Keluarga Pak Trisno 8
“Oke, sekarang kita mulai… Kamu udah siap Nanda?” ujar istriku, sambil memegang buah apel berwarna merah kehijauan sebesar kepalan tangan
“Oke deh ma… Nanda selalu siap..”
“Bagus kalau begitu…” seraya mengangkat apel ditangannya, namun entah mengapa niatnya itu dibatalkan lagi, lalu menatap kearah Doni.
“Don, tolong kamu ambil handycam didalam tas ransel, trus sekalian kamu shooting kesini ya, momen seperti ini kayaknya sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa dokumentasi… iya enggak pa?”
“Iya deh, atur aja…” jawabku, sekedar memberi pengertian akan hobinya itu, yang paling senang membuat semacam reportase dalam beberapa pesta seks yang kami lakukan. Jangan-jangan istriku ini tengah dijangkiti semacam pos power syndrom, dimana dirinya selalu masih terbayang oleh profesi lamanya sebagai reporter pada salah satu stasiun televisi terkemuka ditanah air, Ah, aku rasa tidak sejauh itu, sepertinya yang dia lakukan hanya sekedar konyol-konyolan saja.
Doni membongkar-bongkar ransel disebelah sudut tenda, lalu kembali sudah dengan perangkat kamera perekam ditangannya.
“Oke ma… Camera action!” ujar Doni, yang telah memfokuskan kamera kearah istriku.
“Hello pemirsa… Kita jumpa lagi dalam acara… Mmm.. apa ya? Oke, dalam acara.. Indahnya Incest, bersama saya, Rike Veronica…” Aku hanya senyum-senyum saja kalau menyaksikan liputan konyolnya itu, yang aksinya kali ini bak seorang pemandu acara masak-memasak.
“Apa yang ada ditangan saya ini pemirsa? Ya, Betul… apel, tapi dalam acara kali ini saya bukah mau bikin pie apel atau bolu apel… atau.. Manisan apel.. atau.. Ah, entahlah apa itu semua, Bukan ya pemirsa… Tapi…”
“Mau bikin apel rasa tokai..” celetukku, sekedar menggoda.
“Hussss… ikut campur aja… Jangan dengerin itu pemirsa…” sanggah istriku, dengan gayanya yang genit.
“Yang benar adalah, saya akan memasukan buah apel ini kedalam… Lubang anus gadis cantik nan imut yang ada didepan saya ini… ya dia adalah Nanda, putri kandung saya tentunya..”
“Baiklah pemirsa… tanpa banyak cakap lagi, segera akan saya mulai permainan yang mendebarkan dan sekaligus juga bikin horny ini..” setelah itu buah apel ditangannya itu diarahkan kemulut Tini
“Kamu emut-emut dulu tin, tapi jangan dimakan ya..” paham apa yang diinginkan istriku, Tini mulai mengulum dan menjilati permukaan apel hingga tampak berkilat oleh air liurnya.
“Oke, sekarang kamu ludahin..” beberapa kali Tini meludah pada buah apel yang disodorkan istriku.
“Oke, pelumasan cukup… And now.. show time…” buah apel yang telah dibaluri air ludah Tini kini telah berada dimuka liang anus Nanda, kulihat anus itu mengempot-empot seiring nafas gadis itu, sehingga terlihat menggemaskan.
“Kita dorong pelan-pelan ya pemirsa.. uuuuffffff.. yesss… sedikit demi sedikit benda ini mulai dapat menerobos pemirsa… wowww coba lihat, otot-ototnya itu tampak fleksibel mengikuti ukuran diameter apel… uuuuhhhhhh… sudah separuhnya pemirsa… Lihat pemirsa, lihat.. betapa indahnya otot-otot yang lembut itu menjepit diameter apel, oohh..
so beautiful.. Putri kami ini memang luar biasa pemirsa… lihat ekspresinya… sepertinya dia begitu menikmatinya… Tak percuma kami menjuluki dia sebagai Anal Queen, atau si ratu anal… atau ratu doyan disodomi.. hi… hi.. hi…” terlihat begitu enjoynya istriku ini, seolah bagai anak kecil yang tengah asik dengan mainannya.
“Oke pemirsa, bagaimana kalau buah apel ini kita dorong sampai masuk… setuju? Setuju dong…” dengan perlahan tapi pasti buah apel itu mulai didorong.
“iyaaaa.. oke… huuuupppphhh.. yeeeee… hilang pemirsa… buah apelnya hilang ditelan oleh anus putri kami… bye apel… bye.. sampai jumpa lagi ya apel…” girangnya, sambil melambai-lambaikan tangannya pada anus Nanda.
“Baiklah pemirsa… satu buah apel yang ukurannya segini…” sambil mengepalkan tangannya “Telah berhasil masuk dengan mulus kedalam anusnya.. sekarang kita tanyakan kepada ratu anal kita…”
“Halo… paduka ratu… eh, kalau ratu itu paduka atau buduka ya?”
“Emakduka kali…” godaku, yang dibalas hanya dengan memajukan bibir bawahnya kearahku.
“Okelah baginda aja kali ya.. Baginda ratu anal… apa yang anda rasakan setelah lubang dubur anda berhasil menelan satu buah apel…” tanyanya, sambil menyodorkan wortel kearah wajah Nanda, seolah benda itu adalah sebuah mike.
“Rasanya enak… nikmat… gimana ya? Sulit dilukiskan sih… pokoknya enak deh…” jawab Nanda.
“Oke, kalau begitu, apakah baginda ratu bersedia kalau saya masukan satu lagi buah apel kedalam lubang anus anda?” buset, gak salah denger nih, masih mau ditambahin lagi? Ada-ada saja istriku ini, Tapi boleh juga sih.
“Siapa takut..” jawab Nanda dengan santai.
“Woooww.. sebuah jawaban yang sudah kita duga… anal queen gitu loowww…” ujar istriku, seraya mengambil satu lagi buah apel dari keranjang, dan kembali disuruhnya Tini untuk memberikan pelumasan khusus dengan air liurnya.
“Oke… sekarang apel yang kedua… apakah ini juga akan sanggup masuk kelubang anus sang ratu… oke, kita lihat saja… setelah…”
“Setelah pesan-pesan berikut ini…” godaku lagi
“Hussss… sekali lagi, jangan dengerin yang itu… setelah Tin… eh, dayang-dayang ratu memberikan pelumasan dengan air ludahnya..”
“Oke, pelumasan telah cukup… here we go again…” kembali sebuah apel mulai dimasukan lelubang anus Nanda.
“Huuuufff… kembali, satu lagi buah apel telah masuk separuh… Sekarang saatnya kita dorong masuk, apakah akan berhasil.. Satu… dua… tiga.. uhhhhh… yesss… horeeee… berhasil pemirsa, bukan main dua buah apel telah berhasil masuk dengan sempurna, menghilang tanpa bekas… Oke, kita kembali wawancarai sang ratu…
“Bagaimana perasaan anda baginda ratu, setelah dua buah apel masuk kedalam anus anda?
“kayaknya tambah mantep nih, kalau bisa satu lagi deh… plliiiiss…” waduh, justru anak ini minta untuk dimasukan satu buah lagi, sekarang justru aku yang kawatir, aku takut justru itu akan membahayakannya… tapi, ah, aku rasa tidak.
“Wooooowwww… dengar pemirsa… sang ratu meminta untuk ditambah satu buah lagi… ooohhh, tapi sepertinya saya tak yakin kalau ini akan berhasil pemirsa… Tapi, baiklah, tetap akan kita coba… biar bagaimanapun ini adalah perintah sang ratu…”
Buah apel ketiga telah berada ditangan istriku, seperti biasa Tini melakukan tugasnya sebagai penyuplai “minyak lumas”.
“Oke… ini adalah apel yang ketiga, yang bakal saya coba kembali untuk memasukannya…” buah apel mulai diarahkan keliang anus Nanda, perlahan didorongnya secara bertahap.
“Woooowwwww… akhirnya, kembali separuh bagian telah masuk.. sungguh menakjubkan pemirsa.. Dan kini akan kita coba mendorongnya masuk… Oke pemirsa, kita do’akan semoga ini kembali berhasil… Oke, mulai kita dorong kedalam… dan kita akan nantikan, apakah ini akan kembali berhasil masuk kedalam, atau justru akan berbalik keluar karna ruang didalamnya telah tak sanggup lagi menampung…
kita akan lihat… Uuuuufffffffff… oh, pemirsa kelihatannya ini akan berhasil… huuuffff… yessssss… berhasil… luar biasa… sungguh sulit untuk dapat dilukiskan dengan kata-kata… luar biasa, tiga buah apel telah masuk kedalam lubang anus putri kami ini…” dalam terkesimanya diriku, aku tetap berharap tak akan terjadi apa-apa terhadap Nanda, walau sepertinya putriku itu terlihat baik-baik saja, dan bahkan justru tampak enjoy.
“Bagaimana nda? Kamu enggak apa-apa kan sayang…” sepertinya istriku juga memiliki kesamaan dengan apa yang aku pikirkan, yaitu sedikit kawatir.
“Enggak apa-apa koq ma… malahan enak… nikmatnya terasa sampai ke ulu hati… nyesek-nyesek gimana gitu…” papar Nanda, yang membuatku merasa lega.
“Woooowwww… kalian dengar sendiri pemirsa… putri kami ini memang betul-betul ratu anal sejati… wooow kami benar bangga punya anak seperti dia pemirsa…”
Kini istriku menundukan kepalanya, sehingga posisi wajahnya sejajar dengan bokong Nanda, entah apalagi yang akan direncamakannya.
“Ayo sayang… coba sekarang kamu keluarin apelnya satu-satu… slowly aja ya, jangan buru-buru, biar pemirsa bisa melihat momennya dengan lebih jelas.. oke.!”
“Oke deh ma…” jawab Nanda, yang kedua kakinya masih ditekuk hingga telapak kakinya menyentuh kepalanya, dan Tini masih setia memegangi kakinya itu, Begitupun dengan Doni, masih setia dengan kamera perekamnya, yang bagai cameraman profesional bergerak kesana kemari demi untuk mendapatkan sudut pandang yang dianggapnya pas.
“Kalau begitu… mulai..!” setelah aba-aba dari istriku itu, tampak anus putriku mulai mengempot-empot, sepertinya dia tengah mengedan… Dan… pluuupppp…
Satu buah apel, baru saja melompat keluar mengenai wajah istriku, yang diikuti dengan sorakan darinya.
“Waaawwwwww… luar biasa pemirsa, satu buah apel telah keluar dengan selamat dan tak kurang satu apapun…”
Tak lama kemudian kembali anus Putriku tampak berkedut-kedut, lalu dari bagian tengahnya mulai terlihat benda berkilat dengan warna kehijauan, lama kelamaan benda itu semakin membesar dan membesar, hingga akhirnya pluuuupppp… Mental mengenai wajah istriku yang disambut dengan sorak kegirangan.
“Wooowwww… sudah dua buah pemirsa… Mmmmm… aromanya nikmaaaatttt..” ujarnya sambil kedua tangannya memegang masing-masing sebuah, diikuti dengan menciumnya satu persatu.
“Oke.. sekarang kita nantikan yang terakhir… ayo Nanda… silahkan…”
“Oke ma… lihat nih… mmmmhhhh…” kembali Nanda mulai mengedan.
“Woooowwww… lihat pemirsa, bo’olnya mulai ngempot-ngempot.. uuuhhhhh… sudah mulai mengintip tuh, wooowww… mulai nongol… nongol… semakin besar…”
Tiba-tiba istriku menoleh kearah Doni yang masih sibuk dengan tugasnya “inget ya cameraman, untuk momen yang indah seperti ini, pengambilan gambar harus close-up lho…” ingatnya.
“Beres ma… ini juga close-up…” jawab Doni
“Lihat pemirsa… Posisinya sudah pada diameter terbesarnya… woooww, bagi saya ini adalah momen yang terindah… dan.. wwwoooowww… untuk ketiga kalinya wajah saya harus ditembak lagi pemirsa… aaaeeennggggg.. hik.. hik.. hik… sakiit..” untuk kali ini diikuti dengan gaya seperti anak-anak yang tengah menangis, Ah, bisa aja istriku ini, tapi mengapa gayanya itu bagiku justru terlihat menggemaskan.
“Akhirnya… ketiga apel ini telah berhasil keluar semua pemirsa… mmm.. akan saya coba cicipi..” satu buah apel digigitnya.
“Mmmm… nikmat pemirsa… rasanya beda… jauh lebih nikmat.. lebih renyah.. dan yang terpenting atomanya itu lho… wooowww… maknyussss…” sekitar tiga kali gigitan, kembali diletakan apel-apel itu kedalam ranjang.
“Sekarang kita beri tepuk tangan kepada ratu kita… Baginda Ratu Anal yang Agung… horeeeee…” diikuti dengan bertepuk tangan, untuk itu akupun juga ikut bertepuk tangan.
******
“:E-eh.. Nanda, jangan diturunin dulu kakinya sayang… Tini, pegangin dong..” protes istriku, saat Nanda kembali meluruskan posisi kakinya.
“Emang mau apa lagi sih ma?” Tanya Nanda, setelah kembali menekuk posisi kakinya.
“Mmmm… ada aja..” jawab istriku, sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, lalu kembali menghadap kearah kamera.
“Oke, para pecinta incest dirumah, untuk sesi kali ini saya akan menyuguhkan sesuatu yang tak kalah mendebarkannya, dan yang pasti tak kalah hotnya… Apa itu pemirsa…? mmm… tapi, kasih tau gak ya?” kembali mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk sambil berpura-pura berpikir.
“Oke deh, kita langsung saja… nanti juga tau sendiri..” lalu perhatiannya beralih pada keranjang buah, dipilih-pilihnya sejenak, sekitar tiga butir strawberry diambilnya, lalu kembali mencari, kali ini anggur, yang juga tiga butir.
“Tadaaaaaa… sekarang buah yang kecil-kecil, anggur dan strawbery… Baiklah kita mulai.. pertama-tama kita siapkan adonannya, eh.. kayak mau bikin kue aja ya pemirsa hi.. hi.. hi.. tapi gak papa deh, strawbery kita remet-remet dengan tangan hingga hancur seperti ini, lalu…? lalu apa hayooo? Lalu kita masukan kedalam lubang anus sang Ratu..
Caranya? Caranya kita ambil dahulu sebuah wortel, lal kita sodok-sodok anusnya seperti ini, lalu kita cabut… momen dimana lubang anus terbuka lebar saat kita mencabut, disitulah saat yang paling tepat untuk memasukan strawbery ini..” buah strawberry yang baru saja diremas-remas hingga hancur kini dimasukannya kedalam liang anus yang menganga karna sodokan wortel, hanya beberapa saat lubang itu kembali menutup, yang tentunya sudah dengan strawberry berada didalamnya.
“Tiga buah strawberry telah masuk… kali ini buah anggur, kembali kita remet-remet hingga hancur.. lalu kita sodok-sodok lagi anusnya pakai wortel… ingat, saat kita cabut wortenya, usahakan secepat mungkin kita langsung masukan anggurnya, karna proses pembukaan otot-otot anus itu hanya sebentar, gak sampe sedetik, makanya harus cepet…
“Selanjutnya… kita akan memberikan pasta spesial kedalam adonan strawabery dan anggur tadi… ingat ya pemirsa… pemberian pasta merupakan hal terpenting dari ini semua, tanpa itu Aaahhh… kurang siiippp.. oke sekarang kita ambil pastanya, tapi butuh waktu…” setelah itu istriku menoleh kearahku.
“Papa berdiri…” kuikuti peemintaannya itu, aku kembali berdiri dengan batang penis mengacung tegak. Show yang disajikan istriku tadi memang membuat syahwatku bertambah naik, yang berefek pada batang penisku yang juga menegang.
Ah, ternyata istriku mengoral batang penisku.. hmmm.. aku rasa ini tak akan lama, pertunjukan tadi saja hampir-hampir membuatku klimaks.
“Aaaaggghhhhhhh… aku mau keluar ma…” lenguhku. Tepat dugaanku belum satu menit.
“Tahan… tahan dulu pa, langsung masukin aja kedalam bo’ol Nanda… tahan ya pa, pliss deh..” huh, untung saja aku masih sanggup menahannya, dan akhirnya aku tancapkan penisku kedalam liang anus putriku itu
Crotttt… crottt… croootttt… semburan air maniku sepertinya menemani buah-buah tadi.
“Yesssss… itu dia pemirsa… pasta itulah yang saya maksudkan… pasta spesial… yang kini diberikan oleh sang ayah kedalam lubang anus putri tercintanya… so sweet kan?”
Akhirnya goyangan tubuhku terhenti, dengan batang penisku masih tertanam didalamliang anus putriku.
“Sudah dong pa, jangan ditahan terus begitu… sekarang papa gantiin Doni pegang kamera, Doni kan juga mau berpartisipasi menyumbangkan pastanya, iya kan Don…” Ah, gak sabaran amat sih, gak tau kali, kalau aku masih menikmati sisa-sisa orgasme ini.
“Iya… tunggu sebentaaar aja…” mohon ku.
Beberapa saat kemudian istriku mengoral batang penis Doni, sedang aku kini berperan sebagai juru kamera. Berbeda denganku tadi, sudah cukup lama istriku mengoral batang penis Doni, tapi hingga saat ini belum terlihat tanda-tanda kalau anak itu akan mencapai klimaks..
“Ya udah don, kamu entot aja memek mama dari belakang deh, tapi nanti keluarin ditempat kak Nanda ya…” usul istriku, seraya menungging dengan bokong mengarah kepada Doni.
“Beres deh ma…” jlepp… batang penis bocah itu langsung ditancapkan ke vagina ibunya, lalu pinggulnya mulai bergerak maju mundur, menyetubuhi mamanya dengan dogie style.
Ternyata cara itu cukup manjur, tak sampai satu menit Doni melenguh keras, sebuah sinyal yang menunjukan bahwa dirinya akan mencapai klimaks.
“Cepet kamu masukan ke anus kakakmu… awas kalau sampai berceceran diluar…” beruntung, Doni masih bisa membendungnya sampai batang penisnya dibenamkan kedalam anus kakaknya itu.
“Yessss… Woooww, mantaapppp… semburan pasta yang kedua pemirsa… sepertinya sudah cukup, dan hidangan spesial sudah siap untuk disantap…” ocehnya, sambil melihat kearah kamera.
“Udah, kamu minggir dulu dong, ah…” pintanya kepada Doni yang masih belum mencabut penisnya.
“Oke pemirsa… inilah saat yang dinanti-nantikan… yaitu saatnya menyantap hidangan spesial ini, tapi maaf lho pemirsa, ini hanya khusus untuk saya… jangan iri ya? Kamu juga Tini, kamu jangan iri ya?” Tini hanya tersenyum malu saja menjawab pertanyaan istriku itu, sambil dengan setia masih memegangi kaki Nanda.
Kini istriku berbaring telentang, dengan wajah berada dibawah bokong Nanda. Sepertinya aku mulai paham dengan apa yang akan direncanakan istriku ini.
“Tini, sekarang kamu angkat tubuh Nanda, arahkan anusnya tepat diatas mulut saya, kamu paham kan, dengan apa yang saya maksud…” perintahnya kepada Tini.
“Iya, saya paham bu… Mbak Tini mau berak dimulut ibu kan? Eh, maaf bu… salah ngomong…” ujar Tini, dengan polosnya.
“Ah, sok tau kamu… yang akan saya makan bukan tai, tau? Tapi salad buah dengan mayones… Sudah, sekarang kamu angkat, saya dah gak sabar nih…”
Seperti yang diminta istriku, dengan mudahnya tubuh Tini yang termasuk tinggi besar itu mengangkat tubuh imut Nanda, dan sepertinya Tini juga telah paham, sehingga dia dapat mengatur posisi yang tepat dan efisien, agar “ekstra puding” untuk istriku itu jangan sampai ada yang tercecer percuma.
Kini liang anus Nanda telah benar-benar tepat berada diatas mulut istriku yang menganga.
“Ayo Nanda… kamu boleh keluarkan sekarang sayang… mama udah siap nih…” ujar istriku, momen ini tentunya aku bikin close-up, sehingga nantinya akan mendapatkan gambar yang diteil dan jelas.
“Oke deh ma… satu… dua… tiga… hhhhgggggggg…” ujar Nanda, seraya mengedan seperti orang tengah buang air besar.
Dari layar monitor yang telah aku zoom-in, tampak anus Nanda mulai berkedut-kedut, dan… prolll… preettt.. brocot.. brocot… beberapa gumpalan berwarna ungu kemerahan serta berlendir keluar dari dalam anusnya, yang langsung masuk kedalam mulut menganga istriku.
Sepertinya itu adalah buah strawberry dan anggur yang tadi telah dihancurkan, sedang lendir kental berwarna keputihan itu merupakan spermaku dan Doni, dari aromanya aku masih dapat mengenalinya, walaupun telah bercampur aroma khas strawberry, juga aroma khas lubang pelepasan.
“mmmm… nyemm… nyemmm… nyemmmmm… lezzaaaattttt…” gumamnya, sambil mengunyah hidangan spesialnya itu.
“Wooowwww… luar biasa pemirsa… nyem… nyem… Gurihnya terasa, dan manisnya juga lumayan.. Ada sedikit sensasi asinnya juga, ini pasti dari pastanya tadi… Pokoknya, maknyuuuuusss…” ocehnya, sambil masih mengunyah.
Setelah dirasakan tak ada lagi yang keluar dari dubur Nanda, Tini meletakan tubuh Nanda duduk diatas terpal.
“Enak ma?” tanya Nanda kepada mamanya.
“Mmm… mau coba? sini mama kasih…” seraya istriku bangkit dari posisi berbaringnya.
“Buka mulutmu…” perintah istriku, yang wajahnya kini telah berada diatas wajah Nanda. Seperti yang diperintahkan istriku, Nanda membuka mulutnya sambil menengadah keatas.
Pleh… gumpalan yang lebih lembut tumpah dari mulut istriku, yang langsung masuk kemulut putrinya itu.
“Gimana sayang… enak enggak?” kali ini istriku yang menanyakannya pada Nanda.
“Lumayan, enak juga…” jawab Nanda, dan langsung mulutnya itu dikecup oleh istriku. untuk beberapa saat ibu dan anak itu saling berpagutan.
“Ternyata berbagi itu juga indah ya pemirsa… Seperti yang baru saja saya berikan kepada anak saya ini..” ocehnya lagi, sambil menghadap kearah kamera.
“Eh, sorry ya Tini, kamu gak kebagian… udah abis sih… Mmmmhhh… kacian deh kamu…” ledek istriku pada Tini, diikuti dengan mengacungkan jari telunjuknya, lalu digoyangkan kebawah membentuk lengkungan seperti ular.
“Gak apa-apa koq bu, lain kali juga bisa…” jawab Tini.
“Oke para incest lover dirumah… saya rasa cukup sekian dulu acara kesayangan kita “indahnya incest” untuk malam ini. saya Rike Veronica beserta seluruh kru, mengucapkan salam incest selalu… dan semoga tayangan tadi dapat memberi inspirasi bagi anda semua untuk mencoba ber incest ria bersama keluarga anda dirumah…
Senin pagi..
“Nandaaa… Ayo cepat, kamu mau sekalian bareng gak? Pak Kasman sudah nunggu tuh..” teriakku dari ruang utama, kepada Nanda yang kuduga masih berada dikamarnya.
“Iya paaa… I am comiiiiiing..” terdengar suara balasan dari kamarnya.
“Kamu juga, mau bareng sekalian enggak?” tawarku kepada Doni yang masih dengan santainya duduk didepan televisi.
“Enggak deh pa… Doni mau naik sepeda aja..” jawabnya. Sambil pandangannya tetap terpusat pada pesawat tv.
“Udah jam segini masih nonton TV, dan mau berangkat naik sepeda lagi. Apa gak takut terlambat..?”
“Enggak lah, kan Doni lewat jalan tikus. Jauh lebih cepat dari pada naik mobil..” jawabnya santai. Yang dimaksud jalan tikus olehnya adalah memotong jalan melintasi gang-gang sempit dipermukiman padat penduduk itu. Kuakui itu memang jauh lebih cepat menuju kesekolahnya, ketimbang ditempuh dengan mobil yang harus berputar hingga tiga kali lebih jauh.
Akhirnya aku hempaskan tubuhku diatas kursi. Sambil menunggu putriku selesai berkemas, duduk dikursi malas seperti ini adalah pilihan yang tepat, walau tidak bisa dikatakan pilihan yang bijak. Karna biasanya dikursi malas ini aku sering tertidur. Sehingga kukatakan tidak bijak, karena disaat kita telah siap untuk memulai aktifitas dihari senin seperti ini, justru harus diawali dengan bermalas-malasan.
*********
“Oke pa, Nanda dah siap…” ujar Nanda. Yang baru saja turun dari kamarnya.
“Ya udah kalo gitu… Ayo kita langsung berangkat” ajakku kepada Nanda.
“Berangkat dulu ya ma…” pamitku kepada istriku yang saat itu juga tengah duduk menyaksikan tayangan tv.
“Iya, hati-hati ya… muaahh..” ujarnya. Diikuti dengan mengecup pipiku.
“Da mama…” pamit Nanda setelah mencium pipi mamanya.
“Heh… Ayo berangkat.. Malah nonton tv. Hari senen nih, upacara…” tegur Nanda kepada Doni.
“Ah, rese’.. Aku berangkat sendiri naik sepeda…” sewot Doni.
*********
Seperti biasa, jalan raya ibu kota pada senin pagi seperti ini jauh lebih ramai ketimbang hari biasanya. Faktor utama yang menjadi penyebab adalah arus balik warga dari luar Jakarta. Biasanya pada jum’at sore mereka pulang kekampung halamannya. Dan pada senin pagi seperti sekarang ini mereka kembali ketempat kost mereka di Jakarta, untuk memulai lagi rutinitasnya.
“Kayaknya kalau lewat jalan biasa bakalan macet lama nih pak… Gimana kalo liwat komplek aja.. Agak jauh sih, tapi kan gak macet..” usul Pak Kasman, supir kami. Pria berusia sekitar 50an bertubuh tinggi kurus dengan kulit gelap.
“Terserah kamu sajalah..” jawabku, yang duduk dikursi belakang sopir bersama Nanda.
Akhirnya mobil berbelok arah. Masuk menyusuri jalan komplek perumahan elit yang asri dan bersih, sekaligus juga sepi.
“Biar agak jauh sedikit, tapi kan jalannya lancar pak.. Ketimbang lewat jalan raya yang macetnya aja enggak ketauan sampe’ kapan..” ocehnya, yang aku tanggapi hanya dengan diam.
Tiba-tiba mobil berhenti dipinggir sebuah rumah kosong yang kelihatannya tak terurus.
“Maaf pak… saya mau buang aer kecil dulu sebentar. Kebelet banget dari tadi…” pintanya kepadaku. Yang tentunya aku setujui walau dengan sedikit kecewa. Ah, dasar. Mengapa pula dia tidak buang air kecil sejak dirumahku tadi. Bukankah disana dia tadi punya cukup banyak waktu ketimbang tadi hanya mengusap-usap batu akik di jari manisnya itu.
Tubuh kurusnya turun dari mobil. Dan dengan berlari kecil, menghilang di balik tembok pagar yang memang tak terkunci itu.
Hanya beberapa detik setelah raibnya tubuh Pak Kasman di balik pagar tembok bangunan kosong yang tak terurus itu. Tiba-tiba pintu di sampingku terbuka, yang dibarengi dengan munculnya seseorang yang dengan secepat kilat langsung membekap mulutku dengan sapu tangan. Masih sempat aku melihat hal yang sama juga dialami oleh putriku.
“Mmmfffffff… mmmfffffff…” hanya teriakan tertahan yang dapat keluar dari mulutku yang tersumbat oleh bekapan yang cukup kuat itu. Kucium aroma aneh pada sapu tangannya. Hingga dalam beberapa detik kemudian kurasakan duniaku gelap. Tak ingat apapun yang terjadi selanjutnya.
*********
Berada dimanakah aku ini sekarang? Sepertinya didalam sebuah ruangan. Tepatnya di dalam ruangan rumah. Tampaknya ini sebuah rumah yang tak berpenghuni. Karena tak ada satupun perabotan yang mengisi. Kecuali hanya hamparan lantai marmer klasik yang mulai tampak kusam dan berdebu.
Ah, sial. Tanganku ternyata diikat seutas tambang dengan posisi duduk bersandar pada tiang pilar. Pada tiang itulah tanganku diikat kebelakang, sehingga diriku tak dapat bergerak kemanapun.
Tapi dimana Nanda? Bukankah sepertinya dia juga mengalami hal yang sama denganku. Dibekap dengan menggunakan sapu tangan yang sepertinya telah dibubuhi obat bius.
Sial.. Siapa sebenarnya yang telah melakukan hal ini kepadaku. Apa maunya dia. Ingin merampok kah? Atau ingin menculikku dengan harapan tebusan uang.
“Toloooooooong… tolooooooong…” teriakku. Sekeras yang aku bisa. Dengan harapan ada orang lain yang mendengarnya.
Hanya beberapa saat setelah teriakanku berkumandang di seantero ruangan itu. Terdengar dari arah belakangku suara langkah sepatu.
“He… he… he… Udah sadar rupanya… Silahkan teriak yang lebih keras lagi Pak Trisno.. Percuma deh, gak bakalan ada yang denger. Tempat ini dulunya adalah studio musik yang dinding-dindingnya sudah dilapisi bahan peredam suara. Suara drum yang gedebak-gedebuk aja gak kedengeran dari luar. Apalagi cuma teriakan ente..
Astaga.. Bukankah itu Si Rusli. Pria berusia sekitar 35 tahun berbadan tegap dengan rambut cepak, bak seorang tentara. Dialah Satpam di kantor tempatku bekerja. Apa maunya dia?
Belum lagi rasa terkejudku hilang. Dari arah belakang muncul lagi sesosok yang lain. Sosok tinggi kurus berkulit gelap. Dialah Pak Kasman, supir pribadiku. Ada persekongkolan apakah ini sebenarnya, sehingga mereka nekat melakukan ini padaku dan Nanda.
Nanda? Kemana anak itu? Mengapa tak kulihat dia disini… Apa yang terjadi dengannya?
“Heii… Rusli, dan kamu Pak Kasman… Kemana anakku Nanda? Apa yang sudah kalian lakukan padanya? Sampai kulihat kalian mencelakainya. Tau sendiri akibatnya. Dasar kau supir tak tau diuntung. Kurang baik apa aku terhadapmu, sehingga sampai hati kau lakukan ini..” ancamku, dengan penuh emosi. Betapa tidak, hampir sepuluh tahun pria setengah baya itu menjadi sopir di keluarga kami.
Suami dari pembantu rumah tanggaku dulu. Dari pembantuku itulah aku tahu kalau dia adalah seorang supir angkot “tembak” yang tak pasti penghasilannya. Saat si pembantu itu mulai sakit-sakitan dan tak mampu lagi untuk bekerja berat, dia memohon padaku agar suaminya itu dapat dipekerjakan sebagai sopir pribadi di rumahku.
“Tolong saya pak… Anak saya empat, masih pada sekolah semuanya.. Saya udah kagak kuat lagi kerja berat. Kalo bisa saya mohooon banget, laki saya bisa kerja disini. Dia cuma sopir angkot tembak, sopir pengganti yang kagak tetep. Cuma gantiin sopir batangan yang lagi istirahat. Yang penghasilannya kagak menentu, kadang mabelas rebu, kadang dua pulu.
“Ah, bapak suka begitu deh… Bapak emang udah cukup baek sama saya… Bapak juga sering ngasih saya uang rokok, ngasih saya bonus, uang berobat kalo saya sakit… Tapi kan saya pengen juga pak, ngerasain anak bapak yang imut dan nafsuin itu. he.. he… he… Abis dia kalo lagi naek mobil duduknya sering ngongkong sih…
Pahanya mulus banget… Saya kan jadi ngeceng pak… he… he… he… Dan kebetulan bener deh, ini si satpam sarap punya tempat yang aman untuk berasoy-asoyan… Rupanya kalo malem dia nyambi juga jadi satpam disini, jagain rumah kosong. Dan singkat cerita, kita menyusun rencana seperti ini deh.. Jangan marah ya pak…
“Kurang ajar kamu. Benar-benar orang tak tau diri. Dimana anakku..? Dimana? Awas, berani kau sakiti dia, kau akan menyesal..” gusarku. Kini mereka telah berdiri di hadapanku.
“Yah, elah pak… kagak bakalan saya sakitin deh. Paling secelup dua celup doang. Iya gak rus?” ujar pak Kasman dengan santainya.
“Iya pak. Kita cuma mau ngajak anak bapak bersenang-senang aja koq. he.. he… he…” sahut Rusli. Yang saat itu mengenakan seragam Securitynya lengkap dengan borgol dan pentungan karet Tonfa dipinggangnya.
“Kos… Engkoooosss… Gimana, si Nanda udah sadar belom? Kalo udah bawa kamari..” teriak Pak Kasman. Sepertinya diarahkan kebelakangku. Engkos? Apakah yang dia maksud adalah tukang kebunku itu.
Selang beberapa saat setelah itu, dari arah belakang muncul dua sosok yang tak asing lagi bagiku. Yaitu Nanda yang kedua tangannya juga diikat kebelakang. Sedang lengannya dipegangi oleh Engkos. Pria berperawakan kecil kurus sekitar 25 tahunan, yang hampir tiga tahun belakangan ini bekerja dirumahku.
“Nanda.! Kamu enggak apa-apa sayang…?” tegurku. Yang tentunya dengan nada yang penuh kekawatiran melihat bagaimana kedua tangannya itu diikat dengan posisi kebelakang.
“Papaaaa… tolong Nanda paa… Nanda takuuutt…” mohon putriku sambil menangis.
“Komohon lepaskan dia… Apapun yang kalian mau akan aku berikan. Uang, mobil, atau apa saja. Tapi tolong lepaskan dia…” pintaku dengan penuh permohonan.
“Aduuuhh.. Kan udah saya bilangin tadi. Saya cuman mau bersenang-senang sama anak bapak.. Kagak pake’ lama koq pak… he… he… he… Bapak kagak usah repot-repot keluarin duit. Bapak cukup nonton aja disitu. he.. he.. he…” ujar Pak Kasman. Diakhiri dengan tawanya yang mengekeh memperlihatkan gigi-gigi kuningnya yang beberapa bagian tampak berkarat oleh nikotin.
“Iya pak… Bapak duduk manis aja disitu sambil nonton. Gratis gak usah bayar he.. he… he…” kali ini satpam tengik itu yang membuka suara.
“Bagaimana, ini awawe teh mau ditaroh disini?” tanya Engkos kepada Pak Kasman, dengan logat sundanya yang masih kental.
“Iya udah, lepasin aja disitu… Lagian dia kagak bakalan bisa lari kemana-mana… Rumah ini udah dikunci semuanya..” yang dijawab oleh Rusli.
Akhirnya pegangan tangan Engkos dari lengan Nanda dilepaskan. Dan langsung putriku itu berlari menghambur kearahku.
Hanya beberapa saat putriku itu menangis dengan menyandarkan kepalanya dipundakku. Sebelum akhirnya Pak Kasman mencegkram dari belakang kedua lengan putriku.
“Ayo anak manis, kita main kuda-kudaan dulu sama bapak-bapak disini ya… he… he.. he…” ujarnya. Sambil menarik tubuh putriku hingga sekitar tiga meter didepanku.
Dengan paksa tangan kurusnya yang hitam namun berotot itu merobek baju sekolah Nanda. Hingga baju seragam putihnya itu koyak tak karuan dan hanya menyisakan lengan kiri dan kanannya saja, sehingga bra putihnya terekspose bebas.
“Aaaawwwww… papa toloooong…” pekik anakku. Namun apa yang dapat kulakukan dengan keadaanku terikat tak berdaya seperti ini. Kecuali hanya menahan amarah yang semakin membuncah.
Kini giliran Rusli yang menarik lepas rok abu-abu putriku hingga dirinya kini nyaris setengah bugil.
“Huhuuuuiiyyyyy… mulusnyaaa… “sorak Rusli. Sambil tangannya mengusap-usap paha putriku. Sementara dari arah belakang, Pak Kasman memegangi pundaknya hingga gadis itu tak dapat berbuat banyak kecuali hanya kakinya saja yang menjejak-jejak. Namun itupun tak berlangsung lama, karena kedua tangan Rusli segera mencengkram kedua pegelangan kakinya.
“Hooiii… Engkos. Jangan bengong aja lu..! Copotin tuh, celana dalem sama behanye” bentak Pak Kasman pada Engkos yang sedari tadi hanya terperangah melihat tubuh setengah bugil putriku.
Mendengar perintah Pak Kasman, dengan bergegas Engkos segera meraih tali bra Nanda. Dan dengan sekali tarik bra model lingrie dengan bahannya yang tipis itu lepas dari dadanya. Sehingga memperlihatkan dua buah gunung kembar yang masih belum seberapa besar dengan putingnya yang merah jambu itu.
“Bujuk buneng..! Bening bener tuh tetek. Makin nafsu aja dah gua..” kagum Rusli. Sambil menelan ludahnya dengan tatapan nanar.
Kini Engkos berjongkok disamping Nanda. Seraya tangannya mulai menjamah celana dalam putih yang pada kedua sisi pinggulnya itu terdapat tali pengikat. Sehingga hanya sekali betot kedua tali pengikatnya itu. Lepaslah penutup selangkangan putriku itu. Sehingga memperlihatkan vaginanya yang hanya ditumbuhi bulu-bulu halus.
Rusli yang tepat berada didepannya bagai kesetanan. Matanya menatap nanar pada selangkangan putriku. Jakunnya naik turun seirama dengan air ludahnya yang beberapa kali ditelan. Dan seperti menerkam, wajahnya itu merangsak maju hingga menyentuh vagina Nanda.
Layaknya serigala yang kelaparan mendapatkan seonggok daging. Kedua tangannya langsung membentangkan kedua paha putriku hingga terkangkang lebar. Lalu mulutnya melumat rakus belahan vagina yang telah menganga itu.
“Nyemmm… Cllaapp… Claapp.. Zrrooottt.. Zzyrryyuuuffff.. Zzrrryyuuuufff…” pipinya tampak mengempot saat dirinya berusaha menyedot-nyedot pada liang vaginanya.
Putriku yang sebelumnya berontak, kini mulai terdiam. Gerakan perlawanan yang tadinya masih berusaha dilancarkan seolah sirna. Sebagai gantinya adalah suara rintih tertahan. Yang sesekali dibarengi oleh gigitan pada bibir bawahnya. Entah apakah itu efek yang timbul akibat rasa sakit atau rasa nikmat yang dirasakannya, aku tak tahu pasti.
Tapi sepertinya aku tidak melihatnya itu sebagai reaksi yang terjadi dari sebuah rasa sakit. Ya, desahan itu adalah desah kenikmatan. Aku sudah hafal betul dengan reaksi itu. Reaksi yang sama saat aku menyetubuhinya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa menikmati perlakuan menjijikan dari orang-orang dengan penampilan yang tidak bisa dikatakan menarik seperti mereka.
Sejujurnya aku lebih suka melihat putriku menikmati perlakuan ketiga cecenguk itu, ketimbang aku harus menyaksikannya menangis merintih-rintih, mengiba padaku untuk menolongnya. Sedang aku hanya bisa menonton tanpa bisa melakukan apapun.
Dugaanku sepertinya semakin diperkuat saat Pak Kasman meremasi buah dada yang ranum itu. Pipi putriku justru menempel manja pada tangan kurus yang mulai keriput itu.
“Suka diginiin neng?” tanya Pak Kasman pada Nanda.
“He-eh..” hanya itu jawaban yang diberikan putriku. Dengan mata yang separuh terpejam.
“Eh, Pak Trisno… Saya bilang tadi juga apa. Saya cuma mau ajak anak bapak bersenang-senang… Nyatanya dia suka kan? Pak Trisno udah denger sendiri kan tadi..” oceh Pak Kasman. Yang hanya aku jawab dengan tatapan sinis kearahnya.
Yakin bahwa putriku telah mulai jinak, Pak Tasman melepas ikatan tambang pada tangan Nanda. Tangan yang baru saja terbebas itu langsung meremasi kepala Rusli yang mengoral liang vaginanya.
“Mmmm… Memeknya enak neng… Wangiiiii… Kagak kayak lunya bini gua, bau terasi..” oceh Rusli. Yang sejenak menghentikan aksi oralnya. Namun itu tak lama, karna putriku segera menarik kepalanya itu kearah selangkangannya dengan maksud agar Rusli segera melanjudkan aksinya lagi.
Ah, anak ini memang selalu sukar ditebak. Beberapa menit lalu dia masih begitu histeris dan ketakutan akan apa yang terjadi pada dirinya. Kini justru tampak begitu binal, dan sepertinya malah menuntut untuk dipuaskan.
Sambil tangannya meremasi rambut Rusli, kedua kakinya juga menjepit leher satpam itu dengan kuat. Sehingga semakin terbenamlah wajah Rusli ke dalam selangkangan Nanda.
Sementara Pak Kasman yang berada dibelakangnya masih sibuk meremasi dua gunung kembar didadanya. Bukan sekedar meremas. Bahkan kini mulai menciumi sekujur leher Nanda. Lidahnya menjilati mulai dari tengkuk terus merayap keatas dan bermuara pada bibir mungil yang ranum itu.
Sebuah pemandangan yang kontras saat bagaimana bibir putriku yang tipis dengan warnanya pink alami saling berpagutan dengan bibir tebal yang menghitam karena terlalu sering menghisap rokok keretek.
Dan.. Ah, bibir yang berbeda kelas itu saling mengulum lidah lawannya. Sungguh sulit dipercaya bagaimana putriku dengan rakusnya mengulum lidah Pak Kasman. Begitupun dengan yang dilakukan Pak Kasman. Bibir tebalnya itu sampai termonyong-monyong mengulumi lidah Nanda.
Ah, sungguh seperti percumbuan antara Dewi Sumbadra dengan Burisrawa dalam kisah pewayangan. Putri Purbasari dengan Lutung Kasarung dalam cerita rakyat. Atau Meggy Wulandari dengan Kiwil dalam infotemen selebritis lokal. Sangat tidak serasi, bagai beauty and the beast.
Engkos yang semula hanya duduk sambil menatap terperangah, kini tanpa malu-malu mulai membuka reseleting celana pendeknya. Dan selanjutnya beronani dengan cara mengocok-ngocok batang penisnya sendiri.
Sambil masih saling berpagutan mulut dengan Pak Kasman, Nanda masih sempat melirik aksi Engkos, seraya melepaskan pagutannya itu.
“Mang Engkos… Sini Nanda isepin kontolnya…” tawar Nanda pada Engkos.
“He.. he.. he… Asiiiikkkk.. Tentu saja mamang mau dong, neng Nanda…” Girang Engkos. Yang langsung berdiri sambil menyodorkan penisnya kearah wajah Nanda.
“Buka aja celananya sekalian, biar gak ribet…” saran Nanda. Yang langsung diikuti oleh Engkos, yang segera melepas celana pendek cargo yang telah kusam dan warnanya hampir memudar.
“Addddaaaaaahhhhh… enak euy… Kontol aing diisepin sama neng Nanda…” oceh Engkos, saat batang penisnya mulai dikulum oleh mulut Nanda.
Pak Kasman yang sebelumnya berada dibelakang Nanda, kini berdiri. Seraya melangkah kearahku.
“Wah, tadinya saya mengira Pak Trisno bakalan disuguhi tontonan pemerkosaan yang brutal. Ternyata saya meleset. Anak bapak sepertinya cukup koorporatif, sehingga kami enggak perlu main kasar he.. he.. he..” ujar Pak Kasman. Tepat ditelingaku.
“Bajingan kau Kasman..” umpatku. Namun dia justru berdiri seraya melepaskan celana panjang sekaligus sempaknya.
Astaga, benar-benar terperanjat aku saat melihat benda yang mengacung tegak diselangkangannya itu. Ternyata pria bertubuh tinggi kurus ini memiliki batang penis yang luar biasa panjang dan besar. Kuduga panjangnya itu mencapai 25 senti meter. Dengan diameter yang juga besar, berwarna hitam legam dengan urat-uratnya yang bertonjolan disana-sini.
Ah, kubayangkan batang jakar itu bakalan menghujam vagina putriku. Entah dia akan merasa nikmat atau justru menderita. Tentu sebagai orang tuanya aku lebih mengharapkan opsi yang pertama. Walau bagiku itu tetaplah bukan opsi yang terbaik, tapi paling tidak aku tidak ingin menyaksikan putriku menderita dihadapanku.
“Heh, Pak Trisno… Ini meriam si Jagur bakalan bikin anak Bapak bahagia lahir batin. He… he… he…” ocehnya, sambil mengelus-elus batang penisnya sendiri. Seolah itu adalah barang yang begitu dibanggakan olehnya.
Sejurus kemudian dia kembali melangkah kearah Nanda. Melihat barang yang dimiliki Pak Kasman jauh lebih besar ketimbang kepunyaan Engkos. Perhatiannya gadis itu kini tertuju pada penis Pak Kasman. Seraya dilepasnya begitu saja batang penis Engkos yang semenjak tadi dikulum.
“Waaahh… kontol Pak Kasman gede bingiiiitt… Sini dong pak, sini cepetan..” pintanya, seolah begitu tak sabar, sambil tangan kanannya menggapai-gapai kearah Pak Kasman.
Melihat reaksi gadis itu, seolah lelaki setengah baya itu sengaja membuatnya penasaran dengan hanya berdiri sekitar dua meter dari Nanda. Bahkan tubuh kurusnya itu bergaya dengan berbagai fose, bak seorang binaragawan yang tengah memamerkan otot-ototnya diajang pertandingan.
“He… he.. he… Sabar dong manis… Nanti kan kamu juga bakalan menikmati dahsyatnya “pukulan bedug” ini.. he.. he.. he..” sesumbar Pak Kasman. Sambil kedua tangannya ditekuk kebelakang, memamerkan penisnya kearah Nanda.
Semakin besar kepala saja pria jangkung ini saat dengan tak sabarnya Nanda justru langsung “menerkam” maju kearah selangkangan Pak Kasman.
Rusli yang sedari tadi sedang asik mengoral vagina Nanda, juga harus rela menghentikan aksinya itu. Dan bersama dengan Engkos hanya duduk terpaku menyaksikan bagaimana putriku berulah bagai seorang anak kecil mendapatkan mainan barunya.
“Mmmmmuuaahhhh… iihh… gede bangeeett.. Bikin gemes… mmmmuuuaaahhhhh..” gemasnya, sambil sesekali mencium dan memukul-mukulkannya pada wajah sendiri.
Sampai akhirnya batang penis itu mulai dikulumnya. Tentu saja benda yang ukurannya bahkan lebih besar dari pegelangan tangannya itu hanya separuh bagiannya saja yang sanggup masuk kedalam mulut mungilnya. Seraya kepalanya bergerak maju mundur dengan berirama.
“slooppp… slloopp… srryyyuuupppp…” sambil terus mengulum, tangan kirinya meremasi kantung telur, sedang tangan kanannya berpegangan pada bokong tepos yang warnanya menyerupai pantat dandang itu.
Sepertinya dia bermaksud mencoba menelan hingga tandas batang jakar itu. Kepalanya dipaksakan untuk maju, dengan kedua tangan menarik kedepan bokong Pak Kasman. Namun tetap saja usahanya itu sia-sia, sepertiga bagian kearah pangkal masih tetap tertinggal diluar.
“Mau dicaplok semua neng? Nih Bapak bantu..” ucap Pak Kasman. Yang diikuti dengan kedua tangannya yang menarik kepala Nanda, sedang pinggulnya ditekannya kedepan.
“Heeggghhhhhh… Kkkkgghhhh…” sebuah usaha yang dipaksakan dari Pak Kasman, berhasil membenamkan seluruh batang jakarnya kedalam mulut Nanda. Untuk beberapa saat Pak Kasman menahan momen itu. Momen dimana batang jakarnya yang luar biasa panjang itu menghilang didalam mulut putriku. Dan hanya menyisakan buah pelirnya saja diluar.
“Anak Pak Trisno memang luar biasa… Lonte-lonte pinggir jalan yang pernah saya pake’ aja gak ada yang sanggup nyepong kontol saya sampai tandas begini… he.. he.. he..” oceh Pak Kasman. Sambil menahan batang penisnya yang masih terbenam itu.
Sial, jangan-jangan batang penisnya itu juga telah terbiasa berpetualang dengan pelacur-pelacur murahan kelas pinggir jalan, yang tentu saja kebersihannya tak terjamin. Benar-benar kurang ajar si jahanam itu. Bagaimana kalau putriku ikut tertular penyakit kotor yang bisa saja telah diidab oleh pria itu.
Beberapa saat kemudian Pak Kasman mulai memompakan bokongnya maju mundur. Sehingga batang penisnya itu berpenetrasi didalam mulut putriku. Lama-kelamaan goyangannya itu semakin cepat dan bertenaga, yang membuat putriku sampai tersedak-sedak dibuatnya. Air ludahnya yang kental tampak mulai membanjiri pipi dan dagunya.
Rusli yang sebelumnya hanya duduk sambil menonton, kini mulai berdiri, seraya melucuti seragam satpamnya hingga dirinya kini bugil.
“Gantian dong pak..” pinta Rusli, sambil menyodorkan batang penisnya pada Nanda. Walau batang penis Rusli tidaklah sepanjang milik Pak Kasman, namun diameternya sedikit lebih unggul ketimbang milik Pak Kasman, sehingga wujudnya seperti botol mineral ukuran setengah liter.
“Kontol apa jagung bakar tuh?” gurau Pak Kasman.
“Botol Aqua…” jawab Rusli, sambil menikmati batang penisnya yang mulai dioral oleh putriku.
“Engkos… Tolong ambilin kursi yang tadi ada dikamar…” perintah Rusli kepada Engkos. Yang segera dituruti oleh Engkos dengan ngeloyor pergi kearah tempat dari mana mereka tadi datang.
Beberapa detik kemudian Engkos telah kembali dengan menyeret sebuah kursi mebel berbahan busa yang dilapisi kulit. Tampilan kursi yang terlihat usang, dan pada bagian tengahnya telah membentuk cekungan karena sering diduduki.
Dengan mudahnya tubuh mungil Nanda diangkat oleh Rusli yang tinggi besar. Pada kursi usang itulah putriku diletakan. Namun tidak dengan posisi yang semestinya. Dudukan kursi yang seharusnya untuk menghempaskan bokong, justru digunakan untuk bertumpunya kepala putriku. Sedangkan kedua kakinya berada diatas dengan mengait pada sandaran kursi.
Sebuah posisi berbaring yang tak lazim. Entah apa yang akan diperbuat oleh satpam tengik itu.
“Digeser sedikit kepalanya ya manis…” Ujar Rusli, sambil menarik kepala putriku hingga mencapai bibir dudukan kursi. Sehingga kepalanya kini menjuntai kebawah dengan rambut nyaris menyentuh lantai.
“Ayo, diisep lagi kontol om… Aeeemmm…” Sial, ternyata dia memasukan kembali batang penisnya itu kedalam mulut putriku. Dan sambil masing-masing tangannya berpegangan pada kedua payudaranya. Bokongnya mulai bergerak maju mundur.
“Wah, ide ente boleh juga tuh… Boleh juga nih untuk dicoba’in..” ujar Pak Kasman.
“Ia, tapi tunggu dulu sebentar boss..” jawab Rusli, sambil bokongnya semakin kuat membombardir mulut putriku.
“Ghlaagghh… ghlaagghhh… ghlaagghh…” Suara erangan yang terdengar aneh keluar dari mulut putriku. Bercampur dengan dengus nafas yang memburu dari mulut Rusli. Air liur kental mulai membanjiri pipi, dan turun terus hingga kemata dan keningnya. Bahkan sampai mengenai rambut, yang akhirnya jatuh menggenangi lantai.
“He.. he.. he.. Gimana neng… sedap enggak?” tanya Rusli, setelah menarik keluar batang penisnya dari mulut putriku.
“Enak om… nikmat.. Ayo terus om… entotin lagi mulut aku..” Sudah kuduga, anak itu memang menyukai aksi oral seks yang sebetulnya cukup terbilang brutal itu.
“Oh, tentu saja anak manis… Sekarang giliran kontol Pak Kasman yang akan memanjakan mulut kamu yang imut ini he.. he.. he..” ujar Rusli, sambil menepuk-nepuk pipi Nanda.
“Oke lah kalo begitu… sekarang kamu rasakan nih, kontol papi.. he.. he.. he..” Sial, enak saja tua bangka itu meyebut dirinya papi pada anakku.
Gila, si tua bangka ini lebih ganas lagi menghujamkan batang penis panjangnya itu kemulut putriku. Bila si Rusli tadi berpegangan pada kedua payudara Nanda. Sedang kedua tangan Pak Kasman memegang kepala putriku. Posisinya yang membelakangi membuatku melihat dengan jelas bokong teposnya yang hitam bergerak maju mundur dengan irama yang cepat dan bertenaga.
*********
“Sekarang kita mulai permainan yang sesungguhnya ya anak manis…” ujar Pak Kasman, diikuti dengan mengangkat tubuh Nanda, dan mendudukannya diatas kursi dengan posisi normal. Lalu kedua kakinya disangkutkan pada masing-masing lengan kursi. Praktis dirinya kini mengangkang lebar memperlihatkan vaginanya yang tampak menantang.
Kini lelaki setengah baya itu mulai bersiap melakukan aksinya. Posisi tubuhnya kini telah berada diatas putriku. Dengan tangan kanannya membantu menuntun batang penisnya kearah liang vagina Nanda.
“Siap-siap ya manis… satu… dua… tiga…” bless… bokongnya bergerak maju, bersamaan dengan batang rudalnya yang juga telah berhasil membobol liang vagina putriku. Kulihat Nanda menggigit bibir bawahnya. Namun itu hanya beberapa saat. Sebelum akhirnya wajah itu mulai menggambarkan ekspresi nikmat yang tengah dirasakannya.
“Oooggghhhhh… goyang yang kenceng dong papi…” sial, ternyata putriku juga menyebutnya dengan sebutan “papi”. Dianggapnya apa aku ini.
Kedua tangan Putriku merangkul punggung Pak Kasman, sedangkan kedua kakinya menjepit pinggulnya.
Ruangan yang tertutup rapat, dengan tanpa AC, bahkan tanpa kipas angin listrik. Membuat suhu didalamnya pengap dan panas. Sehingga aktifitas yang dilakukan oleh putriku dan juga Pak Kasman sudah barang tentu membuat mereka harus bermandi peluh.
Dengan rakus Pak Kasman menciumi wajah Nanda yang telah dilumuri oleh air ludah. Bahkan sepertinya memang sengaja dijilati dan dihirupnya. Hingga wajahnya yang sebelumnya dipenuhi oleh cairan kental dari udahnya sendiri, kini mulai terlihat bersih
Sekitar lima menit Pak Kasman menggenjot liang vagina Putriku. Yang selanjutnya digantikan oleh Rusli. Tak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Pak Kasman, Rusli juga menyetubuhi Nanda dengan cara dan gaya yang sama.
Hingga lima menit berselang, giliran Engkos yang juga mengambil jatahnya. Lengkap sudah ketiga bajingan tengik yang batang penisnya tak bisa dijamin kesehatan dan kebersihannya itu telah mengobrak-abrik liang vagina putriku dengan sedemikian rupa.
*********
“Eh, Engkos… berenti dulu lu..” perintah Pak Kasman pada Engkos.
Tak sampai tiga menit Engkos menikmati tubuh putriku. Batang penisnya yang ukurannya paling kecil diantara mereka itu harus rela untuk dicabut dari liang vagina Nanda.
“Sekarang Neng Nanda nungging dulu ya..” ujar Pak Kasman. Sambil mengangkat tubuh Nanda untuk diposisikan berlutut diatas kursi menghadap kebelakang dengan kedua tangannya berpegangan pada sandaran kursi. Praktis posisinya kini menungging. Sehingga pantatnya yang putih mulus menyembul menantang kearahku.
“Sekarang papi mau mau main-main sama lobang ini nya Neng Nanda. Boleh enggak?” tanya Pak Kasman, sambil jari telunjuknya menekan-nekan anus Nanda yang masih mengerucut.
“Tentu boleh dong papi… Nanda paling suka kalau lobang anus Nanda dientotin..” jawab Nanda. Diikuti dengan mengemut sejenak jari telunjuk dan tengahnya, seraya dimasukannya kedalam liang anusnya untuk kemudian dikocok-kocok beberapa saat.
Lubang yang sebelumnya menguncup dengan kerutan-kerutannya yang khas, kini tampak mrerekah menganga memperlihatkan rongganya yang berwarna kemerahan.
“Emangnya Neng Nanda udah pernah maen anal?” tanya Pak Kasman.
“Udah dong..” jawab Nanda.
“Sama siapa sih? Pasti sama pacarnya..”
“Ah, Pak Kasman sok tau nih… Pokoknya ada aja. Rahasia dong…” Ah, untunglah dia tak mengaku. Bagaimana kalau orang-orang ini sampai tau kalau aku pernah menyetubuhi anak kandungku sendiri. Pasti mereka akan memerasku dengan ancaman akan mempublikasikannya.
“Ah, Dasar anak cewek jaman sekarang, masih sekolah udah pada kagak perawan. Bukan cuma memeknya, bo-ol nya juga udah jebol… Tapi, masa bodo’ deh.. Emangnya gua pikirin. Yang penting sekarang gua mau nikmatin nih lobang WC. he… he.. he…” oceh Pak Kasman. Sambil mengarahkan ujung jakarnya dimuka liang anus putriku.
“Ayo Pak Kasman… Langsung tancep dong, dah gak sabar nih… Kebanyakan omong..” pinta Nanda.
“Wah, nantangin nih… Iya deh, nih rasakan..” blesss… batang penis panjang dan besar, yang pada permukaannya dipenuhi dengan urat-urat yang menonjol, kini telah menerobos masuk kedalam liang pelepasan putriku, dan tanpa ampun bokong tepos Pak Kasman langsung bergerak maju mundur dengan cepat dan bertenaga.
“Wah, gile nih anak… Banci Taman lawang” aja, kalo udah gua sodok bo’olnya paka’ batang kontol gua, langsung pada ngejerit… Eh, ini anak udah gua genjot sekuat tenaga masih tenang-tenang aja… hegghhh… hegghh.. hegghhh…” sial, si brengsek ini rupanya juga sering menyodomi psk banci kelas pinggir jalan.
Beberapa menit kemudian Rusli yang mengambil giliran untuk menyodomi putriku. Berbeda dengan Pak Kasman yang langsung menghujamkan penisnya. Rusli lebih memilih untuk “bermain-main” dulu dengan liang anus putriku. Dengan berjongkok kedua ibu jarinya menyibak anus didepannya. Untuk beberapa saat dirinya memandangi rongga besar dengan dinding-dindingnya yang berwarna kemerahan itu.
“Engkos… tolong ambilin pentungan gua..” pinta Rusli, setelah puas menjilati liang anus putriku. Pentungan? Apa yang ingin diperbuatnya dengan pentungan… Jangan-jangan?
“He… he.. he… Sebelum kontol gua yang nyoblos… Pentungan gua dulu yang ngambil jatah..” Sial, dugaanku tak meleset. Sepertinya dia memang ingin memasukan benda dengan panjang sekitar setengah meter berbahan karet itu kedalam liang anus putriku.
Seolah pentungan karet itu adalah sebuah dildo, benda itu digerakannya maju mundur secara berirama. Sekitar lebih dari separuh dari panjang benda itu yang dimasukannya, sebelum akhirnya ditariknya lagi, lalu dimasukannya lagi. Begitu seterusnya untuk beberapa saat.
Entah didapat dari mana, tiba-tiba Engkos membawa sebuah botol Bir yang disodorkannya kepada Rusli.
“Bang, coba dimasukin pake’ ini… he.. he.. he… Pasti lebih mantep tuh..” saran Engkos, dengan ekspresinya yang cengengesan. Benar-benar kurang ajar tukang kebun ini. Awas seandainya aku bisa bebas nanti, biar kumasukan pantat teposnya itu dengan buah nanas utuh.
“Ah, kampret lu… Ini Bir gua, masih ada isinya ******..” sewot Rusli, seraya merebut botol dari tangan Engkos, lalu menenggak habis sisa Bir yang hanya tinggal seperempat bagian itu.
“He… he.. he.. Tapi ide lu cukup brilian juga kos… Sekarang kita coba masukin nih botol kelobang bo’olnya…” bersamaan dengan itu, ujung botol yang diameternya kecil dengan mudahnya masuk keliang anus putriku. Namun disaat telah mencapai pada badan botol yang berdiameter jauh lebih besar, gerakan mendorong Rusli tertahan sejenak.
“Wah, kalo badannya ini bisa masuk juga gak ya? Gua gak yakin nih…” ragu Rusli.
“Kenapa berhenti… Dorong terus sampai masuk semuanya bang..” pinta Nanda.
“Wah, yang bener nih… Oke deh kalo begitu…” ujar Rusli, seraya mendorong botol bir ditangannya hingga separuh bagian berhasil masuk.
“Terus bang, sampai habis…” pinta Nanda. Yang segera diikuti oleh Rusli.
“Wah, bener-bener gile…” herah Rusli, sambil menyentil-nyentil pangkal botol yang hanya merupakan lingkaran berwarna hijau. Sebelum akhirnya lingkaran itu hilang sama sekali tertelan kedalam liang anus putriku.
“Wah, gelo… ilang euyy..” heran Engkos, sambil berjongkok menatap anus putriku yang telah menutup.
Namun hanya beberapa detik setelah itu botol yang tadi “menghilang” tiba-tiba melesat keluar tepat mengenai kening Engkos, yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak termasuk juga putriku itu.
“Wah, sialan eeuyy… benjol dah jidat aing…” keluh Engkos, sambil megusap-usap keningnya.
*********
Rusli yang baru saja bersiap hendak memasukan penisnya keliang anus putriku, terpaksa harus kecewa karena dengan tiba-tiba Pak Kasman mengangkat tubuh Nanda.
“Anak manis, sekarang papi gendong ya…” ujar Pak Kasman, sambil mengangkat tubuh putriku kedalam pelukannya. Lalu menggendongnya dengan posisi saling berhadapan. Kedua kaki Nanda melingkar pada pinggul Pak Kasman, sedang tangannya merangkul pada leher bagian belakang.
“Sambil digendong… Sambil dientot juga ya neng… he.. he.. he..” ujar Pak Kasman, diikuti dengan menelusupkan batang penisnya kedalam liang vagina putriku.
“Iya papi… Zzzzzz… Aaaggghhhhhh…” desah Nanda, saat batang penis Pak Kasman menembus liang vaginanya dengan posisi tergendong seperti itu.
“Sekarang Om Rusli juga ngentot pantat kamu ya manis…” oceh Pak Kasman.
“Wooww… Ayo dong om Rusli. Buruan…” pinta Nanda, sambil wajahnya menoleh kebelakang pada Rusli yang sebelumnya merengut kecewa karena niatnya untuk menyodomi putriku harus tertunda.
“Wah, oke deh kalo begitu…” ujar Rusli, dengan wajah yang kembali berseri. Yang dengan tergopoh-gopoh segera berdiri, seraya mengarahkan batang penisnya pada liang anus Nanda.
Sambil berdiri Rusli mulai menggoyangkan bokongnya maju mundur, dengan kedua tangannya meremas bokong putriku.
Aksi double penetration sambil berdiri, dilakukan oleh dua orang bertubuh tinggi dan dengan batang penis yang luar biasa besar pula, terhadap putriku yang bertubuh imut. Sehingga terlihat bagaikan seekor kelinci yang dihimpit oleh dua ekor kambing.
“Enak ya neng… dientot dobel kayak begini?” tanya Pak Kasman.
“Uuuuggghhhhh… sedap banget papi… aagghhh..” jawab Nanda, dengan ekspresi yang begitu menikmati momen itu. Yang langsung dibalas oleh Pak Kasman dengan melumat bibirnya. Untuk beberapa saat mereka saling berpagutan dengan hot.
Hantaman penis Rusli yang cukup bertenaga dan cepat, membuat tubuh putriku ikut bergerak-gerak naik turun. Tubuhnya yang telah basah oleh peluh membuatnya terlihat sensual. Ah, mengapa birahiku justru mulai bangkit melihat putriku diperlakukan sedemikian rupa oleh orang-orang ini. Bahkan benda dibalik celanaku ini terlihat mulai mengalami perubahan bentuk.
*********
Sekitar lima menit sudah mereka beraksi. Engkos yang duduk diatas kursi, kini hanya beronani dengan mengocok-ngocok batang penisnya sendiri, dengan pandangan menatap nanar pada tiga insan yang tengah memacu birahi itu.
“Aaggghhhh… gua udah hampir mau keluar nih… uuugghhh…” oceh Rusli, sambil terus memompakan bokongnya dengan semakin bertenaga.
“Sama nih rus, gua juga udah mau ngecrot..” sambung Pak Kasman, yang langsung diikuti dengan mundur beberapa langkah, sehingga batang penis Rusli harus tercabut dari liang anus Nanda. Lalu tubuh putriku itu diturunkannya diatas lantai.
“Aaaaaggghhhhhh… makan nih peju guaaaa…” lenguh Pak Kasman, sambil mengarahkan ujung penisnya kewajah putriku yang saat itu duduk bersimpuh dilantai.
Crootttt… crooottt… crrooooottttt… Semburan sperma dari Pak Kasman menyemprot deras di wajah putriku. Hingga wajah imutnya itu dipenuhi oleh baluran cairan kental berwarna keputihan.
Tak beberapa lama giliran Rusli yang datang tergopoh-gopoh sambil tangan kanannya memegang batang penisnya.
“Keluarin disini aja om… Aaaakkkkk..” pinta Nanda, yang langsung menawarkan mulutnya yang menganga lebar.
“Uuuggghhhhhhh… Mantaaaappppp…” lenguh Rusli, dibarengi dengan semburan sperma yang mengarah masuk kedalam mulut putriku.
Crrootttt… crooottt… Cukup banyak semburan sperma yang mengisi mulutnya itu. Hingga terlihat gumpalan putih memenuhi rongga mulutnya.
Belum lagi tuntas Rusli memberikan “pasokan gizi” kepada puttiku. Dengan setengah berlari Engkos menuju kearah Nanda.
“Waduuhh… Saya mau keluar juga ini…” ujar Engkos.
“Udah, langsung dikecrotin aja kemlutnya kos… Biar dia kenyang sekalian” saran Pak Kasman, yang masih berdiri disitu.
Menuruti apa yang disarankan Pak Kasman, Engkos segera mengarahkan ujung penisnya kedepan mulut Nanda yang menganga. Dikocok-kocoknya beberapa saat batang penisnya itu lalu… crrooott…
“Aaaaggghhhhhh… nikmaattt… eeuuyyy…” bertambah lagi pasokan sperma yang mengisi mulutnya itu, hingga mulutnya itu mulai tampak penuh.
Setelah dirasakannya tak ada lagi tetesan sperma yang keluar dari penis Engkos. Sepertinya putriku mencoba untuk berdiri. Dan dengan mulut masih terbuka dia melangkah kearahku. Ah, entah apa yang akan dilakukannya sehingga dia harus duduk dan mendekatkan wajahnya kearahku.
Ah, Sepertinya memang anak ini sengaja ingin menunjukannya padaku isi didalam mulutnya itu. Dan mengapa aku hanya terdiam. Terutama saat dia bagaikan anak kecil yang memainkan isi didalam mulutnya itu. Lalu dikumur-kumurnya beberapa saat seperti seseorang yang tengah membasuh tenggorokannya. Sehingga cairan kental itu terlihat bergejolak bagai air mendidih.
“Mmmmm… sedap pa… nikmaaaatttt…” ujarnya, sambil mengacungkan kedua ibu jarinya padaku.
“Ih… papa sampai ngaceng nih… hi.. hi.. hi..” godanya, sambil meremas tonjolan diselangkanganku.
*********
“Pa… papa… bangun pa… bangun…” kudengar suara putriku memanggil-manggil namaku, bersamaan dengan sesuatu yang meremas-remas penisku.
“Aaaaaahhhhhh… Dimana aku…?” kagetku, dengan nafas yang terengah-engah. Sambil menatap nanar pada sesosok wajah imut yang tengah mengacungkan sesuatu ditangannya.
“Dimana aku? Dihutan kali… Pagi-pagi udah pakai baju kerja malah tidur lagi dikursi.. Mana kontolnya ngaceng lagi… Pasti abis ngimpi gituan ya? hi.. hi.. hi.. Ayo ngaku..” Ah, sepertinya aku memang baru saja bermimpi.
Ya, aku baru ingat. Tadi seusai sarapan aku duduk disini menonton tv, sambil menunggu Nanda untuk berangkat bareng. Hmmm… sepertinya aku memang ketiduran. Tapi apa yang diacungkannya itu? Sepertinya aku tak asing lagi dengan benda itu. Ya, itu adalah test pack, alat untuk uji kehamilan.
“Eh, pa… lihat nih.. Nanda positif hamil.. hi.. hi.. hi…” ujarnya.
“Apa? Kamu hamil?” kejutku.
“Iya, hamil.. Kenapa?” tanyanya.
“Ya… Ya enggak apa-apa sih.. Bagus deh kalo begitu..” hanya itu yang bisa aku katakan. Meski sebenarnya aku merasa kurang nyaman mendengar kabar itu. Namun aku juga tak ingin menunjukan sikap gundahku ini padanya.
Ah, anak ini masih terlalu hijau. Apa dia tidak memikirkan apa artinya kehamilan itu bagi dirinya. Kehamilannya itu tentu saja penuh dengan konsekuensi yang harus ditanggung olehnya.
“Papa gak suka ya? Papa gak seneng?” rujuknya.
“Suka… papa suka… Tentu papa juga seneng… Ya sudah, kamu harus jaga baik-baik kandunganmu itu..” ujarku, diikuti dengan memeluk dan mengecup keningnya.
Ah, aku jadi ingat saat istriku dulu hamil dia. Waktu itu aku bermimpi istriku diperekosa oleh kawanan perampok. Dan keesokan paginya aku mendapat kabar dari istriku kalau dia positif hamil. Dan saat itu aku jadi over protektif pada istriku. Yang berbuntut pada keputusanku untuk memintanya berhenti kerja.
Bukan maksudku untuk menghambat karirnya yang saat itu tengah menanjak. Semua semata-mata karena aku kawatir akan terjadi hal-hal buruk menimpanya. Pekerjaannya disalah satu tv swasta sebagai reporter lapangan, rasanya cukup berat untuk dijalani dalam kondisi hamil. Apalagi yang biasa diliput pada saat itu adalah aksi demo massa menjelang reformasi. Yang tentunya itu adalah pekerjaan berbahaya dan penuh resiko.
Apakah mimpiku barusan tadi juga adalah suatu isyarat agar aku lebih protektif lagi padanya. Hmm.. bisa jadi. Kupeluk dengan erat tubuh darah dagingku itu. Yang kini tengah mengandung, dan kuyakini secara naluri, bahwa ayah dari bakal si jabang bayi itu adalah aku adanya.
Dari jendela kulihat Pak Kasman sedang duduk dikursi taman. Seperti biasa lelaki setengah baya itu selalu sibuk mengelapi dengan sapu tangan, batu akik dijari manisnya. Sedang tak jauh darinya Engkos tengah asik menyirami tanaman.
Hmmm… orang-orang itu terlalu lugu untuk dapat melakukan hal seperti yang ada didalam mimpi konyolku tadi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang sudah merasa bersukur bisa bekerja dan mendapatkan gaji untuk menyambung hidupnya dan juga keluarganya.
Pagi terus merambat, dan semakin mendekati siang. Dengan cahaya mentarinya yang menembus melalui celah-celah jalusi jendela. Hangat dikulit, namun sekaligus juga menyilaukan saat menerpa mataku. Sehangat tubuh wanita muda dipelukanku ini. Yang telah menyilaukan mata hatiku, hingga harus berbuat yang tidak sewajarnya sebagai ayah kandungnya.
Namun aku tetap yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan aku harus yakinkan pula pada diriku, bahwa tak ada yang salah dengan semua ini.