Keluarga Pak Trisno 7
Seperti biasa, setelah selesai bersih-bersih rumah dipagi hari ini, yaitu menyapu dan mengepel lantai, masih ada pekerjaan rutin lain yang paling tak bisa untuk ditunda, pekerjaan yang menyangkut urusan perut. Apalagi kalau bukan menyiapkan sarapan pagi.
Walaupun pagi ini aku bangun sedikit terlambat dikarenakan pukul satu dini hari tadi baru bisa memejamkan mata, tapi sukurlah akhirnya semua rampung juga sebelum mereka terbangun.
Ah, setelah peristiwa tadi malam, dimana aku dikerjai oleh seluruh anggota keluarga ini, dan dimalam itu pula aku masih harus mengepel lantai diruang tidur utama. Sebetulnya sih pukul sebelas malam semuanya telah selesai, tapi karena terus membayangkan peristiwa yang telah kualami itu, baru dua jam kemudian aku bisa tertidur.
“Selamat pagi Tini..” uuupps, sapaan itu membubarkan lamunanku. Segera kuberdiri dari kursi set meja makan. Siempunya suara langsung menghempaskan bokongnya yang dibalut lagging ketat diatas kursi, seraya menenggak jus apel yang telah kuhidangkan. Ya, dialah Bu Tris, yang tadi malam tampak begitu bengis, kini terlihat begitu ramah, bahkan lebih ramah dari hari-hari biasanya.
“Pa.. pagi bu..” jawabku, dan segera bermaksud untuk beringsut dari tempat itu.
“Eiiittt… mau kemana sih? Santai aja… Udah, kamu duduk aja disini, kita sarapan bareng-bareng…”
“Ah, enggak usah bu, biar saya sarapan didapur saja, sambil masak air..”
“Aduuuhh… kamu jangan gitu dong, plis deh mulai sekarang kamu makan disini bersama kita..” mohon Bu Tris, sambil menarik pegelangan tanganku. Memang sih, selama ini keluarga ini cukup baik padaku, namun kalau untuk mengajak makan bersama dalam satu meja sepertinya mereka belum pernah, walaupun juga tidak pernah memberikan pelarangan untuk itu.
Yang aku tau mereka tak pernah peduli dimana aku makan dan kapan aku makan, juga apa yang aku makan, namun tentu saja aku tak sekurang ajar itu untuk dengan seenaknya makan disitu bersama dengan mereka, bagiku makan didapur atau dikamar jauh lebih nyaman, dan yang paling penting aku bisa makan sesuai dengan selera lidahku, yaitu sambel terasi cabai mentah dan ikan asin dengan ditemani lalapan kubis beserta kacang panjang mentah.
Dengan canggung akhirnya aku duduk disamping Bu Tris, dan tak lama setelah itu seluruh anggota keluarga telah memenuhi ruang makan.
Seperti yang diminta Bu Tris, akupun akhirnya sarapan dalam satu meja dengan mereka, terus terang ini adalah untuk pertama kalinya selama lima tahun aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
“Sambil makan, ada yang mau kita bicarakan nih tin…” papar Bu Tris, sambil menikmati nasi gorengnya.
“Oh iya, sebelumnya kita mau minta maaf untuk yang tadi malam itu, dan gak usah diambil hati, kita cuma pura-pura aja koq… Mmmm… anggap aja itu perpeloncoan. Tepatnya perpeloncoan bagi calon anggota keluarga baru…” terang Bu Tris. Keluarga baru? Apa maksudnya itu?
“Keluarga baru? Mmm… maksudnya gimana ya? Maaf, saya masih belum paham…” potongku.
“Begini lho tin…” ujar Bu Tris, seraya meletakan sendok dan garpunya dengan posisi tertelungkup diatas piring, diikuti dengan menenggak sedikit air putih, lalu mengelap bibirnya dengan tisu, sepertinya dia telah merampungkan sarapan paginya itu, walau dipiringnya masih tersisa separuh nasi goreng.
“Seperti yang kamu tau, kami sekeluarga disini telah terbiasa melakukan hubungan badan satu sama lain, sesuatu yang sebenarnya tidak lazim didunia ini, sehingga sudah barang tentu kami juga tidak ingin kalau kebiasaan kami ini sampai diketahui orang lain. Mmmm… tapi kenyataannya kamu justru telah mengetahuinya.
“Tapi saya janji tak akan memberi tahu pada siapapun juga bu…” potongku
“Ya, baguslah kalau begitu, namun kami akan lebih nyaman kalau kamu juga menjadi bagian dari kami, artinya kamu juga ikut berpartisifasi dalam acara yang biasa kami lakukan itu.. Karna kami juga gak nyaman dong, kalau kami lagi ngesek bersama, sementara kamu berada dirumah ini, tapi beda ceritanya kalau kamu juga ikut terlibat, dan tampaknya sih, kalau aku lihat reaksimu tadi malam, sepertinya kamu menikmati betul tuh, iyakan?
“Mmmm… Enggak.. enggak bu, bagi saya dengan kenaikan dua kali lipat sudah sangat cukup, baiklah kalau memang ibu menerima saya untuk… mmm.. seperti yg dikatakan ibu tadi, saya sih terima saja bu… mmm.. Tapi apa yang lainya juga tidak keberatan, maksudnya bapak, Mas Doni dan Mbak Nanda apa juga bersedia menerima saya untuk ikut begituan..
“Ooowwww… Tentu saja, kamu gak perlu kawatir, itu sudah kami rundingkan tadi malam.. Iyakan pa?” jawab Bu Tris.
“Iya Tin, kami semua sudah setuju koq…” ujar Pak Tris
“Betul Mbak, biar lebih rame nih…” sambung Mas Doni
“Iya Mbak, lagian kasian tuh, Doni sama Papa ketagian sama memek Mbak Tini yang katanya bisa ngempot itu..” lanjut Mbak Nanda.
Ah, betapa senangnya aku saat ini, kalau tidak malu mungkin aku sudah berjingkrak kegirangan, betapa tidak, mereka malah memintaku untuk bergabung dalam pesta seks yang sering mereka lakukan itu, Ah, itu artinya aku tak perlu lagi untuk bersusah-susah mengintip sambil membayangkan kontol-kontol mereka mencoblos lobang memekku.
“Terima kasih, kalau memang begitu saya jadi lega sekarang..” ujarku.
“Jadi kesimpulannya kamu menerima kan?” tanya Bu Tris. Yang kujawab hanya dengan menganggukan kepala, seraya menunduk sambil tersenyum malu-malu.
“Ya baguslah kalau begitu, aku mau mandi dulu…” ujar Bu Tris, seraya berdiri meninggalkan ruang makan, dan diikuti oleh yang lainnya karna memang mereka telah selesai sarapan untuk pagi itu.
“Oh, iya tin… Kamu siapkan diri kamu untuk pesta nanti malam, kamu tau sendirikan pesta apa…” ujar Bu Tris setengah berteriak, karna dirinya memang telah berada ditangga untuk menuju kekamarnya.
“Dan kamu gak perlu kawatir, kamu gak akan diplonco lagi seperti tadi malam..” sambungnya, lalu kembali melangkah menyusuri anak-anak tangga.
********
Mandi sore untuk kali ini sedikit berbeda dari biasanya, kali ini aku ingin tubuhku benar-benar bersih, terutama pada organ-organ intim. Siang tadi aku sempatkan membeli cairan khusus pembersih vagina yang berbahan dasar daun sirih untuk membasuh vagina sekaligus seluruh bagian selangkangan, tak ketinggalan ketiakpun tak akan kubiarkan menyebarkan aroma kecut yang akan membuatku merasa kurang PD.
Ah, sepertinya aku tak perlu untuk dandan mencolok seperti layaknya ingin menghadiri kondangan, aku percaya dengan wajahku ini, yang menurut pengakuan majikan laki-lakiku ditempat sebelumnya, bahwa wajahku sudah cukup cantik, make-up yang terlalu tebal justru akan menutupi kecantikanku, begitu katanya, Ah, kasian juga lelaki muda itu harus menghadapi gugatan cerai dari istrinya karena kepergok berselingkuh denganku, tapi biar sajalah, toh aku tak pernah menggoda, apalagi meminta untuk digauli olehnya, itukan karna dia sendiri yang mengejar-ngejar diriku agar mau diajak tidur olehnya, tapi orangnya boleh juga sih, lumayanlah untuk sekedar melampiaskan birahi, walau batang kontolnya tergolong kecil untuk ukuran orang dewasa, namun dia romantis, kata-katanya yang puitis lebih mampu meluluhkan hatiku ketimbang daya tarik seksualnya, tapi tetap saja dia gombal, dan tak lama setelah itu buntut-buntutnya aku dipecat.
Daster sederhana ini aku rasa lebih nyaman, tidak norak, mamun saat aku berdiri membelakangi cahaya akan terlihat jelas isi didalamnya, aku rasa ini justru yang akan membuat penasaran lawan jenis.
*******
Sekitar pukul delapan malam mereka telah berkumpul diruang keluarga sambil menyaksikan televisi. Apakah sebaiknya aku langsung saja bergabung bersama mereka disana, bukankah tadi pagi Bu Tris telah mengundangku untuk bergabung dalam pesta seks keluarga. Tapi.. Ah, sebagai pembantu rumah tangga tetap saja aku masih merasa canggung untuk ujlug-ujlug langsung nimbrung dan duduk disana, walaupun sebelumnya mereka bilang telah menganggapku sebagai bagian dari keluarga, namun aku tetap harus tau diri dan tak ingin memperlihatkan sikap yang memberi kesan melunjak.
“Hey.. Tini, Mau kemana lagi sih, koq nylonong aja…” tegur Bu Tris, yess.. ini yang kuharapkan.
“Mmm… anu bu, saya cuma mau ambil sapu dibelakang… Kamar saya agak kotor..” jawabku, tentu saja itu hanya alasan.
“Alaaahh… sudah lah, besok juga bisa… Ayo, kamu duduk disini dong, sama-sama dengan kita..” Ah, memang ini yang saya mau bu, ujarku dalam hati. Dan dengan malu-malu aku hanya berdiri, karna sesungguhnya aku juga masih bingung untuk duduk disebelah mana.
“Mmm.. Nanda, tolong kamu duduk disitu dulu dong sayang..” pinta Bu Tris, sambil menunjuk kearah kursi single didekat situ, yang langsung dituruti oleh Mbak Nanda.
“Sekarang kamu duduk disini..” kali ini dia memintaku untuk duduk disampingnya, tepatnya disofa yang sebelumnya dududuki Mbak Nanda. Kini aku diapit oleh Bu Tris yang berada disamping kiriku dan Pak Tris disebelah kananku.
“Doni, coba sekarang kamu kesini sayang..” panggilnya lagi, kali ini kepada Mas Doni yang duduk dikursi single disamping Mbak Nanda.
Kini Mas Doni duduk disamping kanan Bu Tris, praktis sofa ini kini dipadati oleh empat orang termasuk diriku.
“Kamu koq masih keliatan malu-malu begitu sih tin, nyantai aja dong…” ujar Bu Tris, sambil mengusap-usap pahaku, setelah sebelumnya menyingkap keatas bagian bawah dasterku, hingga pahaku yang putih mulus ini terumbar
“Iya nih, kamu jangan malu-malu gitu dong, sekarang kita bakal manjain kamu deh… iya kan ma?” Sambung Pak Tris, sambil meremasi payudaraku yang masih terbalut daster ini. Ah, aku jadi tersanjung sekaligus kikuk, namun juga bahagia, sehingga hanya menunduk sambil tersenyum-senyum malu saja yang aku bisa.
“Iya dong pa… Itung-itung nebus kesalahan kita deh, karena tadi malem kan kita udah kerjain kamu abis-abisan..” Balas Bu Tris, kali ini mulai mencoba melucuti dasterku.
“Sekalian aja deh, dibuka semuanya…” pinta Pak Tris, setelah dasterku berhasil dilucuti oleh istrinya.
“Wah, Bapak udah nafsu banget tuh tin… Langsung dibuka aja deh, beha sama cd kamu.” ujar Bu Tris, seraya melepas kaitan beha dipunggungku. Demikian pula Pak Tris, seolah tak sabar, dilucutinya celana dalamku, hingga kini aku benar-benar bugil.
“Bodi Mbak Tuti memang oke nih, menurut aku Mbak Tuti ini pembokat paling seksi deh disekitar sini, bisa jadi diseluruh Jakarta.. Iya enggak ma?” kali ini Mas Doni yang nyeletuk.
“Huuuuss… kamu ini, pembokat-pembokat aja.. Jangan menganggap Mbak Tuti sebagai pembantu deh..” tegur Bu Tris kepada Mas Doni.
“Ya enggak apa-apa toh bu… Lha saya kan memang pembantu…” ujarku, disela-sela menikmati lobang memekku yang mulai dikobel-kobel oleh Pak Tris.
“Ya beda dong tin, walau secara status kamu memang sebagai asisten rumah tangga disini, tapi kamu telah kami anggap sebagai bagian dari keluarga ini…” terang Bu Tris.
“Mmmm.. aaaaggghhhhh… I.. iiya.. terima kas. ssih.. kalau begitu bu… zzzzz… aaahhh..” jawabku, sambil merintih nikmat, karna disamping mengobel-ngobel liang memekku, Pak Tris juga mulai mengemuti puting susuku.
“Heh, Doni… Mendingan kamu jilatin aja deh memek Mbak Tini tuh… Ayo sini..” ujar Bu Tris, diikuti dengan mendorong meja yang berada didepan sofa menggunakan kakinya untuk memberi ruang bagi putranya itu agar dapat memposisikan diri berjongkok dibawah selangkanganku.
Bu Tris mengangkat dan meletakan kaki sebelah kananku diatas pahanya, sehingga membuatku mengangkang memperlihatkan memekku yang menganga, dan bertambah lebar lagi kangkanganku saat Mas Doni menyelempangkan kaki kiriku diatas paha Pak Tris.
“Uuuuugggghhhh… betapa nikmatnya saat kurasakan benda lunak nan basah bergerak-gerak menggelitik disekitar bibir vaginaku. Ya, lidah Mas Doni mulai menjilat lincah disekujur bagian luar memekku.
Tak beberapa lama, kedua ibu jarinya menyibak bibir vaginaku, ditatapnya sejenak, lalu kembali lidah itu terjulur, kali ini merangsak lebih jauh kedalam lorong dan dinding vagina yang membuatku semakin blingsatan karenanya, bagaimana tidak, seumur hidupku belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti ini, dimana kedua organ sensitifku dioral oleh dua lelaki sekaligus, yaitu mas Doni yang mengerjai memekku, sedangkan Pak Tris yang masih asik menetek payudaraku secara bergantian.
“Mmmmmm… Zzzzzzzz… Nikmaaaaaatttttt… aaaaggghhhhh…” gumamku, sambil memejamkan mata dan meremasi rambut Mas Doni.
Dan betapa terkejutnya aku, saat dalam pejamku kurasakan sentuhan benda lunak dengan hembusan hangat menerobos kedalam mulutku yang menganga. Astaga, rupanya Bu Tris menelusupkan lidahnya kedalam mulutku seraya menggelitik lidahku.
Ah, bagaimana mungkin aku dapat melayaninya, aku sama sekali bukan Lesbian, dan tak pernah tertarik dengan sesama jenis, dan tentu saja aku terkejut dengan ekspresi mataku sedikit melotot. Sepertinya Bu Tris mengetahui apa yang aku pikirkan, namun dia tidak berkata apapun, selain hanya matanya saja yang berkedip pelan sambil menganggukan kepala, sebuah bahasa tubuh yang aku terjemahkan sebagai “tenang saja,” “nikmati saja” atau “tak perlu kau tampik, ikuti saja, niscaya kau akan menikmatinya..
Yah, lebih baik memang aku nikmati saja keganjilan ini, itu kata hatiku, hingga lidah perempuan itu akhirnya juga kukulum dengan lembut, saling berpilin dan berpagutan dengan liar, kutelan air liurnya yang menetes dimulutku, begitupun sebaliknya.
Rasa jijik seolah lenyap, entah apa karena aku sedang terbuai oleh nikmat oleh oral seks dari anak dan bapak ini sehingga yang seharusnya aku jijik berciuman dengan sesama jenis, kini justru menikmatinya. Atau barangkali aku sudah tertular oleh virus lesbiannya Bu Tris? Ah, ada-ada saja, mana ada virus macam begitu, masa bodo’ lah yang penting aku nikmat, dan bahkan sangat nikmat, hingga tanpa sadar tangan kananku merangkul leher belakang Bu Tris, seolah tak ingin pagutan kami cepat-cepat berakhir.
Perhatian Pak Tris yang sebelumnya hanya terpusat pada kedua payudaraku, kini harus terpecah melihat aksiku dengan Bu Tris. Kuluman pada puting susuku ditinggalkannya, seraya menjulurkan lidahnya disela-sela lidah kami yang masih berpilin, sehingga lidah kami bertiga saling berpilin, kadang bergantian aku mengulum lidah Pak Tris, lalu Bu Tris, atau sebaliknya.
Aauuuuww.. Betapa terkejutnya aku saat kurasakan sentuhan benda lunak menggelitik lubang anusku, Ah, rupanya Mas Doni kini menjilati duburku, seumur-umur baru kali ini aku merasakan sentuhan lidah pada lubang anus, Uuugghhhh… ternyata nikmatnya luar biasa.
Kami bertiga masih saling berpagutan dengan semakin liar, Ah, ini sih bukan sekedar berciuman, karna mereka mulai saling meludahi satu sama lain kedalam mulut lawannya, sebuah aksi nyleneh yang akhirnya membuatku terpancing untuk melakukan hal yang sama.
Kini kepala Bu Tris berada diatasku, wajahnya menunduk, sementara tangan kirinya menahan rambutnya agar tidak terurai jatuh, mulutnya sedikit dimonyongkan, suatu isyarat yang dapat kubaca maksudnya, sehingga kubuka mulutku dengan menganga menghadap keatas, dan pleh… cairan bening sedikit kental tumpah dari mulutnya memenuhi ronga mulutku, Glek…
Birahiku yang mulai memuncak membuat rasa canggungku hilang, dan tanpa ragu kutelusupkan tangan kananku kedalam celana pendek Pak Tris, Ah, batang kontol yang sedari tadi membuatku penasaran itu kini berada digenggamanku, seolah mengerti apa yang kumau, Pak Tris melepas sekalian celana dan T-shirtnya hingga dirinya juga telanjang bulat sepertiku, begitupun dengan Bu Tris juga mulai melucuti t-shirt dan celana leggingnya hingga bugil.
Kembali aku dibuat terkejut oleh Bu Tris saat tubuh bugilnya itu berdiri diatas sofa dan mengangkangi diriku hingga selangkangannya berada tepat didepan wajahku.
“Jilatin memek saya tin… Gak apa-apa, nanti kamu pasti suka…” tawar Bu Tris, sambil menyibak bibir vaginanya dengan kedua tangan. Dan kembali aku tak mampu menolak, walau dengan ragu, aku mulai menjulurkan lidahku. Bu Tris segera mendorong bokongnya sedikit kedepan, sehingga memeknya yang menganga dengan warna pink kemerahan itu menyentuh lidahku.
“Kok diem aja sih, Ayo.. dimainain dong lidahnya…” ujar Bu Tris, saat lidahku hannya diam tanpa pergerakan.
Seperti yang diinginkannya, lidahku mulai menggelitik disekujur bibir dan liang vaginanya, mmmh.. aroma memek Bu Tris memang harum, sepertinya dia rajin merawat organ intimnya ini, tak ada sedikitpun aroma pesing, apalagi aroma seperti bau terasi.
Benar yang dikatakan Bu Tris, entah mengapa aku mulai menikmatinya, bahkan lidahku mulai menggelitik jauh kedalam dinding vaginanya, bergerak lincah seolah mencari sesuatu didalamnya.
“:Zzzzzzzhhhh… uuuggghhhhhhh… sedaaaaaaappppp… jilatin terus tin… uuuugghhhnh…” desah Bu Tris, sambil kedua tangannya meremasi kepalaku.
Sllaapp… slaapp… Srrryyyuuufffff… Bukan sekedar menjilat, bahkan sesekali kusedot dengan kuat yang membuat bokong Bu Tris menggelinjang.
Wooww… Benar-benar sibuk aku dibuatnya, mulutku mengoral memek Bu Tris, sedang tangan kananku mengocok-ngocok batang kontol Pak Tris, disamping juga tetekku yang masih diemut oleh Pak Tris, serta memek dan anusku yang dioral oleh Mas Doni. Ah, lengkap sudah seluruh organ perasa seksualku menerima jatahnya masing-masing.
Yang masih menganggur dan hanya menonton adalah Mbak Nanda, tapi setidaknya hanya untuk saat itu, karna gadis itu kini mulai berdiri dan melucuti pakaiannya hingga bugil, seraya beringsut kearah kami, tepatnya disamping Doni yang masih berjongkok mengoral alat kelaminku.
“Dibuka aja dong bajunya don… Semua udah telanjang, lagi..” ujarnya, setengah berbisik ditelinga Mas Doni, yang segera diikuti oleh adiknya itu hingga ia pun bugil. Praktis semua mahluk yang ada diruangan itu dalam keadaan bugil semua.
Mbak Nanda yang berjongkok disamping Mas Doni mulai menjilati dan mengulum buah pelir ayahnya, dirinya yang sepertinya ingin mengambil alih batang kontol sang ayah, membuatku harus merelakan cengkraman tanganku yang sedari tadi sudah meremasi dan mengocok-ngocok benda berukuran panjang sekitar 18 cm itu untuk dioral oleh mulut gadis abg itu.
Ah, cara mengoralnya itu demikian pandai namun terkesan kasar, bagaimana tidak, batang kontol sepanjang itu ditelannya hingga hanya menyisakan biji pelirnya saja diluar, mungkin seandainya bijinya itupun muat mengisi mulut mungilnya itu, sudah dilahapnya pula barangkali, dan kepalanya itu bergerak turun naik dengan demikian cepat dan bertenaga, bahkan bisa dibilang dengan penuh emosi, sehingga menimbulkan suara kecipakan bercampur dengan lenguhan tertahan yang berirama.
“Hmmmmaaaaagggrrrhhhhhh… aaaagghhhloogghhhh… ghloogghhh… cloopp… cloop… mmmmaaagghh…” erang Mbak Nanda, kedua tangannya sama sekali tak menyentuh batang zakar ayahnya itu, kecuali hanya ditumpukan dikedua paha sang ayah. Dan sudah barang tentu aksinya itu membuat lelehan air liur memenuhi bibirnya sendiri dan buah pelir ayahnya, bahkan hingga menggenangi sofa yang berbahan kulit sintetis itu.
******
Ditengah aksi saling oral yang telah berlangsung sekitar lima belas menit, tiba-tiba Pak Tris bangkit dan berdiri.
“Tolong stop dulu dong… Papa udah gak nahan nih… biarin papa sama Tini berdua dulu ya…” mohon Pak Tris, yang segera dipahami oleh istri dan anak lelakinya yang waktu itu sebetulnya masih “mencicipi” diriku.
“Wah, kebelet nih pa… Ya udah tu, ambil..” ujar Bu Tris, seraya beringsut dari posisi sebelumnya yang berdiri dengan selangkangannya diarahkan kewajahku, kini kembali duduk disamping kananku, sedang Mas Doni hanya berdiri disamping ayahnya.
“Kali ini aku mau menikmati kamu dari belakang tin… Kamu nungging dong sayang..” pinta Pak Tris, Ah, betapa tersanjungnya aku, itu untuk pertama kalinya Pak Tris memangilku sayang..
Seperti yang diinginkan Pak Tris, aku memposisikan diriku menungging diatas sofa dengan bokong menghadap pada Pak Tris.
Tanpa banyak basa basi lagi Pak Tris langsung menghujamkan batang kontolnya kedalam lobang memekku dengan gaya anjing kawin. Ah, kuat sekali Pak Tris menggenjotnya, hingga kepalaku beberapa kali harus terbentur tembok dibelakang sofa.
Mmm.. rasa nikmatku bertambah saat Bu Tris membaringkan tubuhnya disofa dengan posisi wajahnya tepat dibawah buah dadaku dan kemudian mengulum puting susuku dari bawah.
“Zzzzzzzzzz… aaaaagggghhhhhhh… sedaaaapppnya… Genjot terus memekku paaaakkk… aaagghhh.. nikmaaaaatttt…” racauku, mengekspresikan rasa nikmat yang kurasakan saat itu.
Plek… plek… plek… Brott… brott.. brott… Suara benturan paha Pak Tris dan bokongku dengan suara gesekan batang kontol didalam lobang memekku terdengar bagai suara yang erotis bagiku, suara yang akhirnya mengantarkanku kepuncak kenikmatan pada malam itu.
“Aaaaagggghhhhhhhh… aku sampai Pak… aaaaaggghhhhh…” pekikku, sambil tanganku meremas kulit sintetis pada sandaran sofa. Mengetahui aku tengah orgasme, Pak Tris semakin kuat dan cepat menggenjot bokongnya.
Genjotannya yang begitu cepat dan kuat akhirnya justru membawanya kepuncak kenikmatan, yang diikuti dengan lenguhan panjang.
“Oooogghhhh… aku keluar juga tin… uuuuggghhhhhhhhh…” lenguh Pak Tris, bersamaan dengan semburan spermanya yang memenuhi lobang memekku, hingga suara kecipakannya terdengar semakin riuh.
Beberapa saat kemudian Pak Tris mencabut batang penisnya dari lobang memekku dan dengan malas menghempaskan tubuhnya diatas kursi. Dan bersamaan dengan itu pula Mas Doni segera mengambil alih peran sang ayah. Ah, ternyata berbeda dengan ayahnya, Mas Doni tidak menusukan penisnya kedalam lobang memekku, melainkan kedalam lobang anusku.
“Uggghhhhhh… Pelan pelan ya Mas Doni, Mbak Tini masih belum terbiasa lho ngelakuin anal…” ujarku, sekedar mengingatkan pada Mas Doni agar jangan terlalu kasar menggenjot anusku.
“Jangan kamu genjot dulu don… Tahan dulu..” ujar Bu Tris, yang baru saja bangkit dari posisi berbaringnya, dan kini kembali duduk disisiku, seraya tangan kanannya menarik keluar batang penis anaknya yang telah terbenam separuhnya didalam anusku.
“Saya ajarin deh, gimana caranya supaya kamu bisa menikmati anal seks.. Yang pertama adalah memberi pelumasan yang cukup…” ujar Bu Tris, yang diikuti dengan mengulum batang penis anaknya itu beberapa saat, untuk kemudian diludahinya beberapa kali sambil diratakan dengan cara mengolesinya menggunakan jari telunjuk.
“Nah, setelah pelumasan pada batang kontol telah cukup, kini giliran pada anus kamu…” lanjutnya, kali ini diikuti dengan meludahi anusku, lalu menusukan jari telunjuknya kedalam.
“Dan yang paling penting dari itu semua, kamu harus rilek dan jangan tegang, sehingga otot-otot anus kamu juga akan rilek, dan jangan sekali-kali mengejan saat sedang penetrasi, itu justru akan membuat otot-otot disekitar anus aktif dan menjepit, sehingga akan timbul rasa sakit, maka itu yang terbaik adalah rileks, biarkan batang kontol itu menembus anusmu, dan lama-kelamaan justru kamu akan menikmatinya..
“Oke, siap-siap ya tin… Sekarang saatnya kontol Doni yang akan masuk… Ingat kuncinya adalah rilek… Kamu juga Doni… Kamu jangan kasar dulu, nyantai aja.. Mbak Tini bukan mama atau Nanda yang telah terbiasa…” jelas Bu Tris, seraya mencengkram batang kontol anaknya itu dan diarahkan kedepan liang anusku.
“Oke, sekarang kamu tekan sayang… Yes… Nah begitu… nyantai… tahan dulu jangan langsung kamu kocok… Gimana tin, kamu merasa nyaman? Ingat ya, kuncinya rilek…” sepertinya separuh batang kontol Mas Doni telah mengisi anusku, untuk sementara ini sama sekali aku tidak merasakan sakit.
“Iya Bu, saya merasa nyaman…” jawabku
“Oke, kalau gitu sekarang kamu tekan sampai dalam ya sayang… sampai mentok..” uufffhhh… kini kurasakan batang kontolnya benar-benar telah sepenuhnya mengisi duburku, Ah, tidak seperti tadi malam, kali ini aku mulai bisa kerasakan sensasinya, terutama rasa didalam area perutku ini seperti ada yang mengisi, rasanya mules-mules gimana gitu.
“Gimana tin, kamu sudah mulai bisa merasakan sensasinyaa..?” tanya Bu Tris
“Iya Bu, saya mulai merasakan..”
“Seperti apa?”
“Mmmmm… seperti apa ya? Kayak mules mules dikit gitu bu… tapi koq enak ya…” terangku
“Nah itu dia sensasinya, itu namanya menghujam sampai kedalam sanubari… itulah sensasinya anal seks..” Ah, bisa saja Bu Tris ini, memangnya sanubari itu seperti apa sih, tapi ada benarnya juga sih, kayaknya nyesek-nyesek enak gitu lho.
“Ayo don, kamu goyang… ingat ya nyantai aja, gak pakek kasar…” perintah Bu Tris, mmmmm… rasanya semakin mengasikan saat benda didalam anusku itu bergerak maju mundur seperti ini, disamping dinding-dinding anusku yang mendapat sentuhan menggelitik yang nikmat, rasanya lambungku juga bagai ditusuk-tusuk lembut namun sensasional, Ah, mungkin kalau diistilahkan oleh Bu Tris sebagai nikmatnya hingga kedalam sanubari.
“Mmmmmm… aaaaaggghhhhhh… nikmatnya… uuuggghhhhhh…” desahku, sambil sesekali memejamkan mataku.
“Itu tandanya kamu sudah bisa menikmati anal seks tin… Ayo don, kamu bisa sedikit menambah kecepatan…” perintah ibunya itu langsung ditindak lanjuti oleh Mas Doni yang kini mulai lebih cepat dan bertenaga menggenjot lobang anusku, namun aku masih tetap dapat menikmatinya, bahkan kurasa semakin mengasikan.
“Akan saya buat kamu semakin terlena…” Ujar Bu Tris, apa maksudnya itu? Ah, ternyata dia kembali berbaring dibawah tubuh menunggingku, namun bedanya kali ini wajahnya diposisikan tepat dibawah selangkanganku, dan.. mmmm… lidahnya dengan lincah menggelitiki bibir memekku, benar-benar dimanjakan aku malam ini.
Aaahhhh… Bu Tris semakin liar mengoral memekku, sampai gelambir dan itilku diemut-emutnya dengan lembut, atau sesekali dengan sedikit gigitan kecil yang membuatku terpekik manja.
Betul-betul sebuah sensasi yang tak akan kulupakan, dimana lobang anus dan memekku dalam waktu yang bersamaan mendapat sentuhan yang begitu nikmat.
“Mmmmaaaaggghhhhhh… sedaaaaapppp… hajar yang kuat Mas Doni, genjot bo-ol Mbak yang keras…” pekikku, benar-benar berbalik 180 derajat dengan yang tadi malam, dimana aku begitu memohon untuk dihentikan, kini justru aku meminta untuk lebih kuat lagi Mas Doni menghajar lobang anusku.
Sekitar delapan menit aku menikmati sensasi yang luar biasa itu, akhirnya akupun kembali orgasme untuk yang kedua kalinya.
“uuuuuuggghhhh… Aku keluar lagi… Uuuuuuggghhhh…” dalam mataku yang separuh terpejam saat menikmati puncak kenikmatan itu, masih sempat kumelihat bagaimana dengan antusiasnya Bu Tris menyedot cairan bening yang meleleh dari lubang memekku, srrryyyuuufff… suara seperti itulah yang sempat aku dengar, dibarengi dengan kecipakan lidah yang tengah mengecap sesuatu.
Sungguh tenggang waktu yang terbilang pendek antara orgasme yang pertama dengan yang kedua ini, pada hubungan badanku diwaktu-waktu sebelumnya, biasanya saat aku selesai orgasme, gairahku telah hilang dan tak memiliki lagi hasrat untuk bersetubuh, kecuali bila telah istirahat untuk beberapa saat, barulah gairah itu akan kembali timbul.
Dan tak lama setelah itu pula terdengar lenguhan Mas Doni yang menyusulku mencapai puncak kenikmatan yang sedari tadi didakinya.
“Aaaaaaaaaagggghhhh…” hanya lenguhan panjang itu yang terdengar, bersamaan dengan semburan sperma yang memenuhi lobang anusku.
Diakhiri dengan tubuhnya yang bergidik bagai orang selesai buang air kecil, pemuda tanggung itu menarik nafas panjang yang menandakan dirinya telah merasa puas.
Ploopp.. Batang kontol telah dicabut dari liang anusku, permukaannya tampak berkilat oleh air maninya sendiri, wooww… ternyata Mas Doni masih memasukan kontolnya itu kadalam mulut mamanya yang masih berbaring dengan wajah dibawah selangkanganku.
“Srrruuuuffff… Glhlaagghh.. ghllaagghh.. sryyyuuuffff… Herikan hitunya he mama hayang… hamu hudah tau hang mama maksudkan?” pinta Bu Tris, sambil masih mengulum batang kontol anaknya itu, namun aku masih belum tau apa sebetulnya yang dipinta Bu Tris itu, hanya setelah permintaan ibunya itu, Mas Doni memegang kedua pahaku lalu mengangkatnya sehingga posisiku bagai orang yang berjongkok namun dengan digendong membelakangi Mas Doni.
Hmmm… sepertinya Mas Doni bermaksud mengarahkan pantatku kewajah sang mama, atau tepatnya kemulutnya yang kini menganga itu.
“Mama mau peju Doni yang didalam dubur Mbak Tini itu…” bisik Mas Doni ditelingaku. Kini aku mulai paham apa tujuan dari Mas Doni membopong tubuhku dengan sedemikian rupa.
“Mbak Tini ngeden aja kayak lagi e-ek, entar juga pejunya keluar.. Tapi harus masuk kemulut mama ya Mbak…” bisiknya lagi, aku hanya menganggukan kepala, karena memang sepenuhnya telah paham maksud dari semua ini. Ah, Bu Tris ini memang jorok dan betul-betul kemaruk, wong peju yang sudah berada didalam lobang taiku ini masih mau dimakannya juga.
Mas Doni telah memposisikan pantatku sedemikian rupa sehingga lobang silitku tepat berada diatas mulut ibunya yang saat itu juga tengah menyibak lubang anusku dengan kedua ibu jarinya.
“Ayo Mbak, mama udah siap tuh… Sekarang Mbak Tini ngeden..” bisik Mas Doni.
Seperti yang dipintanya, aku mulai mengejan bagai orang yang tengah buang air besar, Ah, semoga saja taiku juga tidak ikut keluar. Untuk beberapa saat masih belum ada kurasakan sesuatu yang tumpah dari dalam anusku, namun aku tetap mencobanya bebetapa kali mengedan, Ah, kubayangkan Bu Tris menyaksikan dari jarak yang begitu dekat bagaimana lubang anusku yang kini bergerak-gerak mengempot bagai pantat ayam.
Yesss… akhirnya kurasakan gumpalan cairan kental mengalir keluar dari pantatku, dan tentu saja langsung jatuh kedalam mulut Bu Tris yang menganga, dan bagaikan menikmati makanan yang lezat dia menelannya setelah terlebih dulu mengecap-ngecapnya beberapa kali.
“Mmmm… delicious… yummy…” gumam Bu Tris, entah apa artinya itu, aku tak terlalu paham, yang pasti dari ekspresinya itu sepertinya dia begitu menikmati.
Sepertinya Bu Tris masih kurang puas, karna disaat tak ada lagi peju yang menetes dari lobang anusku, kini jari tangannyalah yang ditelusupkan kedalamnya, dicolok-coloknya beberapa saat, lalu diemutnya jari telunjuk yang telah basah dan berlendir itu, dan itu dilakukannya beberapa kali, sebelum akhirnya lidahnya yang menjilati hingga kedalam rongga anusku.
“Udah ma… udah abis tuh, lagian Doni capek nih gendong Mbak Tini, diakan berat, beda sama Kak Nanda..” Ah, enak aja, biar aku berat tapi gak gemuk dong, karna ubuhku padat berisi dan juga tinggi, sudah barang tentu lebih berat dari Mbak Nanda yang imut itu.
Tanpa menunggu persetujuan mamanya, pemuda itu segera menjatuhkan diri diatas lantai, yang tentu saja diriku yang berada dalam gendongannya juga ikut terjatuh menindihi tubuhnya.
“Gimana mbak… Asik kan permainannya? Pasti hot dong…” ujar Mas Doni pelan, yang hanya kujawab dengan menengokan wajahku kebelakang sehingga wajah kami saling berhadapan, mmmfffhhh… kecupan lembut mendarat dibibirku, dan kubalas dengan ciuman yang lebih hangat. Dan untuk beberapa saat lamanya aku berbaring diatas tubuh pemuda itu dalam pelukan hangatnya.
Sabtu pagi yang cerah, dan memang selalu cerah semenjak tiga bulan terakhir ini, karna selama tiga bulan itu pula kota Jakarta ini nyaris tak diguyur hujan.
Dan dipagi itu pula kami tengah sibuk mempersiapkan diri untuk pergi keluar Jakarta ini.
Rencana yang telah kami sepakati bersama adalah berkemah di daerah pegunungan disekitar Jawa barat, sekedar refreshing menikmati segarnya udara dipegunungan untuk melupakan sejenak kota Jakarta yang semakin panas dan berdebu dimusim kemarau ini.
“Gimana don, udah masuk semua barang-barangnya?” tanyaku kepada Doni yang semenjak tadi sibuk memasukan segala keperluan untuk berkemah yang kami putuskan selama satu malam itu, dan pada minggu malam rencananya kami akan sudah berada dirumah.
“Entar dulu pa, sepeda Doni belum…”
“Macem-macem aja kamu itu, emangnya mau taruh dimana?”
“Diatas lah..” Ah, dasar anak ini, sepertinya barang-barang miliknyalah yang paling banyak memenuhi ruang bagasi, masih ditambah pula sepeda gunung yang katanya akan diletakan diatas mobil.
“Jangan lupa segala kebutuhan memasak tin, pastikan semuanya terangkut, ingat disana gak ada restoran, semua harus kita masak sendiri” pesanku pada Tini pembantuku, yang bertugas mempersiapkan segala kebutuhan perut, termasuk kompor listrik ukuran kecil yang sengaja kami bawa sendiri, bahkan juga Rice cooker, dan mau tidak mau Genset portable sebagai sumber tenaga listrik juga harus kami angkut, Ah, sungguh bawaan yang cukup merepotkan untuk berkemah yang hanya satu malam, tapi tak apalah, bukankah itu bagian dari seni berpetualang.
“Tinggal minyak goreng sama panci pak..” jawabnya, lalu kembali kedalam rumah dengan setengah berlari.
“Gak usah tergesa-gesa tin, Oh iya.. jangan lupa kopi..” ujarku lagi, seraya kembali mengatur barang-barang dibagasi agar lebih efisien peletakannya.
Hmm… sementara kami bertiga tengah sibuk, dua orang perempuan itu malah dengan santainya duduk dikursi beranda sambil asik dengan perangkat getgetnya, siapa lagi kalau bukan Nanda dan Mamanya, ah, biar sajalah toh barang-barang kebutuhan pribadi mereka memang telah mereka persiapkan semenjak tadi malam, berbeda dengan Doni yang segalanya serba dadakan.
“Hey… Nyonya-nyonya besar, ayo kita berangkat sekarang…!” teriakku, pada istriku dan Nanda yang masih duduk diberanda rumah, setelah semua barang bawaan telah kami yakini kumplit dan tak ada yang tertinggal, sehingga siap untuk berangkat.
********
Fuhhhh… Benar-benar sial, seperti yang kuduga sebelumnya, diakhir pekan seperti ini jalan dikawasan puncak benar-benar macet, sudah hampir satu jam mobil yang kami kendarai ini hanya merayap lambat bersama dengan ratusan kendaraan lainnya.
“Ma, gantiin sebentar dong… capek nih” pintaku kepada istriku agar berganti memegang kemudi.
Ah, lumayanlah paling tidak aku bisa rileks sebentar setelah lebih dari tiga jam aku menyetir mulai dari Jakarta tadi.
“Aduh pak.. celaka, berasnya ketinggalan, bagaimana ini?” ujar Tini, setelah beberapa saat memeriksa tumpukan barang dibagian paling belakang mobil.
“Waduh, bisa kelaperan nih kita… gimana sih mbak Tini..” protes Nanda yang berada didepannya.
“Tadi kamu bilang sudah lengkap semuanya, koq masih ada yang tertinggal, gimana ceritanya tuh?” ujarku, sebetulnya itu bukanlah masalah yang berarti, toh disepanjang jalan yang akan kami lalui nanti banyak toko yang menjual segala kebutuhan pokok, termasuk beras.
“Iya, tadi malam sudah saya siapkan sekitar lima kilo, tapi saya lupa memasukkannya kemobil…” jawab Tini dengan nada menyesal.
“Wah, kalau begitu harus diberi hukuman nih..” ujar Nanda.
“Huss, apaan sih, sudahlah… nanti dipinggir jalan juga banyak warung sembako atau mini market, kita bisa mampir sebentar untuk beli beras..” belaku, karena kasihan juga melihat Tini yang sepertinya begitu menyesal telah melakukan kelalaian.
Dari kaca depan, kulihat Nanda tengah membisikan sesuatu kepada adiknya, entah apa yang direncanakannya, sampai-sampai Doni sepertinya menahan tawa setelah mendengar bisikan Nanda.
“Oke, siiip deh..” ujar Doni, sepertinya telah setuju akan rencana kakaknya itu.
Tiba-tiba Nanda menarik lepas celana pendek berbahan kaos yang dikenakan adiknya, termasuk celana dalamnyapun dilucutinya pula.
Tanpa basa-basi batang penis yang masih loyo itu dikulumnya. Tak sampai setengah menit benda loyo tadi telah berdiri tegak memenuhi mulut mungil Nanda.
Sllluuufffttt… sllluuurrrfff… slluuurrrffff… kepala gadis itu bergerak turun naik mengoral penis adiknya yang bersandar dikursi sambil kedua tangannya meremasi kepala kakaknya.
SementaranTini yang berada dikursi paling belakang hanya menyaksikan sambil sesekali menelan air liurnya.
“Udah don, langsung tancep…” pinta Nanda, setelah melucuti celana pendek yang dikenakannya, lalu mengangkangkan kedua pahanya dengan lebar.
Sang adik yang batang bazokanya telah sepenuhnya tegak, segera bangkit, sleepp… batang penisnya yang berkilat oleh baluran air liur kakaknya itu langsung dibenamkan kedalam liang vagina yang merekah menganga.
Pok… pok.. pok… Suara benturan paha dari keduanya mulai mengisi ruangan dalam mobil berjenis city-car dengan kapasitas besar itu.
“Dasar, dalam keadaan macet begini, masih barani-beraninya mereka begituan… Bisa jadi tontonan nih kalau begini…” keluhku, pada istriku yang masih memegang kemudi.
“Biarin aja lah pa… Itung-itung mengusir rasa suntuk karena macet, sekaligus menguji adrenalin…” jawab istriku santai, terpaksalah aku hanya pasrah, seraya menghempaskan kepalaku disandaran kursi
sambil menyaksikan aksi putra putriku dari kaca depan.
Kini mulut mereka mulai saling berpagutan, saling pilin dan saling mengemut lidah, tanpa terasa benda dibalik celana blue jeansku mulai menegang melihat aksi mereka yang semakin hot.
“Ngaceng nih…? Kepingin..?” goda istriku, sambil tangan kirinya meremas batang penisku yang masih terbalut celana jeans.
“Ih, mama ini… lagi nyetir masih sempet-sempetnya remes-remes kontol papa..” ujarku, sambil meremas payudaranya yang terbungkus t-shirt.
“Aww… papa jangan gitu deh, nanti mama gak konsen nih… Ya udah, nanti abis Doni selesai ngentotin Nanda, papa gantian… Atau sama si Tini aja tuh, kan dia nganggur…” godanya lagi.
“Enggak ah, papa gak berani kalau ditempat umum kayak gini…”
“Eeh, papa belum pernah ngerasain sih begituan ditempat umum… Sensasinya itu lho pa..” sambung istriku, aku hanya diam saja menanggapi ocehannya itu.
Hampir sepuluh menit mereka berpacu dalam birahi, dan masih dengan posisi misionery seperti tadi. Kusetel sejenak posisi kaca agar bisa lebih fokus pada selangkangan mereka. Hmmm.. Aku rasa ini yang paling pas, dimana aku bisa melihat batang penis Doni yang keluar masuk didalam liang vagina kakaknya itu.
Wah, dari gelagatnya sepertinya Doni hampir KO, itu dapat dilihat dari goyangannya yang semakin kuat dan cepat, dan nafasnya semakin memburu.
“Uuuuuuuugggghhhhhhh… Doni mau keluar kaaaaakkkkk…” lenguhnya, sambil tangannya mencengkram bahu kakaknya itu.
“Cepetan cabut… Inget, apa yang tadi kakak bilang… cepetan nanti keburu keluar didalem…” ujar Nanda,, setengah panik, kini justru aku yang mengernyitkan dahi, karna tak mengerti apa yang sebetulnya akan mereka lakukan.
Seperti yang diperintahkan kakaknya, Doni segera mencabut batang penisnya, seraya mengarahkannya kewajah Tini yang duduk dibelakang mereka.
“Aaaaagggggghhhhhh… terima nih mbak… uuuuuuggghhhhhh…” pekiknya, sambil tangan kirinya memegangi kepala Tini, sedang tangan kanannya mengocok batang penisnya sendiri.
Croottt… crooott… crooottt… Beberapa kali tumpahan sperma menyembur memenuhi wajahnya
“Aaawwwww… Mas Doni bikin mbak kaget aja, koq gak bilang-bilang sih…” protes Tini, sambil sesekali menutup matanya.
Setelah tuntas dan tak ada lagi semburan sperma yang keluar, Doni kembali duduk dengan merebahkan tubuhnya bersandar malas diatas kursi, sesekali nafasnya turun naik bagai habis melakukan kerja berat.
“Awas lho mbak, jangan dibersihkan pejunya… biar begitu saja dulu, sebelum ada perintah selanjutnya…” ujar Nanda, sambil masih duduk mengangkang dengan liang vagina menganga lebar.
“Kalau saya makan boleh enggak mbak?” tawar Tini
“Enggak boleh, pokoknya biar begitu saja…” jawab Nanda
“Aduuuhhh… Saya gak betah nih Mbak Nanda, kan risih…” rajuk Tini
“Masa bodo’… Ini hukuman karna kamu lupa bawa beras, beras itukan penting… kalau kita kelaparan bagaimana…?” terang Nanda.
“Iya deh kalau begitu… tapi jangan lama-lama ya…” melas Tini, yang pipi, dagu, kening, bibir, bahkan bagian pinggir matanya dipenuhi oleh cairan kental berwarna bening keputihan.
Kulihat Nanda tersenyum menggoda kearahku, tentunya masih dengan posisi mengangkang seperti tadi.
“Papa mau ngentotin Nanda juga?” tawarnya, sambil mengusap-usap bibir vaginanya. Ah, birahiku yang sedari tadi mulai naik kini bertambah meletup-letup melihat pemandangan itu.
“Udah pa, tunggu apa lagi… Nanda udah siap tempur tuh, tinggal toblos… Ayo sana..” sebuah anjuran yang tentunya bernada provokasi dari istriku.
Sepertinya aku memang sudah tak dapat lagi membendung godaan birahi ini, seraya kulucuti celana blue jeansku, dan langsung melompat kebelakang, masih kurasakan tangan istriku menepuk bokongku dari belakang disertai dengan kata-kata yang bernada menggoda.
“Kamu pindah kebelakang dulu don, sekalian awasin Mbak Tini jangan sampai dia mengelap peju dimukanya..” ujar Nanda kepada adiknya, yang langsung dituruti oleh Doni.
Baru saja akan kutancapkan batang penisku kedalam liang vaginanya, namun tangannya menahan perutku.
“Eeeiiit… tunggu dulu, ada syaratnya pa…” ujar Nanda.
“Syarat apa lagi?” kesalku, karna hasratku yang menggebu-gebu harus tertunda.
“Nanti, papa harus keluarin pejunya dimuka Kak Tini… Janji?”
“Iya deh, iya… Papa janji”
“Kalau gitu oke deh, papa boleh entotin Nanda… Ayo cini papa cayaaang…” semakin gemas aku dibuat oleh gayanya yang memang menggemaskan itu. Dan langsung kutancapkan batang penisku kedalam liang vagina yang baru saja dijelajahi oleh penis anak laki-lakiku.
Tanpa ampun, langsung kupacu pinggulku dengan kecepatan tinggi, yang membuat tubuh mungilnya tersentak-sentak hingga kepalanya sesekali membentur kaca jendela.
“Hegghhh… hegghhh… hegghhhh… papa… papa jahaaattt… kepala Nan.. da sak.. it keje.. dot.. jen.. delaa.. hegghhh… hegghh… heggghhh…” erang Nanda, sebuah erangan dengan nada yang manja, dan justru membuatku semakin tergoda untuk lebih keras membombardir liang vaginanya.
“Biarin… habis kamu nakal sih.. Anak nakal harus dientotin yang kasar ya… Sampai memeknya lecet..” godaku, sambil terus memacu batang penisku.
“Aaaaeeeeeng… papa koq gi.. tu si. iihh… Papa… gak sa… yang Nan.. da… ya..? Hegghhh… hegghhh.. hegghh…” rengeknya
“Tentu sayang dong Nanda… kamu kan anak papa… anak kandung papa… darah daging papa.. kalau enggak sayang masa’ sih papa mau ngentotin memek kamu…” paparku, tentu saja itu hanyalah perkataan vulgar yang konyol, yang hanya mampu kuucapkan disaat birahiku tengah terbakar seperti saat ini.
Goyanganku sengaja kuperlambat, aku berharap akan keluar kata-kata konyol dan mesum dari bibir mungilnya itu tanpa terganggu oleh goyangan tubuhnya.
“Ih, papa bisa aja.. Emangnya kalo ngentotin anak sendiri itu tanda sayang ya pa?”
“Sudah tentu dong sayang…”
“Tanda cinta juga?”
“Tentu papa cinta sama Nanda..”
“Cinta sama apanya pa?”
“Cinta sama memek Nanda, sama tetek Nanda, bibir Nanda… semuanya deh…”
“Sama lubang pantat Nanda juga?”
“Tentu dong sayang… apa lagi lubang pantat kamu… papa sukaaaa banget..”
“Ih, papa… Nanda suka sekali dengernya…”
“Papa…”
“Apa lagi sayang?”
“Ludahin mulut Nanda dong… Aaaaakkkk…” pintanya, seraya membuka mulutnya lebar-lebar, kali ini kuhentikan sama sekali genjotan bokongku, namun dengan batang penis tetap tertanam didalam liang vaginanya.
“Nih, untuk anak papa tersayang… mmm… plleehhhh..” cairan bening kental dengan sedikit berbusa beberapa kali kutumpahkan kedalam mulut menganganya, yang langsung ditelannya tanpa tersisa.
“Sudah ya sayang… mulut papa sudah kering nih…”
“Oke deh pa… Terima kasih ya pa…”
“Sama sama.. Nanda sayang…”
“Ayo pa, sekarang entotin Nanda lagi.. Yang kuat ya pa..”
“Yang kasar boleh enggak?”
“Terserah papa deh…”
“Sampai memek kamu lecet?”
“Sampai memek Nanda bonyok juga boleh pa…”
“Ih, dasar kamu anak nakal… Nih, rasain..” kembali kugenjot pinggulku dengan kekuatan penuh hingga tubuhnya juga ikut bergoyang-goyang, namun bedanya kali ini kepalanya tak sampai terbentur kaca jendela, bantal kecil telah kuganjal diatas kepalanya agar dirinya lebih nyaman.
“Hegghhhh… hegghhh… hegghhh… Nah.. ini.. ba.. ru.. e.. nak pa… ke.. pa.. la.. Nan.. da gak ke.. je.. dooott.. Hegghhh.. hegghhh… hegghhh…” gumamnya, walaupun dengan kalimat yang terpatah-patah karena guncangan tubuhnya yang cukup keras.
Plok.. plak.. plok.. plak.. Brroottt.. prroott.. brruuttt… sleepp.. Suara seperti itulah yang menambah semangatku semakin menggebu untuk membombardir liang vagina putriku ini, kulihat Doni dan Tini hanya menyaksikan dari kursi belakang, terutama Tini yang terlihat mulai bernafsu walau wajahnya masih dipenuhi baluran sperma, sesekali dia melirik kearah Doni sambil tersenyum, saat dirasakannya Doni tak memberikan reaksi, wanita itu mulai meremas batang penis Doni yang telah mengendur.
“Maaf nih mbak, Doni udah capek… kan Doni barusan ngeluarin… Nanti aja ya mbak?” kilah Doni, yang tentunya langsung ditanggapi dengan wajah cemberut Tini.
Sedangkan istriku yang memegang kemudi, sesekali memberikan komentar yang tentunya dengan nada yang menggoda, seperti “Aduuuuhhhh… romantisnya..” “waduuuuhhh… bisa robek tuh memek anaknya, kalau cara ngentotnya kasar begitu sih… hi… hi… hi…” “rasain deh, benjol benjol tuh kepala…” itulah beberapa komentar iseng istriku yang tentunya diucapkan sambil perhatiannya masih tertuju kedepan lalu lintas yang masih juga macet.
“Pa… papa… se.. stop du.. lu pa… Nanda.. mau anal pa… Nan.. da.. mau.. papa.. ent.. totin.. nus Nanda.. plis.. pa.. hegghhhh… hegghhh… heggghhhh…” mohonnya, aku hafal betul kebiasaan anak ini, kalau sudah minta dianal seperti ini, itu artinya dia hampir orgasme, seraya kuhentikan genjotanku dan kucabut batang penisku dengan maksud langsung akan kubenamkan kelubang anusnya, namun rupanya anak itu segera merubah posisi menungging dengan wajah mengarah kejendela.
“Ayo pa… genjot yang kuat ya pa… Yang kuaaaaattt banget.. Full speed…” pintanya, setelah kutancapkan batang penisku kedalam anusnya.
“Bussssett deh.. Udah minta digenjot yang kuat.. full speed pula… Seperti apa tuh… Apa masih kuat tuh papanya mengabulkan permintaan putri tercintanya..” goda istriku lagi, wah, benar-benar pandang enteng nih istriku, biar usiaku sudah kepala empat, tapi kalau soal genjot menggenjot dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi, aku masih sanggup.
Brratt… brroott.. brraatt… brrooottt.. Plak.. plek.. plok… plak.. plek.. plok… Seperti yang diinginkannya, pinggulku bergerak dengan kuat dan cepat, tak sampai satu menit tubuhku telah tampak berkilat oleh peluh, pendingin ruangan dimobil ini sepertinya masih belum mampu meredam panasnya pembakaran kalor didalam tubuhku.
“Aaaaggghhhhhh… aasssiiikkkk paaaa… Papa emang jagoan dehh… aaaaggghhhhhh…” racau Nanda, dengan kedua tangannya bertumpu pada kaca jendela.
Dan tak beberapa lama kemudian anak itu melenguh panjang yang menandakan dirinya telah mencapai puncak, dibarengi dengan tangan kirinya menggosok-gosok vaginanya.
“Mmmmmmmuuuuuuuggggghhhhhhh… Nanda sampai paaaaaaaa…” lenguhnya, dari kaca jendela kulihat ekspresinya yang unik, dengan bola mata yang hanya putihnya saja terlihat, sedang mulutnya menganga sambil mengerang tak jelas.
Beberapa saat kemudian dia mulai terdiam, sepertinya orgasme yang didapat telah tuntas, dan akupun mulai menurunkan tempo goyanganku, disamping diriku kurang bisa menghayati dan menikmati sentuhan otot anus yang menjepit batang penisku, genjotan yang keras seperti tadi juga terlalu cepat menguras tenagaku.
Dalam goyanganku yang santai, sepertinya Nanda hanya dingin menanggapinya, mungkin memang karena dirinya telah klimaks, yang dilakukannya hanya menyaksikan pemandangan diluar jendela, seolah tak peduli dengan diriku yang masih menggenjot anusnya.
Satu ketika, tepat sejajar disamping kanan kami sebuah mobil jenis fan, seorang anak balita perempuan menatap kami yang tengah berasik masuk, entah apa yang ada didalam pikiran anak perempuan itu, hingga tampak terpana seperti itu, betuntung seorang pria disampingnya yang memegang kemudi tak memperhatikan kami, sepertinya pria itu adalah ayahnya.
“Hallo adeeeekkkk…” sapa Nanda, sambil melambaikan tangan kanannya, tentu saja ucapannya itu tak dapat didengar oleh sang bocah, namun sibocah tetap melambaikan tangannya seperti yang dilakukan Nanda, Ah, ada-ada saja putriku ini, bagaimana kalau ayahnya itu melihat, memang sih kaca film dijendela ini tak begitu jelas terlhat didalamnya kalau hanya sekilas, namun bila diamati lebih teliti sudah pasti terlihat juga, seperti yang dilihat oleh anak itu.
“Adek sudah pernah dientot sama papanya belum? Nanti kalau adek sudah SMP minta ya sama papanya itu… pasti adek ketagihan deh…” Ah, dasar anak ini, ada saja yang dibicarakannya, sibocah yang dimobil seberang sana hanya tersenyum sambil terus melambai-lambaikan tangannya.
“Lubang anus Kak Nanda aja sekarang lagi dientotin sama papanya… enak lho dek… Nanti kalau adek sudah SMP, adek jangan lupa minta juga sama papanya ya… atau kelas 6 SD juga enggak apa apa koq, tapi kalau sekarang jangan dulu ya…” Ah, entah mengapa ocehannya itu membuat syahwatku semakin bergairah, dan akhirnya membawaku kepuncak kenikmatan.
“Aaaaaggggggggghhhhhhhh… papa mau keluar ndaaaaa…” racauku, sambil meremas bokongnya
“Eeehhh… papa… ingat janjinya dong… keluarin dimuka Mbak Tini..” Oh, iya. aku hampir lupa, sukurlah belum terlanjur muncrat, sehingga langsung kucabut, dan kuarahkan kewajah Tini yang juga telah dipegangi kepalanya oleh Doni.
“Aaaagggggghhhh…” lenguhku, bersamaan dengan semburan sperma yang membuat wajah Tini semakin belepotan oleh sperma setelah sebelumnya juga telah disemprot oleh Doni.
“Horeeeeeee… Mbak Tini tambah cantik lho kalau begitu hi… hi.. hi…” goda Nanda, dengan bertepuk tangan, sambil menghadap kebelakang dengan lutut bertumpu pada kursi.
“Jangan dielap dulu lho mbak… nanti ada waktunya..” ujarnya lagi.
“Aduuuhhh… tapi kalau kelamaan baunya amis Mbak Nanda…” protes Tini
“Gak apa apa, tahan dulu kenapa sih…”
*******
Sekitar sepuluh menit setelah itu, kami telah keluar dari kawasan puncak yang macet, jalan telah mulai lancar, dan akhirnya kami menjumpai mini market dipinggiran jalan.
“Kita stop disini dulu ma, biar papa cari beras disitu…” pintaku kepada istriku agar menepikan mobilnya sejenak.
“Biar Mbak Tini aja yang beli pa… kan dia yang teledor, jadi dia dong yang harusnya beli… kasih aja uangnya, nanti biar dia sendiri yang beli, Mbak Tini kan lebih tau mana beras yang bagus, iya enggak Mbak?” papar Nanda.
“Iya, tapi saya harus bersihin muka saya dulu dong…” ujar Tini
“Eeehh, enak aja… Enggak la yaw… Mbak Tini harus dengan keadaan seperti itu kedalam minimarket, dan setelah berasnya sudah dibeli, Mbak Tini harus kembali kemobil dengan wajah masih dalam keadaan seperti ini juga, kalau ada yang dielap sedikit saja, maka kita akan tinggalkan Mbak Tini disini sendirian, biar jadi gelandangan disini, iya enggak pa…
“Ah, apa apaan sih kamu ini, kasian kan Mbak Tini, malu dong dia… udah biar papa saja yang beli..”
“Enggak… pokoknya kalau papa yang beli, Nanda bakalan mogok bicara sampai pulang nanti…” Ah, dasar anak ini kalau ada maunya, dan kebiasaan anak ini memang paling suka menggoda, dulu waktu adiknya masih kecil juga sering sekali digodanya sampai menangis.
“Ya sudah terserah kamu lah, nih uangnya…” pasrahku, sambil menyerahkan uang seratus ribuan kepada Nanda, yang langsung diberikannya kepada Tini.
“Sudah Mbak, tunggu apalagi… Kalau enggak mau, mbak Tini bakal kami tinggal disini…” paksa Nanda, yang dengan berat hati akhirnya dituruti juga oleh Tini.
“Iya deh, iya… tapi jangan ditinggal lho..”
“Iya enggak, tapi ingat, saat nanti kembali, pejunya harus masih seperti itu, gak boleh berkurang…”
“Dah tau ah, cerewet..” kesalnya, seraya ngeloyor masuk kedalam mini market. Sepeninggalan Tini kami semua tak kuasa menahan tawa, walau sebenarnya aku tidak tega.
“Kamu itu ada ada saja sih, dia itukan lebih tua dari kamu… kamu gak bisa seenaknya ngerjain kayak gitu dong…” omelku
“Gak apa apa pa… inikan cuma main-main aja… lagian disini gak mungkin ada orang yang kenal dia koq…” sanggah Nanda.
“Iya, tapi kalau nanti dianya ngambek bagaimana?” kali ini istriku yang bicara.
“Alaaaaah… paling ngambek sebentar… kalau memeknya udah disodok kontol papa sama Doni, paling -paling dia sudah senyum-senyum lagi… percaya deh…” Ah, bisa aja putriku ini, tapi apa yang dikatakannya itu sepertinya memang ada benarnya juga.
******
Beberapa menit kemudian Tini tampak keluar dari mini market, langkahnya begitu terburu buru dengan wajah hanya menatap kebawah, ditangannya telah menenteng bungkusan plastik, dan Ah, wajahnya tampak tak bersahabat, wah, gelagatnya sih ngambek nih..
“Nih berasnya…” ujarnya, sambil meletakan bungkusan plastik berwarna putih dan beberapa lembar uang kembalian.
“Nih, liat muka saya… gak ada yang berkurang kan? Puaaasss?” bentaknya pada Nanda, seraya menghempaskan tubuhnya kembali kekursi belakang, tepat disamping Doni.
“Maaf deh mbak… kita kan cuma bercanda…” mohon Nanda.
“Bercanda? Mbak Nanda tau enggak sih, betapa malunya saya tadi… semua orang disana memperhatikan saya, malah ada yang sampai menutup hidung, karna baunya yang mulai amis…” paparnya, matanya tampak mulai berkaca-kaca.
“Sekali lagi maaf deh, lagian disanakan enggak ada yang kenal sama Mbak Tini, jadi untuk apa malu… iya enggak don?” bela Nanda.
“Iya mbak, paling-paling sekarang mereka juga sudah melupakannya, ngapain malu…” kali ini Doni yang membela kakaknya, dan hanya ditanggapi diam oleh Tini.
Istriku kembali menstater mobil, dan kembali menyusuri jalan yang sudah tak lagi macet seperti sebelumnya
“Ya sudah, kalau gitu biar Doni bantu bersihkan… Tolong tisu mbak..” tawar Doni, seraya menyuruh kakaknya untuk mengambilkan tisu yang ada didepan.
“Gak usah, biar saya bersihkan sendiri..” betapa gelinya aku, saat kulihat Tini yang masih dengan wajah ngambeknya namun masih memiliki minat mencicipi air maniku dan Doni diwajahnya, sepertinya dia tak rela dan merasa sayang bila cairan kental itu harus terbuang si-sia. Jari telunjuknya bergerak menyeka sperma diwajahnya dan digiringnya kearah bibir, seraya dikulumnya jarinya itu, hal itu diulanginya beberapa kali hingga wajahnya benar-benar bersih dari cairan kental tadi.
“Enak mbak?” tanya Doni iseng
“Tau’ ah..” jawab Tini, dengan nada jutek.
“Jangan ngambek terus begitu dong mbak… Mbak mau ini?” Ujar Doni, sambil meunjukan batang penisnya yang sebenarnya masih belum berdiri tegak. Dalam cemberutnya Tini masih sempat melirik kearah selangkangan Doni, lalu kembali menatap kedepan. Namun pemuda itu tak menyerah, seraya diraihnya pegelangan tangan kiri Tini dan ditempelkan pada penisnya, wajah yang semula cemberut itu berangsur tersenyum walau masih malu-malu dan terkesan ditahan.
“Ayo dong mbak, dikocokin dede’nya yang masih tidur, biar dia bangun dan kembali menjadi super dede’, sipembela kebenaran.. he.. he.. he..” goda Doni, dan sungguh manjur, wajah Tini berubah sumringah mendengar banyolan Doni.
“Ih, dasar kamu anak nakal… paling bisa deh meluluhkan hati mbak… iiiihh, bikin gemes nih titit…” gemas Tini, seraya tangannya mulai mengocok-ngocok batang penis Doni.
Sementara Tini mengocok penisnya, tangan kanan Doni mulai merangkul pundak Tini, seraya dilumatnya bibir perempuan itu dengan hangat, dan untuk beberapa saat mereka saling berpagutan dengan hot.
“Celananya dibuka dong mbak, Doni kangen nih sama memek mbak Tini…” ujar Doni, setengah berbisik.
Seperti yang dipinta Doni, Tini mulai melucuti celana jeans pinsilnya sekaligus celana dalam.
“Nungging mbak…” kembali Tini menurutinya, menungging diatas kursi dengan wajah menghadap kejendela samping, bokongnya yang padat mengacung keatas, sehingga tampak menggoda dan menantang.
“Aaaawwwwwww… mmmmmmhhhh…” gumamnya manja, saat Doni mulai mengoral bibir vaginanya dari arah belakang.
“Slaappp… slaappp… srrryyuuuffff… cllaapp… cllaapp… nyemmm…” dengan lincah lidahnya bergerilya hingga keliang vagina, yang membuat Tini semakin blingsatan tak karuan menahan nikmatnya.
“Uuuuuuuuuuggghhhhhhh… nikmat mas Doni.. jilatin yang dalem memek embak… aaaagghhhhhh…” ocehnya.
Entah capek atau bosan dengan cara menunduk dibelakang Tini, kini Doni memposisikan tubuhnya berbaring telentang dengan kepalanya masuk kekolong selangkangan Tini, sehingga posisi wajah Doni kini berada tepat dibawah vaginanya.
Lidahnya kembali menjulur dengan kedua tangannya merangkul paha Tini, mendapat sentuhan dari bawahnya, wanita itu justru menduduki sekalian wajah Doni, seraya bokongnya diguncang-guncangkan dan diputar-putar dengan gemas.
Ibarat membuat sambal, wajah Doni adalah wadahnya, sedang bokong Tini merupakan alat penguleknya yang terus bergerak seolah ingin melumat hingga halus. Tentu saja aksi yang dilakukan Tini itu membuat Doni gelagapan bukan kepalang, sepertinya anak itu sulit bernafas dibuatnya.
“Mmmm… mmmmffffhhhh…” hanya suara seperti itu yang keluar dari mulutnya yang terhimpit selangkangan, sesekali tangannya ditepuk-tepukan pada bokong montok Tini sebagai isyarat agar perempuan itu mengangkat bokongnya.
Untuk beberapa detik perempuan itu mengangkat bokongnya, sekedar untuk memberikan nafas, lalu kembali vaginanya itu menyumbat mulut Doni, dan seperti semula diuleknya dengan gerakan memutar atau maju mundur.
“Uuuggghhhhhhhh… rasain tuh anak nakaaaaaalllll… makan tuh memekku… aaaaggghhhhh…” racaunya, dengan penuh emosi
Beberapa saat kemudian Tini beringsut dari posisinya, seraya menarik tangan Doni supaya bangkit.
“Ayo, udah Mas Doni.. Mas Doni duduk disini aja, biar Mbak Tini yang ngentotin kontol kamu..” pintanya.
Kini Doni duduk dikursi yang langsung ditumpangi oleh tubuh Tini, sehingga Doni kini memangku perempuan itu. Sepertinya Tini menginginkan posisi woman on top, sehingga dirinya bisa sepenuhnya memegang kendali permainan.
Bokongnya diangkat sesaat, seraya diludahi telapak tangan kirinya sendiri, untuk kemudian dioleskan pada vaginanya. Kini giliran tangan kanannya yang menggenggam batang penis Doni, lalu diarahkan ujungnya keliang vaginanya, blessss… Setelah dirasakannya telah pas bokongnya kembali diturunkan, dan tentunya dengan liang vagina telah terisi batang penis Doni.
Brooottttt… broootttt… broootttttt… Bokong Tini mulai bergerak naik turun, dengan kedua telapak kakinya bertumpu pada jok kursi, sedang kedua tangannya berpegangan pada pundak Doni.
“Aaaaagghhhh… Hugghhhh… hugghhhh… huggghhhhh… Isep tetek embak Don, emut pentilnya… uuuhhhhhh..” Dengan sedikit kesulitan Doni mulai mengulum puting susu Tini, gerakan perempuan itu yang begitu agresif membuat puting susu yang dikulumnya terlepas beberapa kali.
“Asssuuuuuuuu… Aku keluar maaaassss… Aaaaagggggghhhhhhh…” sudah kuduga, posisi, WOT seperti itu, ditambah lagi birahinya yang memang tengah meletup-letup, tak perlu waktu lama pasti perempuan itu sudah mencapai klimaks, itu terbukti, hanya sekitar satu menit, dia langsung mengejang menikmati puncak birahinya.
Setelah beberapa saat tubuh perempuan itu hanya duduk terdiam dipangkuan Doni. Tentu saja Doni tak juga tinggal diam, dirinya belum klimaks untuk permainan keduanya itu, dan butuh usaha yang aktif, diam tak akan dapat membawanya menuju puncak kenikmatan keduanya, mungkin itu yang ada dalam pikirannya.
Sehingga tubuh wanita dipangkuannya itu didorongnya kebawah hingga terjungkal dengan bagian kepalanya menyentuh dasar mobil, diikuti dengan menekuk kedua paha Tini kebawah, hingga kedua lututnya sejajar dengan buah dada. Sebuah posisi yang cukup akrobatik, dan bila dilihat dari kursi tempatku duduk ini, hanya bokong dan bibir vaginanyalah yang terlihat menyembul keluar, plus dengan sebagian pahanya yang terlipat sehingga menutup liang vagina, sedangkan bagian perut kebawah tentunya terhalang oleh sandaran kursi tempatku duduk.
“Saya masukin dipantatnya aja ya mbak? Soalnya memeknya susah dimasukin, lobangnya jadi menyempit nih…” papar Doni.
“Terserah Mas Doni aja deh…” pasrah Tini.
Blesss… batang penis Doni telah terbemam seluruhnya didalam anus Tini, dengan duduk bertumpu pada lututnya yang ditopangkan diatas jok kursi, pinggulnya mulai bergerak turun naik, seirama dengan batang penisnya, beberapa kali diludahi batang penisnya sendiri dengan maksud untuk memperlancar proses penetrasi.
Beberapa menit kemudian, Doni mengalami klimaks, menumpahkan spermanya didalam liang anus Tini, dan untuk beberapa saat setelah itu, pemuda itu hanya terdiam, kecuali nafasnya saja yang terlihat kembang kempis, sepertinya posisi yang barusan dilakukannya tadi itu benar-benar menguras tenaga mudanya.
“Gimana mbak, udah gak ngambek lagi kan?” tanya Doni, sambil tangan kanannya merangkul pundak perempuan itu.
“Ya enggak dong, masa’ sih mau ngambek terus-terusan… Kan udah dikasih obat ngambeknya yang paling ampuh… Ini dia nih.. l” ujar Tini, diikuti dengan meremas batang penis Doni.
Benar juga kata si Nanda tadi, ngambeknya Tini dengan sendirinya akan hilang setelah mendapatkan kepuasan seksual dariku atau Doni. Kini dua insan berlainan jenis dan usia itu saling berangkulan bagai sepasang kekasih, kepala Tini disandarkan pada dada Doni, sedang Doni masih merangkul tubuh wanita itu.
Selang beberapa saat keduanya tertidur pulas, dengan bagian bawah tubuhnya masih tanpa penutup. Begitupun dengan diriku, kurangkul gadis muda disampingku ini, gadis muda yang beberapa saat lalu kusetubuhi, gadis muda yang adalah darah dagingku sendiri, buah hati pertama kami dengan wanita yang kini tengah memegang kemudi, yang membawa kami menuju kekawasan perkemahan keluarga dikawasan pegunungan di Jawa-barat ini, yang sepertinya masih akan menempuh waktu sekitar satu jam lagi.
Sekitar pukul dua belas siang kami tiba dilokasi, tempat yang cukup nyaman dengan udara pegunungan yang sejuk, tak jauh dari tenda kami berada terdapat air terjun dengan airnya yang jernih. Hmmm.. benar-benar tempat yang menyenangkan, dan tempatnyapun mudah dijangkau oleh kendaraan, sepertinya memang tempat ini telah dirancang sedemikian rupa oleh pengelola sebagai tempat kemping keluarga yang nyaman.
Mulai dari gerbang masuk hingga menuju lokasi terbentang jalan aspal yang mulus, itu artinya kita tak perlu memarkir kendaraan jauh diluar, lalu berjalan kaki menuju lokasi dengan jarak yang cukup jauh lagi menanjak, dan menggendong barang bawaan pula. Sebaliknya ditempat ini bahkan kami bisa menempatkan kendaraan kami tepat disamping tenda yang kini tengah kami dirikan.
Lokasi ini sepertinya begitu luas, dalam kisaran jarak beberapa puluh meter baru terdapat tenda lain, jadi tidak rapat dan berjubel seperti saat muda dulu aku biasa kemping bersama teman-teman sekolah. Yah, aku rasa sesuai dengan harga yang ditawarkan disini, yang tentunya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan bumi perkemahan yang biasa dikunjungi oleh anak-anak sekolah.
Dalam jarak sekitar dua ratus meter terdapat pos penjagaan dan deretan toilet serta kamar mandi yang cukup bersih, jadi saat buang hajat nanti kami tak perlu repot-repot harus nongkrong diatas bebatuan sungai. Disini juga menyewakan perlengkapan berkemah, seperti tenda, alat masak dan lain-lain, namun tentunya kami tak memerlukan itu, perlengkapan yang kami bawa telah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami.
Yang tak kalah menarik, sekitar satu kilo meter dibawah, tepatnya didekat gerbang masuk lokasi, terdapat kebun buah yang bisa kita petik, dengan membayar pastinya, seperti buah anggur, strawberry, apel dan lain-lain, bahkan juga palawija, seperti wortel, kubis, lobak dan berbagai sayuran lainnya. ditempat itulah tadi kami sempat mampir sebentar untuk memetik beberapa buah dan sayuran khas pegunungan, tapi kalau dipikir-pikir sih, harga perkilonya jauh lebih mahal ketimbang harga di Supermarket, sepertinya memang sensasi memetik buahnyalah yang mereka jual disini, yang tentunya sulit didapat dikota besar.
Dan yang tak kalah pentingnya, lokasi perkemahan ini cukup eksklusif, artinya tak ada orang luar selain pengunjung yang bisa seenaknya datang kemari, yang menawarkan dagangan, mengemis, dan buntut-buntutnya mencuri disaat kita lengah. Disini, pos keamanan disetiap sudut luar lokasi telah ditempatkan oleh pengelola.
******
Akhirnya selesai juga aku dan Doni mendirikan tenda, sedangkan Tini menyiapkan makan siang. dan seperti biasa dua nyonya besar hanya asik dengan urusannya sendiri, kali ini sibuk jepret sana, jepret sini dengan kamera DSLRnya, saling bergantian berfose dengan latar belakang pemandangan yang memang indah, dan menggoda seseorang untuk mengabadikannya dalam foto.
“Masak apa tin?” tanyaku pada Tini yang masih menggoreng sesuatu dengan kompor listrik, tentunya dengan sumber tenaga listrik dari genset ukuran kecil yang telah kami bawa dari rumah.
“Kornet pak…” jawab Tini, memang dari rumah kami membekali diri dengan makanan kaleng yang praktis, agar mudah memasaknya.
“Oh iya, wortel sama sawinya yang barusan dibeli langsung dimasak aja ya..” selain kami membeli buah tadi, kami membeli beberapa sayuran yang juga kami cabut langsung dari kebunnya.
“Iya pak… Mau dibikin oseng atau sayur bening?”
“Terserah kamu saja lah…”
Selesai makan siang kami berjalan-jalan beberapa saat, menyusuri perkebunan cemara, lembah, dan tak ketinggalan kami sempatkan menikmati sejuknya air terjun dengan telaganya yang bening, hingga bebatuan didasarnya terlihat jelas.
Setelah puas, kami kembali ketenda dengan pakaian yang telah basah kuyup oleh siraman air terjun. Cukup lelah juga rasanya, terutama lutut dan betis ini, jalan menanjak yang cukup panjang dari lokasi air terjun menuju kelokasi tenda itulah yang bagi kami cukup memberatkan, namun demikian kami tetap enjoy.
Menjelang senja kami terbangun, diluar tenda diatas hamparan tikar telah terhidang makanan untuk makan malam. Rupanya Tini telah bangun lebih dahulu ketimbang kami untuk kemudian menyiapkan makanan. Yang akhirnya kami bersantap bersama, menikmati hidangan sederhana, ikan asin dengan sambal terasi, plus lalapan sayuran mentah yang telah kami beli siang tadi.
*******
Selesai mandi, kami menikmati dinginnya hawa malam dipegunungan sambil menyalakan api unggun, setumpuk kayu kering memang telah sengaja disediakan oleh pihak pengelola sebagai bagian dari servis, plus satu kantong kresek jagung siap bakar yang diberikan saat kami melintasi pintu masuk tadi.
Bukan cuma kami yang membakar api unggun disini, beberapa tenda lain juga melakukan hal yang sama, sebagian besar dari mereka adalah keluarga seperti kami juga, suami istri dan anak-anak, ada juga pasangan muda tanpa anak, entah itu pasangan nikah atau bukan aku tak tau pasti, dan memang bukan urusanku untuk mengetahuinya, pihak pengelolapun juga tak memberikan aturan bahwa pasangan yang berkemah disini harus pasangan suami istri, toh yang terpenting mereka bayar, dan apapun yang akan mereka lakukan didalam tenda, pihak penyelenggara tak mau tahu, selama itu tidak meresahkan dan mengusik pengunjung lainnya.
Sepotong jagung bakar telah habis kusantap, walau hanya dengan bumbu garam, namun cukup nikmat juga dimakan sambil bersantai seperti ini, dengan diselingi perbincangan ringan.
Hingga suatu ketika. “Eeh, ngomong-ngomong, dari lima manusia yang ada disini, yang belum merasakan orgasme untuk hari ini, cuma mama doang kan? Jadi, sebelum mama dapat orgasme, kalian berdua cukup jadi penonton dulu ya…” papar istriku, diikuti dengan menunjuk kearah Nanda dan Tini.
“Jadi, kalian berdua harus puasin mama, oke?” sambungnya lagi, kali ini sambil menunjuk aku dan Doni.
“Iya deh, ambil tuh semua…” sindir Nanda.
Tak lama setelah itu, istriku menggeser posisi duduknya, kali ini ditengah antara aku dan Doni, seraya menarik celana trainingku hingga sebatas paha, yang membuat penisku kini harus rela terkena dinginnya udara pegunungan, hal yang sama dilakukannya juga pada Doni. Sejurus kemudian penis kami dikocok secara bersamaan dengan masing-masing tangannya, tentu saja aku merasa tak nyaman, cahaya api unggun ini tentu saja membuat suasana ditempat itu menjadi terang dan dapat terlihat oleh orang yang berada di tenda lain.
“Aduh maaa… jangan disini dong, keliatan dari tenda sebelah tuh… Malu kan..” ujarku.
“Oke deh, kalau gitu kalian puasin mama didalam tenda, oke?” usulnya, seraya berdiri sambil kedua tangannya masih meremas batang penis kami. Sial… tentu saja secara reflek aku langsung ikut berdiri, karna batang penisku bukanlah karet elastis yang bisa melar saat ditarik.
Seolah tanpa kawatir akan dilihat orang lain, dengan santainya istriku berjalan memasuki ruangan tenda sambil kedua tangannya masing-masing menarik penis kami.
“Kalian berdua duduk manis diluar ya? Awas, jangan coba-coba ganggu…” ujar istriku, yang ditujukan kepada dua wanita lain yang berada diluar, seraya menarik lesreting penutup tenda.
*********
Aku dan Doni hanya berdiri menyaksikan istriku yang dengan tak sabar menarik lepas celana kami. Begitupun dengan pakaian yang dikenakannya, semua telah dilucutinya hingga dirinya kini benar-benar bugil.
Posisinya yang berlutut langsung meraih batang penis kami, tangan kanannya memegang penisku, sedang tangan kirinya memegang milik Doni. Dikocoknya beberapa saat secara berbarengan, lalu dikulumnya. Yang pertama dikulumnya adalah batang penis Doni, sedang tangan kanannya tetap mengocok-ngocok penisku, walaupun kurasakan kocokannya itu tak beraturan, karena konsentrasinya lebih terpusat pada penis Doni yang dikulumnya itu.
Sebentar kemudian kulumannya berpindah pada penisku, itupun juga tak lama, lalu kemudian kembali kepenis Doni.
Dari ekspresinya terlihat, sepertinya birahinya telah benar-benar memuncak, sehingga cara mengoralnya seperti tengah merasa gemas dan sesekali dipukul-pukulkannya batang penis kami pada wajahnya.
Seolah bingung hendak berbuat apa lagi pada penis kami, kini kedua batang penis kami yang telah full ereksi dimasukannya sekaligus kedalam mulutnya, tentu saja mulutnya terlihat bagai kesulitan menampungnya, pada sisi-sisi bibirnya tampak mengetat.
“Mmmm… Doni sayang… anak mama yang baik… ludahin mulut mama sayang… Aaaaaakkkkkkk..” mohonnya, diikuti dengan membuka lebar mulutnya.
Mengikuti permintaan mamanya, Doni sedikit menundukan tubuhnya, setelah dirasakan mulutnya telah tepat berada diatas mulut mamanya, cairan bening dengan sedikit busa jatuh perlahan kedalam mulut sang mama, dan langsung menghilang turun mengisi perutnya.
“Mmmm… nyem.. nyemm… Sekarang kamu ludahi mama, seperti kamu meludahi orang yang kamu benci, kamu tau itukan sayang Aaaaakkkkkkk…” pintanya lagi, kali ini dengan nada yang sedikit histeris.
Paham dengan yang dimaksud mamanya, Doni kembali menunduk, dan… Cuuiiihhhh… berbeda dengan yang sebelumnya, dimana gumpalan ludah hanya menetes lambat, sebaliknya kini meluncur dengan cepat.
“Aaaakkkkkk… lagi nak… lagi sayang aaaakkkkkk…” kali ini kedua jari telunjuknya digunakan untuk menyibak mulutnya, sehingga terlihat seperti anak kecil yang tengah meledek kawannya.
Cuiihhh… cuiihh.. cuiiihhh… beberapa kali percikan ludah Doni meluncur, namun tidak semuanya masuk kedalam mulut istriku, sebagian justru mengenai wajah dan rambutnya.
“Papaaaaa… kamu juga dong, koq diem aja sih… aaaakkkkkk…” Yah, mana aku tau, aku kan tengah menunggu giliran, okelah kalau begitu, pikirku.
“Nih, makan… babi rakus..! Cuiiihhhh…” umpatku, aku tau, dalam keadaan begini, dia lebih suka diperlakukan seperti itu ketimbang dengan ucapan manis nan romantis.
“Mmmmm… aaaakkk… terus.. terus.. terus… ludahi mama… aaaaaaakkkkkk..” tingkahnya semakin histeris, justru aku sedikit kawatir kalau ocehannya yang mulai keras ini akan terdengar oleh orang lain selain kami. Ah, perduli setan lah, aku rasa disini tak akan ada orang yang perduli dengan apa yang kami lakukan didalam tenda ini, seperti halnya aku tak pernah peduli dengan apa yang mereka lakukan disana.
Bagai saling berlomba, kami meludahi wajah histeris istriku silih berganti, tingkahnya seperti anak kecil yang kegirangan bermain air hujan, air hujan yang kami semprotkan dari mulut kami, hingga kering rasanya tenggorokan ini.
“yihhhhuuuuuuuu… aaaaahhhhhh… senangnya hatiku… terus… aaaaakkkkkk…” dengan masih menyibak mulutnya dengan kedua tangannya sendiri, tubuhnya bagai menari-nari kecil, hingga buah dadanya bergerak-gerak turun naik.
Sejurus kemudian dia menarik lengan kami untuk bersama duduk beralaskan terpal, beruntung kami belum sempat memasang kasur lipat yang kini masih berada dimobil, kalau tidak sudah barang tentu aku harus rela malam ini tidur dengan kasur penuh dengan bercak-bercak ludah dan entah apalagi nanti.
“Sekarang kalian perkosa mama ya… Mama ingin kalian perkosa..” mohonnya, sambil duduk dan mengangkangkan pahanya, sementara tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri.
Tanpa meminta pertimbangan darinya lagi, aku berinisiatif untuk menjadikan istriku sebagai potongan daging diantara roti hamburger, ya, aku ingin memberikan penetrasi ganda untuknya.
Aku berbaring telentang disamping istriku “Tolong, sekarang Mama naik diatas papa…” pintaku, Ah, aku rasa kata-kata seperti itu kurang terdengar erotis baginya, mmm… sepertinya ini lebih baik “Heh, lonte kemaruk kontol..! Ayo, sini.. naik diatas tubuhku.. Biar kusodomi lobang pantatmu…” sungguh ampuh, kata-kataku itu, membuat wajahnya tampak berbinar.
“Apa? Papa mau sodomi aku…? mau sodomi lobang pantatku…? mau ngentotin lobang ta’i ku…? iya?” sambil mengucapkan itu tubuhnya menindihi diriku, dengan wajah kami saling berhadapan, kulihat bercak-bercak air ludah memenuhi wajah dan rambutnya. Hmmm.. aku tau, dia mengharapkan aku melontarkan kata-kata serupa dengan tadi.
“Iya lonte busuk… Lobang ta’imu akan kuentotin dari bawah, terus nanti anak kandungmu itu yang ngentotin memekmu dari atas, lobang dulu tempat dia dilahirkan olehmu… Dasar kamu lonte kemaruk, anak sendiri diajak ngentot… cuihhh…” semburan ludah kembali menerpa mulutnya, kali ini dari jarak hanya beberapa senti saja diatasku.
“Ooowwwhhhh… so sweettt… kamu romantis sekali sayang… kata katamu membuatku terbuai… aaaggghhhh…” Sial, ada-ada aja istriku ini, masa’ ucapan kayak gitu dibilang romantis, cara pengucapannya itu mendesah pula, mengingatkan aku pada suara artis Syahrini.
“Ayo sayang, langsung kita mulai ya.. mama udah gak sabar nih…” ujarnya, seraya membalikan badannya dan berjongkok diatas selangkanganku, batang penisku kini telah berada dalam genggamannya, dan… blesss.. akhirnya tenggelam masuk didalam lubang pelepasannya, lalu kembali tubuhnya itu rebah diatasku, namun kali ini dengan posisi telentang.
“Ayo sini anakku sayang… entot memek mama nak… itu tempat kamu dulu dilahirkan lho… sekarang malah kamu masukin pake kontol..”
“Iya dong ma, dulu Doni kan keluar dari situ… Nanti giliran anak Doni yang bakalan keluar dari situ juga…” Ujar Doni, sambil memasukan penisnya kedalam liang vagina ibunya.
“Wooowww… Begitu ya… Makanya kamu harus rajin-rajin ngentotin mama, kalau mau anak kamu juga leluar dari situ, iya nggak pa?”
“Iya dong…” jawabku, sambi tanganku memegang kedua pahanya.
“Langsung Doni genjot ya ma?” pinta Doni, dengan posisi yang telah siap siaga, bagaikan seorang atlit lari yang tinggal menunggu aba aba untuk start.
“Iya, tunggu apa lagi..” seperti dikomando, Doni langsung menggenjot bokongnya dengan posisi berlutut, dengan kedua tangannya memegang paha ibunya.
“Langsung full speed aja don… Mama udah horny berat nih…” permintaan mamanya itu langsung ditindak lanjuti dengan cepat. Goyangannya yang keras dan bertenaga membuat tubuh istriku terhentak-hentak keras, yang efeknya dapat kurasakan pada penisku yang juga ikut berpenetrasi tanpa aku perlu untuk menggoyangkan bokongku.
“Yeeeesss… nah gitu, itu baru namanya anak mama… Anak mama yang brengsek, mamanya sendiri dientotin… ibu kandungnya sendiri dijinahin… Haahh? Iyakan? Kamu suka ngejinahin mama kamu sendiri kan? Iya kan?” oceh istriku.
“Sama, mama juga kan? Mama juga paling suka kalo dientotin sama anaknya kan? Tapi memang Doni suka banget ma.. Doni suka entotin mama… Doni suka banget berjinah sama mama…”
“Iya sayang… terus jinahin mama sayang… Berjinah itu memang nikmat ya sayang… Apalagi dengan anak kandung sendiri, oohhh indahnya…” dilain situasi mungkin aku akan merasa muak mendengar kata-katanya itu, namun tidak untuk saat ini, disaat birahi tengah menjadi panglima dikepalaku seperti sekarang ini, kata-kata itu justru terdengar erotis, bagaikan suara instrumen musik dalam suatu irama.
“Ayo kesini sayang… ciumin mama sayang.. Mmmmmm…” dengan bernafsu istriku menarik lengan Doni, hingga tubuh anak itu kini menindihi tubuh mamanya, yang kemudian disambut dengan ciuman pada mulutnya yang begitu bergairah bercampur histeris.
“Mmmmmmuuuahhhhh… cllooppp.. cloopp.. ssrryuuufff… mmmm.. kamu memang anak sialan, anak tukang ngentotin mamanya sendiri… mmmmhhh.. bajingan kamu..” sambil tetap saling berkecupan, sesekali istriku tetap meracau dengan kata-kata vulgarnya yang bernada memaki atau melecehkan.
Tak sampai satu menit setelah itu, istriku menunjukan gejala kalau dirinya akan segera mencapai klimaks, itu ditandai dengan racauannya yang semakin bernada emosional.
“Aaaaaaaggggggghhhhhhh… mama keluar nih anjiiiiing… terus entotin mama… entotin lobang memek ibu kandungmu ini… entotin yang keras ******… entotin yang brutal… perkosa ibu kandungmu ini… Aaaaaaaaggggghhhhh…” gerakannya menyentak-nyentak kasar untuk bebeberapa saat, hingga akhirnya terdiam dengan senyum kepuasan.
“Jangan diambil hati ocehan mama tadi ya sayang… kamu tau sendirikan kan, kalo mama lagi horny berat suka kayak gitu…” ucap istriku kepada Doni yang masih tetap “nemplok” diatas tubuhnya.
“Gak apa-apa ma… Doni malah suka koq… Mama emang lonteku yang paling jalang didunia ini he… he… he… Gak apa-apa ya ma?”
“Ih, dasar kamu… iya deh, gak apa-apa kalau memang itu membuat kamu suka…”
Untuk beberapa saat Doni masih menghujamkan penisnya didalam liang vagina istriku, namun tak beberapa lama kemudian, tampak istriku mulai merasa kurang nyaman, tentu saja orgasme yang didapatnya barusan tadi membuatnya kehilangan gairah, dan mungkin juga ditambah lagi dengan rasa letihnya, hingga akhirnya dia meminta waktu untuk istirahat.
“Stop dulu deh don… Kasih mama waktu untuk ambil nafas ya sayang.. mama capek banget nih.. Kamu ajak aja kak Nanda atau Mbak Tini, terserah kamulah, yang penting mama mau istirahat dulu beberapa meniiiit aja… plis deh… Papa juga ya, sebentar aja koq..”
“Oke deh, mama emang suka gitu sih, kalau udah puas pasti minta berhenti.. mama egois deh…” paparku, tentu saja itu hanyalah candaan belaka.
“Aduuhhh… bukan begitu deh pa, mama kan…” belanya, yang segera aku potong.
“Iya… iya… papa ngerti koq ma… papa cuma bercanda aja koq… Ayo don, sekarang kamu seret Kak Nanda kesini, kita kerjain dia malam ini.. Ayo cepat..”
“Oke deh pa..” setujunya, seraya mencabut batang penisnya yang masih tertanam divagina ibunya, bersamaan dengan itu pula istriku beringsut dari atas tubuhku, untuk kemudian membaringkan tubuhnya disudut tenda, meninggalkankan penisku yang baru saja tercabut dari dalam lubang analnya.
“Kak Nanda, kesini…” panggil Doni, setelah membuka reseleting penutup tenda.
“Apaan sih..” terdengar jawaban Nanda dari luar.
“Kesini cepet, aku sama papa lagi kentang nih, mama udah klimaks langsung KO…” sebentar kemudian Nanda memasuki tenda, yang langsung ditarik tangannya oleh Doni.
“E… eh… apa-apaan sih nih anak, sabar kenapa sih… Maen betot aja…” protes Nanda tak dihiraukan Doni, yang langsung melucuti celana training dan baju kaos lengan panjang yang dikenakannya.
“Mau diapain nih pa?” tanya Doni kepadaku, setelah tubuh kakaknya itu selesai dibuatnya bugil.
“Ya udah, kayak tadi aja… tapi kamu yang dibawah, biar papa yang diatas…” jawabku, seraya berdiri menghampiri Nanda. Sedangkah Doni dengan sendirinya langsung berbaring telentang diatas terpal.
“Anak papa yang paling cantik udah siap untuk dijadi’in bancakan kan? Huuupppp…” ujarku, diikuti dengan mengangkat tubuh bugilnya, lalu kuletakkan diatas tubuh Doni.
Tanpa perlu lagi untuk dikomando, batang penis Doni langsung digenggamnya, dan.. blesss.. amblas ditelan kedalam liang anusnya.
“Si Tini disuruh masuk aja pa, kasian dia diluar sendirian…” ujar istriku, sambil berbaring telungkup dengan merangkul bantal.
“Tin, masuk aja sini… ngapain diluar sendirian..” panggilku, yang langsung dituruti olehnya, masuk kedalam tenda, lalu menutup reseleting penutupnya.
“Tolong pijitin aku dong tin… capek banget nih, tadi siang nyetir, terus sorenya masih jalan-jalan turun naik bukit, sampai dengkul ini mau copot… Eh, barusan masih dikeroyok sama bapak dan anaknya tuh…”
Kulihat Tini telah mulai memijit punggung telanjang istriku, sambil sesekali menyaksikan aksi kami, yang kini telah mulai kugenjot liang vagina Namda dari atas. Tentunya masih menerapkan gaya double penetration seperti sebelumnya dengan istriku.
Lidahnya sesekali dijulurkan menyapu-nyapu bibir atas, dengan tatapan menggodanya tefokus kearahku. Hmmm… sebuah ekspresi wajah yang sungguh membuatku gemas untuk… Mmmfffhhh.. kupagut bibir mungilnya itu, bibir yang sedari tadi sengaja memancing-mancing diriku. Aksi yang kuberikan padanya mendapatkan sambutan yang tak kalah hangatnya, bibirku kini yang malah dikuluminya.
“Pa… Ayo terus pa.. Entotin terus memek Nanda…” ocehnya, setelah pagutan mulut kami terlepas.
“Iya sayang… anak papa yang imuuuuuttttt.. Papa bakal akan tetus entotin kamu terus selamanya..”
“Sampai mati dong pa…”
“Iya dong, sampai mati… Kalau perlu diakherat nanti papa masih tetap akan entotin kamu…” ucapku, sebuah perkataan ngawur yang tanpa perhitungan, mengalir begitu saja, seolah nafsu birahikulah yang menggerakannya.
“Emang bisa pa?” tanya Nanda, dengan tatapan seolah tak percaya.
“Tentu bisa dong sayang… percaya deh sama papa…”
“Horeeeeee… kalau gitu diakherat nanti, kita semua masih bisa ngentot bersama-sama lagi dong ya..” entahlah, apakah yang diucapkannya itu sungguh apa yang diyakini dalam hatinya, atau hanya sekedar ungkapan seseorang yang tengah mengekspresikan kebebasannya.
“So pasti dong sayang… kita masih bisa incest orgy lagi disana…” walau aku yakini ucapanku itu sebagai omong kosong belaka, tapi aku merasakan api kebebasan dalam diriku seolah betul-betul merdeka, bebas untuk mengungkapkan apapun tanpa harus terpenjara oleh norma-norma yang selama ini mengikat.
Sekitar lima menit telah berlalu, tiba-tiba Nanda menahan perutku dengan tangannya, yang tentunya membuat goyanganku harus terhenti.
“Stop dulu pa… Nanda mau kontol papa dimasukin keanus Nanda juga… plis pa..” rupanya dia menginginkan double anal, yang segera kuturuti dengan mengalihkan batang penisku dari liang vaginanya ke liang anusnya.
Agak sulit memang, memasukan lubang yang telah terisi oleh penis lain, beberapa kali harus melejit keluar saat kupaksa menekannya, mmm.. bagaimana ya?
“Tini, coba kesini sebentar… Ma, aku pinjam Tini dulu ya…” kupanggil Tini yang masih memijiti betis istriku.
“Ya, udah… ambil tuh..” setuju istriku.
“Tolong isepin kontol bapak tin…” pintaku pada Tini yang duduk bersimpuh disampingku. Tanpa banyak bertanya lagi Tini meraih penisku, seraya dikulumnya dengan antusias.
“Udah Tin…” pintaku, setelah beberapa saat mulut Tini mengulum penisku, sepertinya pelumasan oleh air liur Tini telah cukup, walaupun sepertinya Tini belum rela untuk melepaskan batang penisku dari mulutnya.
Kembali kucoba memasukan penisku kedalam liang anus Nanda, yesss… pelumasan yang diberikan Tini cukup manjur, batang penisku masuk dengan lancar menyusuri dinding anus bagian atas, dan tentunya bagian bawahnya adalah batang penis Doni.
“Makasih Tin, sana kamu pijitin ibu lagi…” ujarku kepada Tini.
Kini mulai kugenjot bokongku maju mundur, Aaahh, benar-benar ketat, batang penisku bagai dijepit. Hmmm.. sepertinya yang kini berpenetrasi dengan penisku adalah justru batang penis Doni, sehingga yang lebih dominan justru batang penisnya yang kurasakan, teksturnya yang bertonjolan dengan urat-urat disekujur penisnya lebih kurasakan ketimbang sentuhan otot anus yang lembut.
Dengan perlahan pinggulku mulai bergerak maju mundur, kulihat tangan Doni mulai aktif menelusupkan jari telunjuk dan tengahnya keliang vagina Nanda.
“Uuuugggghhhhhhh… Yang begini nih yang paling Nanda suka… mmmmmgghhhhh…” Gumamnya, sambil kedua tangannya meremasi buah dadanya sendiri.
Sambil terus menggenjot, sempat kulihat istriku membisikan sesuatu ditelinga Tini, entah apa yang dibicarakannya, hanya saja setelah itu Tini keluar dari tenda. Tak lama kemudian perempuan itu telah kembali membawa keranjang yang berisikah buah-buahan yang kami beli siang tadi, Ah, barangkali istriku memang ingin menyaksikan aksi kami ini sambil mengemil buah-buahan.
“Stop… stop dulu dong… tuan-tuan dan nyonya…” ujar istriku, kali ini dia telah duduk diatas terpal, entah apa yang diinginkannya sehingga harus menyuruh kami berhenti segala.
“Apa lagi sih ma… lagi nanggung nih..” protesku
“Iya nih mama… gangguin kesenengan kita aja, iya gak pa…” kali ini Nanda yang membuka suara.
“Eeiiitt… tenang dulu, mama justru ingin memberikan atraksi yang lebih menantang untuk kalian… khususnya untuk kamu Nanda.. Makanya, sudah deh, papa cabut aja dulu tuh kontol, kamu juga Doni…” Akhirnya, kuturuti permintaan istriku, kini kami semua duduk diatas terpal, menantikan permainan apa yang akan diusulkan oleh istriku itu, apakah ada hubungannya dengan buah yang baru saja dibawa oleh Tini, tapi untuk apa?
“Begini, setelah tadi mama melihat Nanda melakukan double anal, dimana otot-otot anus Nanda begitu elastisnya bisa menampung sekaligus dua batang kontol kalian yang besar-besar, Sehingga mama terinspirasi kalau… mmmm… buah apel ini yang dimasukan ke anus kamu…”
“Gimana? apa kamu berani menerima tantangan ini Nanda…” Nanda berpikir sejenak sambil menatap buah apel dikeranjang bambu, yang rata-rata memiliki ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa, lalu wajah imut itu tersenyum penuh arti.
“Ah, siapa takut…” jawabnya, dengan penuh keyakinan.
“Yesss… sebuah jawaban yang membanggakan… kalau gitu ayo kita mulai…” ujar istriku, seraya menyuruh Nanda untuk berbaring telentang, lalu kakinya diangkat keatas hingga kedua telapak kakinya menyentuh ujung kepalanya sendiri. Posisi akrobatis seperti ini praktis membuat pantatnya terangkat keatas dengan lubang anus menantang.
“Kamu pegangin kaki Nanda Tin…” perintah istriku kepada Tini, tapi kemudian istriku memperhatikan perempuan itu, sepertinya masih ada yang dirasakannya kurang pas dari diri Tini.
“Tin, coba mendingan kamu buka baju aja deh, telanjang gitu lho… semuanya disini telanjang koq, kenapa juga kamu enggak…” ujarnya
“Eh, iya… maaf bu..” Tini akhirnya melucuti semua pakaiannya hingga bugil seperti kami.
“Nah, gitu dong… Ayo, kamu pegangin kakinya Nanda..”