik, bagaikan maling yang diborgol oleh pak polisi.

Sekitar lima menit sudah batang kontol Mas Doni mengerjai mulutku, sepertinya aku sudah mulai terbiasa menghadapinya, terus terang aku mulai menikmatinya, Ah, batang kontol mas Doni yang selama ini hanya bisa aku hayalkan saja, akhirnya kini berada didalam mulutku, semoga saja tidak hanya sekedar seks oral, tentu saja aku mengharapkan lebih, kalau bisa sih lobang memekku ini nih, sudah sebulan lebih enggak kemasukan kontol, duh sungguh ngarep aku…

“Ayo pa, siap-siap… sekarang giliran papa nih..” ujar Bu Tris kepada Pak Tris yang masih duduk dibibir ranjang.

Kini batang kontol Pak Tris yang menggantikan kontol anaknya itu, sedikit lebih besar ukurannya ketimbang kepunyaan anaknya. Seperti yang dilakukan Doni, Pak Tris juga menghujami mulutku dengan kasar dan cepat. Bahkan Bu Tris yang kini berjongkok dibelakang Pak Tris ikut menekan-nekan bokong Pak Tris, ditambah lagi Mbak Nanda menjambak rambutku sambil mengguncang-guncangkan kepalaku maju mundur dengan keras.

*******

“Sudah pa… cukup dulu” pinta Bu Tris, sambil menarik pinggul suaminya itu hingga terlepas batang kontolnya dari mulutku.

Kini Bu Tris memdekatiku, ditatapnya sejenak wajahku yang berlumuran oleh air ludahku sendiri, sebelum akhirnya dijambaknya rambutku.

“Heh, Tini… Gimana, enakkan? Enak enggak?” tanyanya.

“Mmm… i.. iya bu… enak koq..” jawabku, sejujurnya hukuman yang telah mereka berikan padaku tadi memang aku nikmati, sehingga kalau mereka tanya seperti itu, ya tentunya aku jawab enak.

“Wah, ternyata Mbak Tini suka juga ma… Kirain cuma Nanda saja yang suka digituin” celetuk Mbak Nanda.

“Enak kan? Apa enggak enak tuh, abis ngintipin orang ngentot, dihukum… Eh, hukumannya malah bikin kamu keenakan.. Dasar tukang ngintip, cuiihhh…” cibir Bu Tris, diikuti dengan meludahi wajahku dengan masih menjambak rambutku. Sial betul, wajahku yang sudah belepotan ludahku sendiri masih ditambah lagi dengan ludahnya.

“Mau dientot kan? Kamu mau disetubuhi sama mereka berdua kan? Ayo jawab…!” bentak Bu Tris.

“Iya… iya saya mau bu…” jawabku, ah, memang itu yang aku harap.

“Mau apa?” bentak Bu Tris lagi

“Mau disetubuhi bu, dientot sama Pak Tris, juga sama Mas Doni..” jawabku

“Bagus.. Doni kesini kamu nak..” panggil bu Tris pada Doni, diikuti dengan mendorong keras kepalaku. Kedua tanganku yang masih terikat kebelakang membuat diriku tak dapat menjaga keseimbangan, hingga aku tersungkur dengan posisi menungging dengan pipi sebelah kiriku sebagai tumpuan dilantai.

“Kamu entot tukang ngintip ini dari belakang..” kudengar Bu Tris memberi perintah, yang beberapa detik setelah itu kurasakan dua buah tangan meremas bokongku, dan uugggghhhhh… kurasakan benda keras berukuran besar menelusup masuk kedalam lobang memekku, Aaaagghhhh.. rupanya Mas Doni menusukan kontolnya kedalam memekku yang memang sudah lebih dari sebulan kegatelan ini.

Aagghhh… kini Mas Doni mulai menggoyangkan batang kontolnya maju mundur, mmm… sedapnya, benar-benar sip, ukurannya yang gede dan panjang dapat kurasakan didalam lobang memekku, beda sekali dengan kepunyaan si satpam yang bertingkah itu. Wah, nih anak masih SMP saja barangnya udah segede gini, gimana nanti kalau sudah dewasa ya.

“Aaaaggghhhhh… memek Mbak Tini enak banget nih, kayak ngempot-ngempot gitu ya… huukkhh… huukhh… huukkhh..” oceh Mas Doni, sambil terus memacu bokongnya maju mundur. Belum tau dia, kalau semua cowok yang pernah nyicipin barangku ini pasti berkomentar seperti itu, biar dia merasakan bagaimana nikmatnya memek si empot ayam kepunyaanku ini.

“Beneran don…?” tanya Pak Tris dengan penasaran

“Iya pa, betul… nanti juga papa ngerasain… tapi nanti dong, sabar dulu ya pa..” ujar Mas Doni, sambil terus menggoyang bokongnya.

Bu Tris yang sebelumnya hanya menyaksikan aksi anak laki-lakinya itu menyetubuhi aku, tampak menarik kursi didepan meja rias, lalu diletakan didepanku, seraya dihempaskan bokong telanjangnya diatas kursi dengan santainya. Dan… Ah, sial, jempol kakinya dijejalkan kedalam mulutku.

“Nih, ayo isep nih jempol..” perintahnya, terpaksalah aku harus mengulum jempol kaki majikan perempuanku ini. Kuakui jari-jari kakinya itu memang indah, bersih dan terawat, kuku-kukunyapun dipoles dengan pewarna kuku, sehingga terlihat mengkilat. Tapi walaupun demikian, kalau untuk dimasukan kedalam mulutku tentu saja tak layak, tapi entah mengapa jempol kaki itu tetap kukulum bagai mengemuti permen lolypop.

Sementara kaki kirinya kuemuti, kaki kanannya digunakan untuk menginjak kepalaku, atau sesekali telapaknya menampar-nampar pipiku.

Dan entah darimana asalnya, tiba-tiba ditangan Mbak Nanda telah memegang rantai, entah itu rantai apa, tampilannya seperti rantai yang digunakan oleh beberapa warga komplek untuk mengikat leher anjing peliharaan mereka saat jalan-jalan berkeliling komplek. Rantai sepanjang sekitar dua meter dengan ujung dan pangkalnya terdapat sabuk kulit berwarna hitam.

“Hey, anjing… Enak ya dientot sama Doni…? Enak enggak?” hardik Mbak Nanda, sambil berdiri dengan tangan memegang hendel rantai. Ah, sial.. sesekali gadis abg itu menyentak-nyentak hendel rantai itu, yang membuat leherku serasa bagai tercekik.

“Ayo Doni, papamu udah gak sabar tuh mau ngerasain barangnya Mbak Tini… Ayo gantian dong sayang.” ujar Bu Tris, setelah beberapa menit Mas Doni menyetubuhiku.

“Waduuuhh… sebetulnya sih lagi nanggung nih, tapi gak apa-apa deh… Nih, pa.. silahkan cobain barang Mbak Tini, pasti papa ketagian deh..” ujar Mas Doni, seraya mencabut batang kontolnya dari lobang memekku.

Selepas Doni menyingkir dari tubuhku, Pak Tris tidak langsung menancapkan batang basokanya kedalam memekku, melainkan membalik tubuhku hingga telentang. Ah, kedua tanganku yang masih terikat kebelakang membuatku tak nyaman dengan posisi berbaring telentang seperti ini, dan terpaksa harus tertindih oleh bokongku, akibatnya selangkanganku juga terlihat menggunung karna terganjal, yang tentunya bibir vaginaku juga ikut menyembul keatas bak kue apem.

Dan.. jlleppp… Aagghhh… akhirnya kunikmati juga batang kontol om ganteng ini, setelah sekian lama aku hanya membayangkannya saja, kini telah berada sepenuhnya didalam lobang memekku.

“Ma, itu jempol kakimu tolong disingkirkan dulu dong…” pinta Pak Tris, kepada istrinya yang masih menjejali ibu jari kakinya kedalam mulutku.

“Ih, si papa ini, sukanya ganggu kesenangan orang aja deh…” sungut Bu Tris, namun tetap diturutinya permintaan suaminya itu, dan kini perempuan itu hanya duduk sambil menyaksikan aksi suaminya itu.

Mmmm… rupanya ini alasan Pak Tris meminta istrinya menyingkirkan jempolnya itu, dengan rakusnya dia melumat bibirku, kurasakan lidahnya itu menari-nari didalam rongga mulutku, tentu saja aku menyambutnya dengan tak kalah hot, kukulum dan kuemuti lidahnya, ludahnya yang menetes kutelan dengan rakus, mmm…

Goyangan kontolnya didalam memekku kurasakan begitu mantap, benar-benar terasa legitnya saat batang yang tegang itu menggesek-gesek otot vaginaku.

“Mmmmhhhh… Terusss paaaakk… enaaakkkk.. mmmhhhffff…” gumamku secara spontan, disela-sela pagutan mulut kami.

“Apanya yang enak tin?” tanya Pak Tris, kali ini telah melepaskan pagutannya.

“Memek saya pak… Lobang memek saya…” Jawabku, tak lagi kupedulikan ketiga orang lainnya yang tengah memperhatikan aku, rasa nikmat membuat rasa sungkanku lenyap.

“Emangnya diapain sih, koq bisa enak…?” tanya pak Tris lagi sambil terus menggoyang bokongnya, Ah, aku tau pertanyaan-pertanyaan Pak Tris ini sekedar untuk memencing jawaban-jawaban vulgar dariku.

“Iya Pak, soalnya memek Tini dientotin sama kontol bapak sih… uuugghhhhh…” jawabku.

“Emang kontol saya enak ya tin? Koq kamu sampai sebegitunya sih… Agghhhhh…” tanyanya lagi, sambil sesekali melenguh menandakan dirinya begitu menikmati permainan ini.

“Iya pak, enak banget pak… sedeeeepp deh.. Tini suka banget pak”

“Saya juga suka memek kamu tin, memek kamu legit banget.. Empotannya bakal bikin ketagihan nih… Zzzz… aaaggghhhh…”

*******

Hampir lima menit Pak Tris menggenjot memekku yang kini telah begitu basah oleh cairan birahi, hingga akhirnya aku mencapai klimaks.

“Aaaaaagggggghhhhhhh… Tini keluar paaaaakkkkk…” lenguhku, sambil kuangkat bokongku keatas, karna hanya itu yang aku bisa, seandainya tanganku ini tak terikat seperti ini, mungkin sudah kupeluk erat tubunya itu.

Aaahhhh… Sungguh nikmat, Orgasme oleh sentuhan batang kontol yang pertama sejak satu bulan terakhir tak pernah lagi aku rasakan, dan itu didapat dari pria setampan dan segagah Pak Tris. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk mengecilkan almarhum suamiku, terus terang Pak Tris adalah lelaki paling tampan dan gagah yang pernah meniduriku selama ini, dan yang memiliki ukuran kontol paling besar pula.

Pak Tris masih terus menggenjot lobang memekku yang semakin banjir dan becek, suara berkecipakan alat kelamin kami bercampur dengan tepukan paha yang saling berbenturan membuat suasana dikamar itu kian riuh. Pak Tris kembali melumat bibirku, dikuluminya lidahku seolah ingin ditelannnya. Sementara istri dan kedua anak Pak Tris hanya menyaksikan dengan tak berkedip, bahkan Mbak Nanda sepertinya telah melupakan rantai yang dipegangnya, dia justru duduk dilantai tepat disampingku sambil mengamati ayahnya menyetubuhiku.

“Uuuuggggggghhhh… Aku keluar tin… aaaagggghhhhhh… enak bangeeeeeetttttt…” Ah, sepertinya Pak Tris telah mencapai puncak kenikmatannya, kurasakan hangatnya semburan cairan kental mengisi rahimku, sepertinya cukup banyak air mani Pak Tris ini, sekitar lima kali semburan yang kurasakan, sebelum akhirnya tubuh atletis itu roboh diatas perutku.

Namun sepertinya itu belumlah waktu jeda untukku, karna setelah itu, Mas Doni yang sebelumnya masih duduk dibibir ranjang langsung menghampiri papanya itu.

“Gantian dong pa…” ujar Mas Doni, yang langsung diikuti dengan mendorong tubuh papanya itu hingga terguling kesamping dengan posisi telentang dengan batang penis yang sudah tak lagi tegak tampak berkilat basah oleh lumuran air maninya sendiri dan juga air maniku.

Woooww.. betapa terkejutnya aku saat Mbak Nanda menundukan kepalanya, dan langsung mengulum batang penis yang terlihat lengket itu, hmmm.. sepertinya gadis abg itu memang sengaja ingin menikmati cairan kental yang masih melekat itu.

Mas Doni yang kini telah menggantikan posisi ayahnya, kini mulai memegang penisnya yang sedari tadi masih berdiri tegak, ujungnya kini telah berada tepat dimuka liang memekku yang menganga dan becek.

“Doni… Tunggu dulu..! Coba sekarang kamu toblos lubang anusnya..” ujar Bu Tris, Ah, celaka… Seumur-umur aku belum pernah melakukan anal seks. Duh, bisa modar aku. Dulu saat aku bekerja dengan majikan yang lain, pernah ada salah seorang anak majikan ingin memasukan batang kontolnya kedalam lobang silitku, tentu saja aku tolak mentah-mentah, bagiku anal seks pasti akan menyakitkan, bagaimana tidak, lha wong kalau tiga hari aku gak berak, sekalinya berak tainya keras, dan saat keluar sakitnya bukan main, itu barulah tai, yang sekeras-kerasnya tai tidaklah sekeras batang kontol yang sedang ngaceng, aduuuhhh saat kubayangkan batang kontol yang gede dan keras itu masuk kelobang anusku, dan dikocok-kocok pula, ampuuuunn.

“Jangan… jangan Mas Doni, jangan dientot silitku… ampun mas jangan… Bu.. Bu Tris, jangan dong bu… toloooong..” mohonku

Namun sepertinya mereka tak memperdulikannya, Mas Doni malah membalik tubuhku hingga aku kini tertelungkup, dan mengatur posisiku agar kembali menungging.

“Tidak ada penolakan… pokoknya lobang pantatmu harus ditoblos… Memang kenapa? Kamu belum pernah kan? Makanya kamu harus coba’in..” tolak Bu Tris.

Baru saja aku hendak berontak dan bermaksud berdiri, Mas Doni telah menahan pinggulku, sedang Bu Tris langsung menginjak kepalaku hingga pipiku sebelah kiri kini menempel pada lantai, begitupun dengan Mbak Nanda, yang berdiri sambil menginjakan kaki kanannya pada punggungku, sedang ditangannya memegang hendel rantai yang masih diikatkan dileherku.

Sial, kalau begini aku benar-benar tak berkutik. Boro-boro bisa kabur, bergerakpun tak mungkin aku bisa.

“Heh, mau lari kemama kamu…?” hardik Bu Tris, sambil menginjakan kakinya dikepalaku.

“Jangan coba-coba mau kabur ya… Rasain dulu bo’ol kamu ditoblos sama kontol Doni, hi.. hi… hi…” sambung Mbak Nanda.

“Tolong dong Bu Tris… Saya takut kalo silit saya ditoblos… Kan sakit bu.. Jangan bu, nanti kalau saya ambein bagaimana…” hanya memelas yang masih bisa aku lakukan, semoga saja mereka membatalkan niatnya itu.

“Ah, masa bodo’ mau ambein keq… mau dobol keq, itu urusan kamu… Ayo don, langsung hajar…!” ujar Bu Tris.

“Aaddaaaaaauuuuwwwwwww…” Pekikku, Sial, pemuda tanggung itu benar-benar memasukan batang penisnya kedalam lubang anusku, apuuunnn rasanya perih sekali.

“Tenang aja mbak… baru masuk ujungnya doang, koq udah segitu histerisnya sih…” ujar Mas Doni, haduuuhh, baru ujungnya saja yang masuk sudah perih begini.

“Aduuhh biyuuuuung… sakiiiiitttt… Asuuuuu kamu Mas Doniiiii…” pekikku saat Mas Doni memasukan seluruh batang kontolnya kedalam lobang silitku.

“Alaaahhhh… Mbak Tini ini, belum juga digoyang… Nih, kalau gitu, Doni goyang sekarang… heyaaaa… hugghhh… hugghhh… hugghhh.. “Bangsat, anak ini mulai mengocok-ngocokan batang kontolnya didalam lubang anusku, terpaksalah aku hanya bisa pasrah menerima siksaan ini, telah kucoba untuk berontak, namun justru mereka lebih kuat lagi menahan tubuhku, hingga akhirnya aku hanya bisa menangis merasakan sakit pada liang anusku.

Aaaahhhh… entah sampai kapan bocah ini mengakiri aksi sodominya padaku, bahkan kurasakan gerakannya itu semakin kuat dan cepat.

Sambil masih menginjak kepalaku sesekali Bu Tris menundukan kepalanya, untuk kemudian meludah kearah liang anusku, sepertinya maksudnya itu untuk memberikan pelumasan.

Hampir lima menit aku harus merasakan penetrasi pada lubang anusku ini, entah karena aku telah terbiasa dengan rasa sakitnya atau karena otot-otot pada lubang anusku yang memang telah mengendur dan ukurannya menjadi lebih besar, sehingga sodokan batang penis Mas Doni kurasakan tak lagi sesakit sebelumnya, yang membuatku bisa sedikit lebih rilek menghadapinya.

“Aaagggghhhhhh… Doni mau keluar nih… aaaaaaaaggghhhhhhh..” sepertinya bocah itu telah klimaks, semburan spermanya kurasakan didalam liang anusku. Untuk beberapa saat dia masih memompakan penisnya walau dengan kecepatan rendah dan tersendat-sendat, sepertinya dia masih menikmati sisa-sisa orgasmenya, hingga akhirnya benda yang menyumbat liang anusku itu terdiam seiring dengan bocah abg itu menarik nafas panjang.

“Fuuuuuuuhhhhhh… sedaaaaappppp…” ungkapnya, sambil menarik lepas batang kontolnya dari dalam duburku.

“Nanda, coba kamu ambil roti tawar didapur.. Gak usah banyak-banyak, cukup sepotong” perintah Bu Tris, yang langsung dituruti oleh Nanda yang segera ngeloyor keluar.

Hmmmm… entah untuk apa lagi roti tawar yang diinginkannya itu, apakah dia lapar. Tak lama setelah itu Nanda telah kembali dengan membawa satu putong roti tawar ditangannya yang langsung diberikan pada ibunya.

Bu Tris melepaskan injakan kakinya dari kepalaku, seraya beringsut kearah pantatku yang masih menungging

“Saya mau kasih kamu makan malam spesial… saya jamin kamu pasti suka tin.. Hi… hi… hi…” ujar Bu Tris, yang kini berjongkok menghadap pada bokongku. Makan malam? Apa maksudnya itu, dan roti itu, untuk apa? Jangan-jangan? Ah, sepertinya yang aku perkirakan memang demikian, jari tengah dan telunjuknya ditusukan kedalam lobang silitku, dikocok-kocoknya beberapa saat lalu ditarik keluar, dan Aaahhh..

benar-benar jorok perempuan ini, air mani anaknya yang bersarang didalam lubang anusku mengalir keluar dan langsung mendarat diperemukaan roti tawar yang dipegang dengan tangan kirinya. Sepertinya dia belum puas dengan jumlah sperma yang memenuhi permukaan roti itu, hingga diulanginya langkah sebelumnya yaitu mengorek-ngorek lubang duburku, dan itu dilakukannya hingga tiga kali.

“Tadaaaaaa… makan malam telah siap… mmmmm… aromanya betul-betul menggoda…” ujar Bu Tris, diikuti dengan menghirup aroma roti ditangannya sambil memejamkan mata seolah itu adalah makanan yang sedap.

Kini roti tawar itu disodorkan kearah wajahku, gumpalan benda kental berwarna putih kekuningan tampak memenuhi permukaannya, aroma khas sperma bercampur dengan aroma lubang pelepasan merebak kedalam lubang hidungku.

“Ayo silahkan dinikmati… Buka mulutnya… Aaaaakkkkkkk..” ujar Bu Tris, sambil menyodorkan roti itu kedepan mulutku, entah mengapa aku menuruti permintaan konyolnya itu, kubuka mulutku lebar-lebar bersiap menerima makanan spesial itu.

“Oooowww… pinternya.. Aaaaeeemmmm… Lagi nih lagi… aaaeemmmm..” kukunyah juga makanan itu seolah rasa jijik telah hilang dari otakku, dan kutelan pula setelah halus.

“Iyeeeesss… kamu memeng pinter, nih sedikit lagi… aaeeemmmm…” akhirnya roti dengan selai spesial itu habis, berpindah mengisi lambungku dimalam ini.

“Gimana… Enakan?” tanya Bu Tris, sambil tangan kanannya mencengkram daguku.

“Iya, enak bu… enak..” Ah, lebih baik kujawab dengan seperti itu, toh memang roti itu rasanya enak, hanya ada sedikit rasa asin, tak ada bedanya dengan rasa keju, apalagi air mani itu asalnya dari pemuda setampan dan segagah Mas Doni, jadi tak ada alasan untuk merasa jijik, terlepas itu sebelumnya telah mengendap didalam lubang anusku, ah, masa bodo lah.

“Hmmmm… kamu pasti haus kan… Mau minum?” tanyanya lagi.

“Iya bu, minum..” roti ini memang membuatku sedikit serat, sehingga aku butuh air untuk melancarkannya.

“Baik… Tunggu sebentar ya..” Entah apa yang direncanakannya, mengapa setelah itu mereka menjauh dan apa lagi yang mereka rundingkan dengan berbisik-bisik seperti itu. Tak berapa lama, keempat orang itu datang lagi menghampiriku dengan wajah seperti hendak menahan tawa. Ah, entah apa yang mereka rencanakan ini.

“Ayo bangun…” ujar Mbak Nanda, sambil menarik hendel rantai yang masih terikat dileherku, sehingga memaksaku untuk bangkit dari posisi menunggingku.

“Udah… Mbak Tini duduk aja disitu..” ujarnya lagi. Akupun kini hanya duduk bersimpuh dilantai, menanti sesuatu yang entah apalagi yang akan mereka berlakukan padaku.

“Kamu selesai makan roti tadi belum minum kan? Pasti haus dong?” tanya Bu Tris

“Iya bu, saya haus…” jawabku

“Mau minum?” tawarnya, yang aku jawab hanya dengan menganggukan kepala.

“Kalau gitu, kamu buka mulut kamu lebar-lebar… Cepaaat!” perintah Bu Tris, yang segera aku ikuti kemauannya itu. Tapi mengapa aku tak melihat adanya minuman disitu.

Sepertinya mereka mereka ingin mempermainkan aku, aku yakin itu, terlebih saat mereka berempat berdiri mengelilingi aku. Ah, mengapa Pak Tris dan Mas Doni memegangi batang penisnya? Dan Bu Tris serta Mbak Nanda menyibak bibir vaginanya, dan kesemuanya itu mengarah padaku.

“Satu… dua… ti..” satu, dua, tiga… apa ini? Ah, assuuuu… mereka mengencingi diriku, semuanya. Ya, kesemuanya dari mereka memancurkan air seni kearahku dari empat penjuru angin, kiri, kanan, depan dan belakang, secara bersamaan. Benar-benar edan tenan mereka.

“Ayo buka mulutnya… Diminum…” ujar Bu Tris.

“Ayo Mbak, diminum tuh, bir pletoknya hi… hi.. hi..” celetuk Mbak Nanda yang mengencingi bagian belakang kepalaku.

Ah, nasi sudah manjadi bubur, wis kadung teles… mandi sekalian lah. Gila, tak percaya aku, akhirnya air kencing Pak Tris yang mancur kemulutku kutelan, dan itu bukan cuma sekali teguk, tapi berkali kali cairan hangat dengan bau pesing menyengat itu kureguk. Ah, biarlah… lebih baik dinikmati saja.

Dan mereka sepertinya begitu menikmati momen itu, yel-yel dan sorak sorai mereka memecah ruangan itu.

“Horeeeee… ayo minum terus Mbak…” sorak Mas Doni

“Ayo mbak… itung-itung keramas, kan abis ngentot… hi… hi.. hi..” sorak Mbak Nanda dengan vulgarnya, Ah gak nyangka anak ini ternyata omongannya kayak preman terminal.

“Yeeeeeeee… apa enggak enak tuh, abis makan roti dikasih teh hangat… sekalian mandi basah lagi…” kali ini Bu Tris.

“Iya tin… minum semua tin… mamanya anak-anak juga paling suka tuh minum air kencing seperti ini… he.. he.. he…” juga Pak Tris. Ah, kalau itu aku juga sudah tau, hampir setiap kali mereka melakukan pesta seks selalu diakhiri dengan ritual minum air seni, tapi itukan Bu Tris, bukan aku.

Eeeerrrggghhhhh… Banyaknya air seni yang mengisi lambungku sampai-sampai membuatku bersendawa, kurasakan aroma pesing dari sendawaku itu. Sepertinya mereka telah tuntas, tak ada lagi pancuran air seni dari kemaluan mereka, kecuali tawa dan sorak-sorai mereka yang masih tersisa.

“Gimana tin, enak enggak?” tanya Bu Tris, yang hanya aku jawab dengan sendawa yang panjang, sehingga memancing mereka tertawa cekikikan seolah itu hal yang lucu. Habis harus aku jawab dengan apa, toh kalau aku jawab enak, masa’ sih air kencing enak, tapi kalau aku jawab tidak, nyatanya aku minum juga, dan aku merasa baik-baik saja dengan itu, tak ada yang membuatku tersiksa karenanya.

“Hey Mbak Tini, itu yang tergenang dilantai juga diminum dong…” ujar Mbak Nanda, yang segera diikuti oleh Bu Tris dengan mencengkram leher belakangku lalu menekannya kebawah, hingga tubuhku kembali menungging dengan wajah mencium lantai.

“Ayo diminum… diabisin…” perintah Bu Tris, kali ini dia berdiri sambil kaki kanannya menginjak kepala bagian belakangku.

Srrrrryyyuuuufffff… ssrrrryyyuuufffttt… srruppppuuutttttt… Bagai seekor anjing, air seni yang memang banyak tergenang dilantai itu kuhirup langsung dengan mulutku.

“Ayo, pindah kesebelah sini…” ujar Mbak Nanda, sambil menarik hendel rantai yang dipegangnya, sehingga diriku merangkak beringsut keposisi sesuai yang dia inginkan.

******

Setelah dirasakannya tak ada lagi genangan air seni disekitar kamar itu, mereka melepaskan ikatan tanganku, sekaligus rantai yang dikalungkan dileher

“Gimana? Sudah kenyang?” tanya Bu Tris, yang kujawab dengan hanya menundukan kepala.

“Ya sudah sana, kamu kembali kekamarmu, dan langsung mandi, setelah itu kembali lagi kesini untuk membersihkan ruangan ini… Cepat…!” terang Bu Tris, diikuti dengan menepuk pantatku.

Begitu diriku berada diluar ruangan itu, masih sempat kudengar suara tawa mereka yang berbarengan, Ah, sial, tampaknya mereka begitu senang telah mengerjai aku. Tapi tak apalah, setidaknya aku tak merasa rugi-rugi amat, toh aku juga merasa beruntung telah merasakan batang kontol mereka, bahkan sampai aku klimaks, perkara Mas Doni menyodomi anusku sepertinya aku akan bisa mengatasinya, itu terbukti disaat-saat terakhir lobang duburku digenjot, rasa sakit itu berangsur berkurang, sukur-sukur dua atau tiga kali lagi aku melakukan anal seks justru akan bisa menikmatinya, seperti sebelumnya aku mengintip mereka, bagaimana Bu Tris dan terutama Mbak Nanda yang tampaknya begitu menikmati anal seks.

Ah, tapi mengapa aku begitu GR kalau mereka akan mengajak aku lagi, bisa saja itu tadi adalah yang pertama dan terakhir. Tapi perasaanku mengatakan kalau aku bakalan diajak lagi, dan sejujurnya akupun memang mengharap, terlepas perlakuan kasar mereka padaku. Rasa nikmat yang kuperoleh jauh lebih besar ketimbang rasa sakit yang aku terima saat dibuli tadi, lagi pula mereka tak menganiaya atau memukuliku.

Ah, apapun yang bakalan terjadi selanjutnya, kita lihat saja nanti.

Cerita Dewasa

Halo, Saya adalah penulis artikel dengan judul Keluarga Pak Trisno 6 yang dipublish pada November 4, 2022 di website CeritaSex

Artikel Terkait

Leave a Comment