Keluarga Pak Trisno 9

Sekitar sembilan bulan sudah kami menjalani gaya hidup yang terbilang tak lazim bagi kebanyakan orang. Ketidak laziman yang justru membuat kami semakin lebih dekat satu sama lain. Dekat dalam artian secara lahir maupun batin.

Dan selama itu pula aku selalu betah berada ditengah-tengah keluarga. Dan yang paling penting, aku telah meninggalkan sama sekali kebiasaan bermain perempuan diluar. Beberapa ajakan dari rekan-rekan kerjaku aku tolak secara halus. Diantaranya adalah ajakan untuk pesta seks dipuncak. Yang seperti biasa dananya diambil dari anggaran kerja departemen, dan dimasukan kedalam pengeluaran untuk kegiatan rapat di puncak.

Atau saat kunjungan kerja ke daerah, dimana kamar hotel tempat kami menginap biasanya selalu dilengkapi dengan “selimut hidup” yang tentu saja semua itu telah dimasukan kedalam perincian biaya akomodasi. Itu semua berhasil kutinggalkan, tentunya bukan karena aku anti terhadap segala bentuk penyelewengan anggaran.

Dan selain dari itu semua, ada “hasil” lain yang kini tengah kami tuai. Yaitu kehamilan istriku dan juga putriku. Istriku kini tengah mengandung tujuh bulan, sedangkan putriku delapan bulan. Itu artinya hanya tinggal beberapa bulan lagi rumah ini akan diramaikan oleh tangis dua bayi mungil. Yang sepertinya aku akan dibuat bingung untuk memposisikan diriku sebagai ayah atau kakek.

Yang pasti anak yang dikandung putriku ini adalah hasil dari benihku. Itu dapat kuyakini bahwa dalam dua bulan sebelum putriku mengandung, hanya spermakulah yang masuk kedalam rahimnya. Sedangkan Doni belum pernah sama sekali menumpahkan spermanya didalam vagina Nanda. Sebaliknya dalam tiga bulan sebelum istriku mengandung, hanya sperma Doni lah yang menyembur didalam vagina istriku.

Untuk kehamilan istriku, itu bukanlah masalah. Dan tak ada orang lain yang akan usil karena memang statusnya adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai suami. Tapi lain ceritanya dengan Nanda putriku. Seorang gadis remaja dengan status lajang dan masih sekolah pula. Tentu itu bukanlah perkara mudah untuk bisa mendapatkan pemakluman dari lingkungan sekitar, terutama dari pihak sekolahnya.

Pastinya akan mengalir pertanyaan-pertanyaan dibenak mereka. Pertanyaan yang paling umum adalah, siapa ayah bayi itu? Dan bakal masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan berakibat kurang baik bagi perkembangan psikologisnya. Dan untuk menghindari itu semua, aku mengambil jalan yang aku anggap paling baik.

Aku hubungi sekolahnya, bahwa untuk satu tahun belakangan ini, dengan alasan tertentu putriku harus pindah ketempat Eyangnya di Jogja. Dan dengan demikian, dia tak lagi menjalani proses belajar disekolah itu. Tentu saja itu hanya alasanku saja, karena aku tak ingin putriku harus ke sekolah dengan kondisi perut membuncit karena bunting.

Tapi untuk urusan status pendidikannya aku tak terlalu kawatir. Posisiku yang cukup strategis di kementrian tentu memiliki banyak relasi untuk dapat mengaturnya. Yang seolah putriku ini memang tengah sekolah di Jogja, sehingga tahun depan dia sudah dapat lagi duduk disekolahnya itu, tentunya sudah dengan kelas dua.

Sepertinya cara yang aku tempuh itu amat-lah rumit dan kompleks, Tapi bagiku itu jauh lebih baik ketimbang harus melakukan cara pengecut dengan menggugurkan kandungannya.

Untuk famili terdekat, memang kami tak dapat menyembunyikan kehamilannya itu. Terpaksalah aku katakan pada mereka, bahwa itu terjadi akibat “kecelakaan” karena pergaulan bebas. Tak mungkin aku mengatakannya akibat digauli olehku, ayah kandungnya sendiri.

Terkesan egois memang. Untuk melindungi nama baikku, aku harus mengorbankan nama baik Nanda. Yang tentunya mereka akan mencap-nya sebagai remaja yang salah gaul. Tapi itu jauh lebih baik, ketimbang mereka mengetahui kalau dikeluarga ini menjalani gaya hidup incest. Tentu tanggapan mereka akan jauh lebih heboh.

“Lha bapak calon jabang bayi itu siapa tris? Kamu harus minta pertanggung jawabannya dong… Enggak bisa diem aja begitu… Enak amat tuh orang” gusar mbak Wiwik, kakak kandungku, saat mengetahui kehamilan Nanda.

“Minta pertanggung jawaban bagaimana mbak, lha yang menggauli dia itu tiga orang. Apa harus tiga-tiganya aku minta pertanggung jawaban” jawabku berdusta. Ah, maafkan aku Nanda, jahat sekali aku ini telah menjelek-jelekan dirimu sebegitu rupa.

“Astaga… tiga orang. Ya ampun… Nanda.. Nanda..” kaget Mbak Wiwik.

“Ya begitulah mbak. Sebetulnya sih bisa saja dilakukan tes DNA untuk mengetahui secara pasti siapa bapak dari anak yang dikandungnya itu. Tapi aku tak akan memilih opsi itu, karna aku juga tak ingin Nanda cepat-cepat menikah. Biarlah aku akan menghadapi ini semua dengan caraku sendiri. Dan aku pastikan setelah anaknya itu lahir, dia akan kembali menjadi anak gadis remaja yang masih duduk dibangku SMA.

Ah iya, tak berbeda dengan Nanda dan istriku. Tini, pembantuku itu, kini juga tengah berbadan dua. Tepatnya sudah tiga bulan dia tak mengalami datang bulan. Fuuhhh… Semakin pusing saja aku dibuatnya oleh kenyataan ini.

Kalau untuk anak yang dikandung Si Tini ini, terus terang aku kurang tahu pasti siapa ayahnya. Baik aku maupun Doni, dalam lima bulan belakangan ini sama-sama pernah menyemprotkan sperma kami didalam rahimnya itu. Namun yang pasti, selama itu pula dia tak pernah sekalipun berhubungan badan dengan pria lain selain aku dan Doni.

“Bagaimana ini pak, saya malu sama simbok kalau saya hamil tapi ndak punya suami… Apa yang harus saya bilang kepada Simbok dan orang-orang di kampung” curhatnya beberapa hari lalu kepadaku dan juga istriku.

Sebetulnya bisa saja jauh-jauh hari aku menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya itu. Setelah itu habislah perkara. Toh secara status dia bukanlah siapa-siapa bagiku. Namun sekali lagi aku katakan, aku memang bukanlah termasuk orang yang bersih. Tapi aku juga bukanlah orang yang begitu pengecut untuk sanggup membunuh calon bayi demi untuk menghilangkan masalah.

“Baiklah, besok sabtu aku antar kamu pulang kampung. Kita menghadap orang tuamu. Katakan padanya akulah ayah dari anak yang kamu kandung itu. Dan katakan juga kalau kamu telah kunikahi secara siri. Semoga itu dapat menjaga nama baik kamu dan keluargamu dikampung..” janjiku padanya.

Seperti yang aku janjikan, sabtu pagi aku dan Tini menuju Jogja dengan pesawat.

Dari bandara Adi Sutjipto Jogja, aku menumpang taksi menuju desanya dikawasan Gunung Kidul.

Sehari semalam juga aku menghabiskan waktu dirumahnya yang sederhana itu. Ada sensasi tersendiri saat aku menghabiskan malam dengan Tini disebuah kamar berdinding kayu dan berlantaikan tanah. Sedang alas tidur kami hanyalah balai-balai tua dengan kasur kapuk seadanya. Balai-balai yang mengeluarkan suara berderit saat tubuh kami saling menggoyang menuju puncak nikmat.

Ah, saat kami berasik masuk malam itu, untuk pertama kalinya Tini memanggilku “mas” dan mengapa pula aku juga menimpalinya dengan memanggilnya “dik”. Hmmm.. benar-benar seperti pengantin baru.

“Nanti kalau dirumah jangan panggil Mas lho dik… Gak enak sama mamanya anak-anak..” pesanku padanya, saat kami baru selesai memacu birahi.

“Iya deh Masku sayang… Enggak usah dibilangin saya juga udah paham koq..” jawabnya, diikuti dengan mengecup manja bibirku.

Keesokan sorenya aku pulang. Meninggalkan Tini yang masih akan tinggal barang tiga hari lagi dikampung halamannya itu.

*********

Sore menuju malam. Kami berkumpul bersama diruang keluarga sambil menonton tivi. Menikmati kopi dan cemilan ringan yang baru saja disajikan oleh istriku. Ya, sepeninggalan Tini yang masih berada dikampungnya, dan baru esok hari rencananya dia akan kembali. Praktis segala urusan rumah tangga istriku-lah yang mengambil peran.

Oh iya, untuk urusan memasak nasi goreng, mereka mengakui bahwa nasi goreng buatanku sangat istimewa. Dan aku percaya bahwa yang mereka katakan itu bukanlah sekedar “lips service” untuk menghargai jerih payahku. Dulu saat aku kuliah, teman-teman kostku juga mengakui kalau nasi goreng buatanku itu sangat berkelas.

Seperti biasa, Sofa besar berbahan busa dengan lapisan kulit sintetis ini menjadi tempat paling paforit bagi kami dalam melewati petang. Sofa yang dalam sembilan bulan terakhir ini menjadi saksi bisu dari berbagai kegiatan yang kami lakukan. Yang tentunya sebagian besar adalah kegiatan memanjakan syahwat.

Aku duduk di sisi paling kanan, berdampingan dengan Nanda yang menggelendot manja pada lenganku. Sedangkan Doni duduk di sisi kiri, berdampingan dengan istriku. Bocah lelaki tanggung itu dengan santainya merebahkan kepalanya di paha mamanya dengan kedua kaki diselonjorkan diatas meja didepannya.

“Pa, coba pegang deh… Dede’nya nakal nih, nendang-nendang terus” ujar Nanda, diikuti dengan meraih tanganku untuk ditempelkan pada perut buncitnya.

“Terasa gak pa?” tanyanya, namun tak kurasakan gerakan apapun. Entah apakah bocah didalamnya memang telah berhenti menendang, atau memang dasar diriku saja yang kurang peka dalam merasakannya.

“Enggak terasa koq..” jawabku, walau kucoba merasakannya dengan seksama.

“Ih, papa ini. Masa’ gak bisa ngerasain calon anaknya sendiri sih..” gerutunya, seraya menuntun tanganku menulusup masuk melalui bagian bawah dasternya yang telah disingkap keatas.

Kini tanganku menyentuh langsung perut buncitnya. Tanpa lagi terhalang oleh kain dasternya.

“Gimana, terasa?” tanyanya lagi.

“Ya, terasa dikit” jawabku. Walau sebenarnya aku tak merasakan seperti yang ia sebutkan, kecuali hanya gerakan perutnya yang kembang kempis seiring tarikan nafasnya.

Selanjutnya tanganku hanya mengelus diseputar perutnya. Dan selang berapa saat, tanganku justru malah iseng menelusup masuk kedalam celana dalamnya.

Ah, liang vagina ini jauh lebih hangat dalam kondisi hamil seperti ini. Batinku, saat jari tengahku mulai menyolok masuk pada liangnya.

“Ih, papa nih… Disuruh ngerasain dede’nya yang lagi main bola didalam perut.. Eh, malah ngobel-ngobel memek Nanda…” ujarnya manja, sambil kedua tangannya merangkul lenganku seolah tak ingin kalau aku cepat-cepat menyudahi aksiku itu.

“Sekarang bapaknya yang minta main bola… he.. he.. he…” ocehku, sambil terus mencoloki hingga semakin kedalam liang hangatnya itu.

“Buka sekalian aja deh kalo gitu, biar main bolanya lebih leluasa…” ujar Nanda, sambil melepas celana dalamnya, seraya mengangkang dengan menaikan kakinya diatas meja.

Sambil menikmati jemariku yang menjelajahi vaginanya, lidahnya mulai menjilat-jilat lembut disekujur lidahku. Secara reflek mulutku membuka memberikan akses yang lebih luas agar lidahnya itu semakin masuk kedalam rongga mulutku.

Mmmmm… desah nafasnya-pun jauh lebih hangat ketimbang saat tidak hamil. Lidah itu menjilat lincah hingga kedinding atas mulutku. Dan baru berhenti menggelitik saat mulutku terkatup mengulum lidah lembutnya. Kuemut beberapa saat, lalu kugerakan maju mundur. Matanya terpejam seiring gerakan kepalaku yang maju mundur perlahan.

Sejurus kemudian dia melepas pagutannya dari mulutku, seraya melucuti seluruh pakaian yang dikenakannya. Sehingga tersajilah pemandangan eksentrik didepanku, dimana seorang wanita muda dengan perut buncit, bugil tanpa selembar benangpun menutupinya. Kini tubuh itu duduk mengangkang dengan kedua kaki ditekuk memperlihatkan liang vagina basahnya yang menagih untuk disodok.

“Papa, buka juga dong bajunya… cepetan, ah..” rajuk Nanda, sambil menarik ujung celana pendek-ku hingga melorot separuh.

“Ih, gak sabaran amat sih nih anak..” ujarku, sambil melucuti seluruh pakaianku.

“Langsung entot pa, Nanda dah gak nahan nih.. ini bawa’an dede’nya kali… ayo pa, pliss…” mohonnya.

“Ah, bisa aja kamu. Dulu sebelum kamu hamil juga begini, kalo udah horny pasti bawa’annya gak sabaran untuk langsung dientot..” godaku.

“Aeeng… papa gitu deh. Pokoknya cepetaaan..” rajuknya manja.

“Iya deh, tapi sebelum papa entot memek kamu. Biar mulut kamu yang cerewet itu dulu yang papa entot. Setuju?”

“Oke deh.. Aaaakkk” jawabnya, diikuti dengan membuka mulutnya lebar-lebar.

Segera aku berdiri didepannya, dan langsung kusumbat mulut menganganya dengan batang penisku yang telah tegang.

“Oke sayang, siap ya.. Papa entot sekarang nih..!”

“Ohe pha.. hangshung hajhar..” jawabnya, dengan mulut yang telah tersumpal oleh penisku.

“Satu.. dua… tiga… Heghh… heghh.. heghh.. hiyaaaa…”

Dengan kedua tangan berpegangan pada sisi atas sandaran sofa, segera kukayuh dengan kuat pinggulku.

Ghlakk.. Ghlakk.. Ghlakk… Suara kocokan dari mulutnya terdengar begitu erotis bagiku. Sehingga membuatku semakin gemas untuk lebih kuat membombardir mulut mungilnya itu.

Sementara aku menghujamkan penisku, kedua tangannya masih memegangi kakinya yang mengangkang, sehingga hanya pinggulku-lah yang melakukan kontrol secara penuh layaknya menyetubuhi liang vagina.

Beberapa menit kemudian kusudahi aksiku itu. Seraya aku tundukan tubuhku mensejajarkan dengan wajahnya. Kulumat rakus mulut yang pada bibir dan dagunya dilumuri oleh cairan ludah kental. claapp… ssyyrruufff… clloopp… Suara kecipakan mulut kami yang saling berpagutan mengiringi aksi kami. Aksi saling sedot dan saling hirup air liur yang bagiku begitu menghanyutkan birahi.

“Mulut kamu udah papa entot, sekarang giliran memek kamu, oke?” ujarku, sambil mencubit pipinya yang mulai terlihat sedikit lebih gemuk selama dirinya hamil.

“Horeee… cepeten pa, cepetan…” girangnya, seperti seorang bocah yang akan diberikan hadiah.

“Ih, kamu itu. Udah mau punya anak, kelakuan masih aja kayak anak-anak..” godaku, sambil mencubit hidung bangirnya.

“Ah, papa rese’ deh, biarin aja kaliii… Udah, cepetan deh ah..” sewotnya.

Kini aku telah berada diatas tubuhnya. Bless.. sekali dorong batang penisku menembus masuk liang vaginanya yang jauh lebih hangat ketimbang sebelum hamil.

Plok… plok.. plok… Pinggulku mulai bergerak naik turun, sambil kedua lidah kami saling beradu jilat dengan lembut.

*********

Kulirik sesaat pada istriku dan Doni yang menyaksikan aksi kami. Gelagatnya istriku mulai terangsang. Itu dapat dilihat dari tangannya yang mulai meremasi selangkangan Doni.

“Sayaaang… Kalau perempuan sedang hamil, suaminya harus rajin nengokin calon anaknya. Itu sama artinya dengan melancarkan jalan untuk proses kelahirannya nanti..” terang istriku kepada Doni yang masih berbaring sambil menyaksikan aksi kami.

“Maksudnya? Doni kurang paham ma…” tentu saja sebagai anak se usia Doni, kata-kata yang seperti dipaparkan istriku tadi masih terlalu sulit untuk dapat diterjemahkan oleh pikiran kanak-kanaknya.

“Ah, kamu ini. Semuanya harus dijelaskan dulu..”

“Kan, Doni masih kecil ma, mana Doni tau bahasa seperti itu..”

“Masih kecil tapi udah bisa bikin anak ya..?” goda istriku, diikuti dengan meremas batang penis Doni yang masih terbungkus celana pendek.

“Ih, mama suka gitu deh..”

“Maksudnya, begini lho.. Kamu itu kan calon ayah dari anak yang mama kandung. Itu artinya kamu sekarang adalah suami mama. Nah, sebagai suami, kalau istrinya sedang hamil tua, harus sering-sering dientotin, biar otot-otot memeknya tetap lentur dan enggak kaku, supaya saat melahirkan nanti gampang.. Ngerti enggak kamu?

“Seperti papamu itu lho, sekarang kakakmu itu kan jadi istrinya papa. Makanya papamu rajin ngentotin kak Nanda, supaya saat ngelahirin nanti prosesnya lancar, karena udah sering dimasukin kontol. Ngerti enggak? Keterlaluan deh, kalau mama udah jelasin dengan bahasa yang jelas kaya’ gitu, tapi kamu masih juga gak ngerti..

“Paham dong ma, Doni gak o’on-o’on banget kali..”

“Ih, siapa juga yang bilang kamu o’on. Anak mama ini paling pinter koq. Pinter dalam pelajaran sekolah. Dan… pinter juga bikin mamanya bunting.. hi… hi.. hi..“goda istriku.

“Aaakkhh… mama ini, kitikin nih..” manja Doni, sambil tangan kanannya mulai menggelitik ketiak istriku.

“Aaaww.. geli Doni, udah dong.. aaww..”

Untuk beberapa saat mereka saling bercanda, sementara aku masih asik menggenjot vagina hangat putriku, sambil tak bosan-bosannya kami saling berpagutan atau saling menjilati leher kami secara bergantian.

*********

“Pa, mau mimi cucu enggak nih…” tawarnya, yang diikuti dengan menekan buah dadanya dengan kedua tangan, sehingga terpancur cairan putih dari puting susunya.

“Mmmmhh… ada-ada aja kamu, muka papa basah semua nih..” ujarku, sambil menjilati sekujur bibirku.

Ah, usia kehamilan yang telah memasuki delapan bulan, secara biologis berefek pula pada buah dadanya yang sekarang telah dapat memproduksi ASI untuk anaknya kelak. Disamping juga ukuran payudaranya menjadi lebih besar dan montok.

“Hi.. hi.. hi.. enggak apa-apa pa, biar tambah kuat, papa mimi’ cucu dulu..” godanya.

“Hmmm.. oke kalo begitu, sekalian papa mimi’ dari sumbernya… aaeemmm” bersamaan dengan itu, langsung kuemut puting susunya. Bagai seorqng bayi, kuhirup cairan gurih itu sepuas-puasnya.

“Aauuww… geli pa… aahhh… hi.. hi.. hi…” gelinjangnya, sambil memegangi kepalaku.

Untuk sementara kayuhan pinggulku terhenti, namun dengan batang penis yang masih bersarang diliang vaginanya.

“Mmmm… segaaaarr.. heeggggghh..” ucapku, didepan wajahnya, setelah kurasakan puas menyusu pada putri kandungku itu.

“Enak pa?” tanyanya.

“Sedaapp..”

“Ih, dasar papa, susu jatahnya dede’ masih diminum juga..”

“Abis, kamu duluan sih, yang nyemprot wajah papa pake susu..”

“Oke, deh pa… sekarang entotin Nanda lagi dong..”

Kembali kukayuh pinggulku, melanjutkan lagi penetrasi antara kelamin kami yang tertunda sejenak.

*********

Doni dan istriku masih mengobrol ringan tentang kehamilan. Semacam penyuluhan pramelahirkan kepada “suami muda” nya itu.

“Eh, ma… apa enggak kasian tuh dede’nya yang didalam, kalo kontol Doni nyodok-nyodok dimemek mama. Doni kawatir ujung kontol Doni mengenai kepalanya…” tanya Doni polos.

“Hi.. hi.. hi… Doni.. Doni.. Ada-ada aja kamu itu, ya enggak lah sayang… Malahan dokter nyaranin supaya sering-sering dientot kalo lagi hamil tua begini” papar istriku, sambil menarik celana pendek Doni hingga sebatas paha, sehingga batang penisnya yang separuh berdiri itu terbebas dari benda yang menutupinya.

Istriku meludahi telapak tangan kanannya sendiri, lalu mulai mengurut-urut lembut batang penis putranya itu. Hasilnya, selang beberapa saat batang penis itu telah berdiri tegak.

Bocah itu mulai bangkit dari posisi berbaringnya, seraya melucuti seluruh pakaiannya hingga bugil. Begitupun istriku yang juga melepas celana dalamnya, dan langsung mengangkangkan kedua pahanya lebar-lebar setelah terlebih dulu menyingkap keatas dasternya.

Dengan kaki kanannya, istriku mengait leher Doni, dan membimbingnya kearah selangkangannya. Memgerti apa yang diinginkan istriku, bocah itu segera menjulurkan wajahnya pada vagina istriku.

“Aaaaggghhhhhhh… iya terus jilatin sayang… aagghh.. suamiku sayang, suami kecilku… mmmmhhh..” desahnya, dengan kedua tangan menjambaki rambut Doni yang berjongkok dibawahnya.

*********

Sekitar tujuh menit sudah batang penisku menghujami liang vaginanya, hingga putriku itu meminta untuk berhenti sejenak.

“Stop dulu pa… stop.. Tolong masukin di anus Nanda pa.. Ayo pa..” pintanya.

Segera kuturuti keinginannya itu. Kini batang penisku telah “berpindah-kamar” keliang pelepasannya. Masih dengan posisi yang sama aku kembali menghantamkan batang penisku.

Hingga tak sampai dua menit setalah itu, tubuhnya tampak mengejang, dan dipeluknya tubuhku dengan erat.

“Mmmmmhhhhhhh… Nanda keluar paaa… Uuuuuggggghhhhhhhh…” erangnya, sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dari bawah.

Hanya beberapa detik setelah itu, akupun merasakan hal yang sama. Rasa nikmat tiada tara itu akhirnya datang menerpa tubuhku, yang diikuti oleh lenguhan panjangku.

“Aaagghhhhh… papa juga mau keluar sayaaang…” lenguhku.

“Pa.. dikeluarin diperut Nanda aja pa…” pintanya, sambil tangannya menolak pinggulku.

“Ah, ada-ada saja kamu ini… Aaaagghhhhh…” akhirnya kuikuti juga kemauannya. Kucabut batang penisku, dan kuarahkan ujungnya pada perut buncitnya.

Croottt… croottt… crroottt… Begitu banyak cairan kental putih yang memenuhi perutnya itu, yang langsung diusap-usapkannya secara merata keseluruh perut hamilnya itu. Bahkan kedua payu daranya-pun tak luput dari usapannya.

Kuhempaskan kembali tubuhku di sofa. Disebelah kiriku Nanda masih asik memainkan spermaku yang telah melumuri sekujur badan bagian depannya.

“Hi.. hi.. hi.. Nanda luluran peju dulunya pa..” ujarnya. Yang kubalas dengan mengecup bibirnya.

*********

Sementara disebelahnya lagi, Doni telah mulai menggenjot batang penisnya didalam vagina mamanya, dengan posisi sama seperti yang aku lakukan pada Nanda barusan.

Seperti biasa bila sedang melakukan aktifitas yang satu itu, mulut istriku tak bisa diam. Meracau riuh yang seolah tak ada habisnya.

“Yeesss… entotin terus mama-mu ini sayang, sodok terus istrimu ini..” racau istriku, sambil kedua tangannya ikut membatu menekan bokong Doni, seolah hantaman pinggul putraku yang sudah sedemikian keras masih juga belum cukup baginya.

“Iya istriku sayang, ini juga udah dientotin… hegghhh… heghh.. heghhh..” timpal Doni, sambil terus menggenjot dengan kuat.

“Ludahin mulut mamamu sayang… mulut istrimu ini.. aku haus sayang… Aaaaaakkkkk…” mulut istriku menganga lebar seolah begitu mengharap dengan apa yang dimintanya itu.

Doni menghentikan sejenak goyangan pinggulnya. Mulutnya mengecap-ngecap beberapa saat, seolah tengah mengumpulkan sesuatu didalam mulutnya.

“Nih ma… mmmm… pleehh…” cairan bening agak berbusa bergerak lambat dari mulut Doni kemulut mamanya, yang langsung disambut dengan bernafsu, bagai musafir yang tengah mereguk air dipadang tandus.

“Mmmmm… sedaapp.. lagi dong suamiku.. Aaaakkk…”

Kembali Doni mengulangi aksi yang sebelumnya, dan diakhiri rangkulan istriku yang menarik leher belakang bocah itu, hingga wajah mereka saling bertemu. Dan dengan rakus istriku langsung melumat mulut Doni bagai ingin dilahapnya.

“Aaagghhh… Ayo, entotin memek istrimu lagi sayang…” pinta istriku, setelah puas melumat mulut Doni.

Broott… brrott.. plokk.. plokk.. Kembali Doni melanjutkan aksinya yang sempat tertunda. Genjotannya semakin bertenaga, sehingga menimbulkan suara aneh yang riuh.

“Aaaaaaaaggghhhhhhh… mama sampai don… istrimu keluar sayang… Aaaagghhhhhh…” pekik istriku, setelah beberapa menit Doni membombardir vaginanya.

Semakin gencar pula Doni mengayuh bokongnya, sehingga suara berkecipak yang ditimbulkan semakin nyaring. Mungkin karena cairan nikmat yang telah menggenangi vaginanya itu yang membuat liangnya semakin becek.

“Aaahhhhh… Doni mau keluar maa.. Mau keluarin dimana nih ma..” ujar Doni beberapa saat kemudian.

“Disini sayang… disini aja.. Aaakkk..” balas istriku, sambil jari tangannya menunjuk pada mulut menganganya.

“Aaaahhhh…” croottt… crooottt… crooottt… Cairan sperma kental masuk memenuhi rongga mulut istriku, yang langsung direguknya dengan rakus.

“Mmmmm… sedaaapp… Gizi yang baik untuk calon anakmu sayang.. Mmm.. nyemm. nyemm..” gumam istriku, sambil menikmati “ekstra puding” dari anak lelakinya itu.

*********

Usai menuntaskan syahwat, kami kembali duduk sambil berbincang ringan. Tubuh telanjang kami bagai simbol kebebasan yang berlaku dikeluarga ini. Anyirnya aroma sperma yang melumuri perut buncit putriku, bagi kami seperti pewangi ruangan yang menyegarkan. Sehingga tak ada alasan untuk menyuruhnya agar segera membasuhnya.

“Eh, pa.. Menurut hasil USG, anak kita kan laki-laki. Mau dikasih nama apa nih? Papa udah siapin nama belum?” tanya Nanda, sambil menggelayut manja dipundakku.

“Mmmm.. siapa ya? Namain aja Paijo.. Kedengeran nyentrik malah” jawabku, diikuti dengan menenggak softdrink dingin yang baru saja disediakan istriku.

“Ih, papa gitu deh. Ditanya serius juga..” rajuknya, sambil meninju pelan lenganku.

“He.. he.. he.. Abis papa belum siapin nama sih. Oke deh, nanti bakal papa carikan nama yang cocok..”

“Tapi jangan yang norak lho pa..”

“Iyaaa… Pokoknya keren lah..”

Untuk beberapa detik, mulut bawelnya itu terdiam. Itupun karena tengah menikmati coklat, yang dalam waktu belakangan ini anak ini gemar sekali ngemil. Terutama cemilan coklat itu. Bisa jadi itu adalah bawa’an orok yang ada diperutnya yang tentunya juga membutuhkan pasokah makanan tidak sedikit untuk membantu pertumbuhannya.

“Eh, pa…” ujarnya sambil mulutnya mengunyah coklat.

“Apa lagi..”

“Kan, anak kita cowok.. Nanti kalau udah gede, boleh enggak ngentotin Nanda?” Ah, sebuah pertanyaan konyol.

“Tentu boleh dong sayang… Iya kan pa? Pasti papa setuju deh..” belum lagi aku menjawabnya, istriku malah terlebih dulu menyerobot.

“Ya, atur aja lah..” pasrahku.

“Horeee.. berarti Doni juga bisa ngentot anak Doni dong. Kan anak Doni cewek..” girang Doni.

“Pasti dong..” jawab istriku.

“Tapi yang merawanin siapa dulu ya?” tanya Doni lagi.

“Sudah pasti papa dong, kan kepala keluarga..” kali ini langsung aku yang menimpali.

“Eh, enak aja… Papa kan udah dapet perawannya Nanda. Masa’ mau minta lagi sih.. Lagian kan yang berhak merawanin itu bapaknya. Ya Doni lah..” sewot istriku.

“Iya deh iya… segitu sewotnya..” sindirku.

“Iya dong… Dia kan suami aku sekarang. Jadi harus aku bela, iya kan sayang..” ujar istriku, sambil membelai rambut Doni.

Sial, cemburu juga aku mendengarnya. Ah, mengapa harus cemburu, aku juga punya Nanda. Istri mudaku.

Petang telah berganti malam. Kami masih berkumpul diruang keluarga. Membicarakan hal-hal yang bagi orang lain tentu akan terdengar konyol dan tak lazim, bahkan dianggap Amoral. Namun bagi kami itu adalah sebuah obrolan yang menyegarkan dan mengasikan. Yang membuat suasana dirumah ini semakin bergairah.

Siang di hari minggu ini kami mengadakan sedikit pesta kecil-kecilan. Tepatnya adalah pesta ulang tahunku yang ke 46.

Sebuah_Barbeque Party_yang hanya dihadiri oleh kami sekeluarga, yang kami gelar di taman halaman belakang rumah. Sebuah tungku pemanggang daging kami tempatkan ditengahnya. Dengan arang yang telah membara, memanggang beberapa lempengan daging sebesar telapak tangan yang berjajar diatas anyaman besi seukuran batang pinsil.

Steek daging sapi buatan sendiri, dalam beberapa menit lagi sepertinya siap untuk dihidangkan. Aromanyapun begitu mengundang selera.

Tak sia-sia aku dan Doni mempersiapkan ini semua semenjak pagi tadi. Mulai dari meracik bumbu dan membakar arang hingga membara seperti ini. Belum lagi harus menggotong meja makan dari dalam rumah dan meletakannya disini, untuk kemudian istriku dan Nanda menyajikan berbagai makanan yang sebagian besar kami dapat beli atau pesan.

Semua itu kami siapkan sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk pembantu rumah tangga.

Tini, dalam tiga hari belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Plek atau pendarahan dari kandungannya itulah yang menjadi penyebab. Sepulang dari kampungnya seminggu lalu, dia terpaksa harus ekstra sibuk, karena pekerjaan yang ditinggalkannya selama tiga hari jadi menumpuk, dan terpaksa harus dirapel.

Kesalahan kami juga yang memang sengaja menumpuk pekerjaan dengan harapan agar dikerjakan olehnya sepulang dari kampung. Dampaknya adalah dari rahimnya mengeluarkan darah berwarna kehitaman, dan detik itu pula dia ambruk bagai tak bertenaga. Tentu saja hal itu membuat kami sekeluarga panik, dan segera kami antar ke dokter kandungan.

Usia kandungan yang masih muda memang rentan, dan rawan terjadi plek seperti itu. Dan kalau dibiarkan bisa berakibat keguguran. Saat nanti usia kandungan berusia diatas empat bulan, janin akan lebih kuat, sehingga kemungkinan akan terjadi plek relatif kecil. Itu yang dikatakan dokter, dan solusinya adalah istirahat total, setidaknya sampai usia kandungannya itu berumur empat bulan nanti.

Akhirnya untuk sementara kami mempekerjakan pembantu rumah tangga lepas, yang hanya datang pada pagi hari, dan pukul empat sore dia pulang, yang kami bayar secara mingguan. Namun pada hari minggu seperti ini memang sengaja kami menyuruhnya untuk libur.

“Gimana nih Chef kita.. Udah mateng belum?” seperti biasa, akhir-akhir ini istriku selalu tak ingin melawatkan momen-momen seperti ini tanpa dokumentasi. Sedari tadi dirinya sibuk dengan hobinya itu. Merekam segala kegiatan kami dengan handycam ditangannya. Sesekali benda itu diletakannya diatas meja saat dirinya sibuk, namun tetap dalam posisi on record.

“Kayaknya sih udah nih…” jawabku, sambil membolak-balik irisan daging dengan menggunakan penjepit kue (cake tongs). Penampilanku sekarang ini memang tak ubahnya seperti koki profesional, dengan celemek putih membalut bagian depan badan, serta penutup kepala koki. Sedangkan Doni, sibuk mengipasi bongkahan arang agar tetap membara.

Hanya Nanda yang kini cuma duduk dikursi depan meja makan, dengan tak henti-hentinya mulutnya itu mengemil makanan ringan yang ada dimeja. Sepertinya perut buncitnya itu tak kunjung kenyang walau sedari tadi diisi makanan. Mungkin ada benarnya juga kata orang, saat mengandung bayi laki-laki, nafsu makan si ibu jauh lebih tinggi ketimbang mengandung bayi perempuan.

“Oke, saatnya kita cicipi..” dengan bangga dan penuh percaya diri, satu persatu lempengan daging yang telah masak kupindahkan pada piring besar berbentuk ceper, lalu kuhidangkan diatas meja.

*********

Santap siang yang cukup spesial di hari ini. Di hari ulang tahunku. Dan aku pula yang memasak serta mempersiapkannya. Tampaknya mereka begitu menikmati masakanku itu. Terutama Nanda, putriku, sekaligus ibu calon anakku, atau calon cucuku. Ah, peduli apapun itu sebutannya, yang pasti anak yang dikandungnya itu adalah hasil dari benih yang kutabur.

“Yang ulang taun koq justru yang penampilannya paling kusut, mana badannya bau asep lagi..” tegur istriku, dengan mulut masih mengunyah potongan daging..

“Iya pa, dimana-mana kalo yang ulang taun tuh yang paling rapi, pakaian bagus, wangi. Bukannya pake celana pendek, kaos singlet, pake celemek lagi..” tambah putriku.

“Yah, mau gimana lagi? Semuanya kan harus aku sendiri yang menyiapkan. Tapi it’s oke lah, aku suka koq melakukannya. Justru ini mendatangkan keasyikan tersendiri bagiku. Anggap sebagai hiburan lah..” timpalku.

“Apa? Papa sendiri yang menyiapkan? Jadi sedari tadi Doni bantuin gak dianggap nih?” protes Doni yang juga dengan mulut penuh dengan daging yang dikunyahnya.

“Ah, ya enggak dong. Maksud papa, yang mengkordinir ini semua kan papa..” sanggahku. Sementara istriku sepertinya telah menyudahi makannya, seraya kembali meraih hendycam yang sebelumnya diletakkan diatas meja.

“Yeee.. Gak bisa gitu dong. Tanpa Doni belum tentu semuanya bisa beres. Siapa yang menyiapkan arangnya sampai membara begitu? Lalu siapa yang nyuci bawang, cabe, dan…” sewot Doni lagi, yang segera kupotong.

“Ah, itu kan cuma pekerjaan yang enggak membutuhkan skil. Pekerjaan kuli gitu lho..” tepisku. Tentu saja aku hanya bermaksud menggoda bocah bau kencur itu.

“Eeee… Enak ajaaa… Papa gitu deh. Kan…”

“Eeeeee… Sudah-sudah.. Dua laki-laki ini koq malah saling ngotot sih…” potong istriku sambil mengarahkan lensa handycamnya kearah kami. Dan seperti biasa kembali ia mengoceh layaknya seorang reporter.

“Momen yang tak boleh begitu saja dilewatkan.. Pesta kebun, peringatan ulang tahun suamiku tercinta, yang sekaligus papa dari anak-anak kami tercinta. Mmmm.. sekaligus juga calon kakek dari anak yang dikandung putri kami.. Eh, kakek atau ayah ya? Ah, masa bodo lah..” oceh istriku, dengan nada menggoda.

“Mamaa.. mulai deh..” tegurku, sambil tersenyum dengan sindirannya itu.

“Ini lho pa. Momen seperti sekarang ini sangat sayang bila tidak didokumentasikan” terang istriku

“Ulang tahunku maksudmu? Pada ulang tahunku yang lalu kamu juga tidak mendokumentasikannya toh?” paparku. Ya, memang pada ulang tahunku yang ke 45 tahun lalu, kami juga melakukan hal yang serupa disini, tapi aku masih ingat bahwa istriku tidak mendokumentasikan peristiwa itu, padahal waktu itu bahkan kami mengundang beberapa famili dekat kami.

“Beda dong pa… Mmmm.. waktu itu kan aku dan Nanda tidak sedang hamil tua seperti ini.. itulah makanya menurutku momen ini sangat bersejarah, dan wajib kita dokumentasikan.. Iya enggak anak-anak?”

“Yo’i mam..” jawab Nanda yang masih saja ngemil walau telah menghabiskan dua potong daging seukuran telapak tangan.

“Baiklah, kita jumpa kembali dengan keluarga kami yang super bahagia ini.. Oh iya pemirsa, yang lagi ngemil kentang goreng ini adalah Nanda, anak pertama kami. Penampilannya kini berbeda ya pemirsa, sedikit lebih gemuk, karena… Nanda, coba kamu berdiri dulu dong sayang.. “oceh istriku. Paham dengan yang diinginkan mamanya, putriku itu berdiri tersenyum, seraya berputar sejenak sambil kedua tangannya menjinjing ujung dasternya, seolah dengan bangganya mempertunjukan perut buncitnya yang dibalut daster putih transfaran itu.

“Wooowww… sudah delapan bulan setengah pemirsa. Jadi, mmm.. ya, kira-kira dua minggu lagi kemungkinan anak kami ini akan dikaruniai putra yang lucu..”

“Dan ganteng dong ma..” tambah Nanda yang masih berdiri.

“Pastinya..” sambung istriku.

“Oh iya pemirsa… Siapa sih bapak dari calon putranya Nanda itu…? Siapa ya..? Mmmm..” istriku terdiam sesaat sambil tersenyum menatapku

“Ooww.. tentu saja pria disampingnya itulah orangnya. Betul sekali pemirsa, suamikulah yang menghamili putri kami tercinta ini, papanya, tentu saja ayah kandungnya, so sweet kan pemirsa…” cerocosnya, sambil mengarahkan lensa kamera kearahku, yang langsung diikuti dengan tubuh Nanda yang duduk dipangkuanku, sedang tangannya menggelendot manja pada pundakku.

“Wooww.. betapa mesra dan romantisnya mereka pemirsa. Bagaimana kalau kita wawancarai mereka..” diraihnya botol saus yang ada diatas meja. Seolah botol itu adalah sebuah mike, sisi bawah botol diaracungkan kearah Nanda.

“Bagaimana perasaan kamu Nanda, setelah mengandung delapan bulan ini?”

“Mmmm… Pastinya bahagia dong..” jawab Nanda.

“Kamu ceritakan sendiri ke pemirsa dong sayang, siapa sih bapak dari anak yang kamu kandung itu?”

“Ini orangnya..” jawabnya, kali ini diikuti dengan mengecup bibirku.

“Ia, dijelasin dong Nanda, siapa dia.. supaya pemirsa mendengar langsung dari kamu..”

“Owhh.. begitu. Oke deh. Halo pemirsa. Ini nih, yang hamilin Nanda adalah papa aku sendiri lho, papa kandungku yang ganteng ini nih..” terang Nanda, diikuti dengan mencubit gemas pipi kananku.

“Koq bisa hamil sih Nanda, emang diapain sih?” tanya istriku

“Ya iyalah… Orang dientotin terus tiap hari, ya jelas hamil kaliii…”

“Wooww.. Dientotin bagaimana?” kembali istriku bertanya.

“Ya itu lho… Memek aku dimasukin pake kontol papa yang gede ini nih.” terangnya, diikuti dengan meremas lembut batang penisku yang dibalut celana pendek. Lalu kembali melanjudkan ocehannya.

“Lalu dikocok-kocok maju mundur… digoyang-goyang… Mmmm.. sedaaaaapp..” saat menjelaskan itu, matanya terpejam, seolah tengah membayangkan rasa nikmatnya, yang dibarengi dengan menaik turunkan bokongnya itu, lalu memutarnya, sehingga batang penisku yang berada dibawahnya terkena “imbasnya” menjadi sedikit menegang akibat nikmatnya goyangan bokongnya.

“Terus.. crot.. crot.. keluar deh pejunya, masuk kedalam memek aku… makanya Nanda bisa hamil pemirsa.. Gitu lho.” lanjut Nanda.

“Wooww.. so sweet. Bagaimana rasanya waktu dientot itu Nanda, coba kamu jelasin kepemirsa TV.. Mmm.. TV apa ya? Incest chanel.. Ya, pemirsa TV Incest chanel dirumah..”

“Ah, masa’ reporter TV bisa lupa nama stasiun tvnya sendiri sih..” godaku.

“Biasalah gangguan teknis.. Ayo Nanda coba terangin ke pemirsa dong sayang..”

“Rasanya… Wooww.. sukar dilukiskan pemirsa, pokoknya nikmat.. nikmat.. nikmat.. banget deh.. Mau tau kayak gimana? Coba’in aja dirumah..” terang Nanda, sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.

“Tentu kamu bahagia dong sayang…”

“Oww.. tentu dong, aku bahagia sekali punya papa seperti ini, punya keluarga seperti ini.. Owwhh.. thanks god..”

“Wooww… betapa beruntungnya kamu Nanda..” sambung istriku.

“Oke pemirsa.. Sekarang kita wawancarai papanya Nanda, Pak Tris..”

“Selamat siang Pak Tris… Ih, bapak tuh hebat banget deh, anak kandungnya sampe dibuntingin gitu. Apa sih yang mendorong bapak bisa melakukannya..”

“Yang pertama adalah rasa cinta seorang ayah kepada putrinya yang begitu besar, dan yang kedua putriku ini begitu seksi dan gemesin, sehingga membuat kontol saya ini serasa cenat-cenut ingin menikmati lobang memeknya.” terangku sekenanya, aku tau penjelasan seperti itu yang dia inginkan.

“Wooww.. Kegadisan putri anda ini apa juga anda sendiri yang menikmatinya?”

“Owhh.. Sudah barang tentu dong, batang kontolku sendiri yang memerawani lobang memeknya itu..” hampir tertawa juga aku mengatakan itu. Tapi masa bodo lah, toh seperti biasa, istriku membuat dokumentasi konyol seperti ini hanya sekedar untuk lucu-lucuan saja. Yang hasil rekamannya bakal kami putar dan saksikan bersama di layar tv ruang keluarga, sebagai hiburan segar sambil ketawa ketiwi.

“Wah, luar biasa sekali Pak Tris ini.. Anda benar-benar beruntung pak.. Oke kalau begitu pemirsa…” sampai disitu istriku berdiri dari kursinya, dan menaruh handycam itu pada pada ujung atas tripot yang sebelumnya memang telah disiapkan tepat disebrang meja makan.

Disetel beberapa saat posisi dudukannya dengan sesekali melihat pada layar monitor, ditekan-tekannya beberapa saat tombol pengaturannya, dan setelah mendapatkan posisi yang diinginkan, dengan berlari kecil kembali dia bergabung kemeja makan bersama kami.

Kini handycam telah nangkring diatas tripot dengan posisi lensa mengarah kepada kami. Istriku berdiri ditengah-tengah kami sambil mulai mengoceh seperti biasa.

“Tadaaaa… inilah saya pemirsa.. Seperti juga putri kami, saya juga sedang hamil lho pemirsa..” ujarnya, sambil mempertunjukan perutnya yang hamil besar itu.

“Coba tebak pemirsa, siapa bapak dari calon anak yang saya kandung ini…” sesaat matanya melirik kearah aku dan Doni.

“Yah, inilah calon bapaknya…” ujarnya, sambil menepuk-nepuk bahu Doni yang saat itu tengah duduk sambil menikmati minuman ringan.

“Mmm.. Dia adalah.. ini dia pemirsa… Doni, putra kandung kami, adiknya Nanda. Dialah yang menaburkan benih didalam rahimku, ibu kandungnya ini. Ah, aku merasa bangga dan bahagia sekali bisa mengandung anak dari hasil buah cintaku dengan anak laki-lakiku ini… Sesuatu banget gitu lho pemirsa.. Eh, Doni..

“Nah, gitu dong… Tapi kenapa juga malu-malu gitu sih… Nyantai aja dong sayang. Oh iya pemirsa… Anak saya yang ganteng ini sebenarnya banyak cewek-cewek yang naksir lho.. Tapi dia gak tertarik tuh.. Dia justru tertariknya sama mamanya… Dengan saya ini, ibu kandungnya. Saking tertariknya dia sama saya, sampai-sampai kalau dia onani itu yang dibayangin saya…

“Tapi anak saya ini betul-betul mantep lho pemirsa.. Dia pintar membuat mamanya puas lahir batin… Kontolnya itu lho pemirsa, bikin ketagian…” kali ini Doni telah memposisikan diri dibelakang istriku, sambil kedua tangannya mengelus-elus perut buncit mamanya. Sedang hidungnya tak henti-henti menciumi tengkuk dan leher “istrinya” itu.

“Tuh, liat aja pemirsa.. Begini nih, kalo udah deket sama mamanya, maunya ngegelendot ajaa… Aaww.. geli sayang, nanti dulu dong…” aksi yang dilakukan Doni membuat istriku sesekali menggelinjang kegelian, terutama saat lidah pemuda tanggung itu mulai menari-nari dilehernya.

“Eh, tunggu dulu dong sayang… aaww. Oh iya, kita berfoto bersama dulu ya, gak lama koq..” ujar istriku.

“Sudah di shooting, ngapain juga mesti dipoto lagi. Rekaman video kan lebih kongkrit ketimbang hanya sebuah gambar..” celetukku.

“Eh, jangan salah ya pa… hasil foto memiliki kekuatan tersendiri yang tidak bisa diwakili oleh rekaman video” terangnya.

“Ah, terserah kamu lah…” jawabku malas, karena aku memang kurang begitu memahami tentang hal itu.

Sejurus kemudian istriku masuk kedalam rumah. Tak sampai lima menit telah kembali dengan kamera foto DSLR ditangannya. Kamera yang kami beli saat kami berlibur ke Singapura setahun lalu, dengan harga setara dua buah motor bebek. Belum lagi beberapa buah lensa khusus yang dibeli istriku di Jakarta. Seperti lensa yang akan dipakainya sekarang ini, lensa yang dikhususkan untuk modeling, yang akan menghasilkan gambar yang tajam dan ditail, seperti di majalah-majalah mode.

“Coba kita berdiri semua. Mmm.. dimana ya.. Oke, kayaknya disebelah sini lebih baik, pencahayaannya cukup, dan gak ngelawan matahari..” pintanya, sambil menunjuk kearah samping meja makan, lalu memutar arah kameranya yang telah terpasang diatas tripot.

Beberapa kali kami berpoto bersama dengan mensettingnya secara auto shutter, sehingga kami berempat dapat bergaya dengan berbagai pose.

“Lucu juga.. Bagus bagus nih hasilnya. Tapi…” ujar istriku, sambil melihat-lihat hasil fotonya pada monitor.

“Apa lagi yang kurang, udah bagus-bagus begitu..” tanyaku, yang sebagian juga telah kulihat hasilnya saat dia mendisplay beberapa foto kami.

“Kayaknya kalo kita semua dipoto sambil telanjang, dalam keadaan aku sama Nanda lagi hamil besar begini, bakalan lucu juga kali ya, pasti unik dan eksotis deh… Oke? setuju…? Setuju dong.. Ayo guys semuanya, buka baju…” perintahnya, seolah tanpa perlu lagi mendengar persetujuan dariku, langsung saja dilucuti daster yang melekat ditubuh nya itu.

“Wah, boleh tu ma.. Kayaknya seru deh…” ujar Nanda, antusias.

Melihat semuanya mulai melucuti pakaiannya, akhirnya akupun juga mengikutinya. Ya, kini kami semua telah bugil, sehingga perut buncit kedua wanita ini tampak jelas terekspose ditempat terbuka dengan sorotan cahaya matahari, walau sebenarnya kami terlindung dibawah pohon talok yang cukup rindang. Namun tetap saja disiang hari seperti ini bahkan urat-urat berwarna kebiruan yang menghiasi perut buncit mereka terlihat begitu jelas bagai garis jalan pada peta kota.

Dan kini, tubuh-tubuh bugil kamipun menjadi objek bidikan lensa kamera yang memotret sendiri secara otomatis itu.

Setelah puas berpoto, kembali kami duduk dikursi meja makan, sedangkan kamera photo DSLR yang sebelumnya dipasang diatas tripot kini telah kembali diganti oleh perangkat handycam yang mengarah pada kami. Berbeda dengan sebelumnya dimana kami masih mengenakan pakaian lengkap, kini kami duduk dalam keadaan tanpa selembar benangpun.

“Oke, sebelum kita memasuki acara pemotongan kue tart, kini kita nyanyikan bersama lagu selamat ulang tahun…” oceh istriku, diikuti dengan bertepuk-tepuk tangan sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

“Selamat ulang tahun… ayo semuanya.. Sambil tepuk tangan dong..” suasanapun menjadi riuh oleh suara mereka bertiga

“Suamiku tercinta, aku ucapkan selamat ulang tahun ya, semoga sehat selalu.. panjang umur… dan juga.. panjang kontol… hi.. hi.. hi.. Asal jangan panjang tangan ya..” Ah, bisa saja istriku ini, lalu istriku mencium pipi kanan dan kiriku.

“Selamat ulang tahun papa cayang… mmuuaacchhh…” kali ini dari Nanda, yang diikuti mencium mesra pada bibirku.

“Met ulang taun ya pa…” kali ini Doni, yang menjabat, lalu mencium tanganku.

“Ayo pa.. Sekarang potong kuenya dong… Potong kuenya.. potong kuenya.. potong kuenya sekarang juga… sekarang juga.. sekarang juga..” pinta istriku, diikuti dengan menyanyikan lagu diikuti oleh kedua anakku.

Akhirnya aku potong seukuran kecil kue yang aku letakkan diatas piring kecil.

“Wah, siapa ya.. yang terlebih dulu papa berikan kue ini..?” bingungku, sambil melirik pada istriku dan putriku.

“Kayaknya kalo untuk saat ini, Nanda lebih berhak deh pa..” saran istriku.

“Serius nih. Kamu gak apa apa sayang..” tanyaku pada istriku, karena pada acara ulang tahunku yang lalu lalu, selalu istrikulah yang pertama kali kuberikan potongan kue..

“Gak apa koq, nyantai aja… Secara defakto, Nanda sekarang istrimu lho pa.. dan dia sedang hamil anakmu.. itu artinya, Nanda adalah orang yang paling spesial bagi papa. Kalo aku sih, tentunya dengan dia nih…” terang istriku, diikuti dengan memeluk dan mencium Doni yang duduk tepat disampingnya.

“Oke deh kalo begitu…” akhirnya piring kecil berisi kue tart itu kuberikan pada Nanda.

“Ah, gak seru deh… Terlalu mainstream… kuno..” celetuk istriku tiba-tiba.

“Aduuuhh… kenapa sih ma?” heranku pada istriku

“Iya, ngasih kuenya gak seru.. Oke deh, mama ajarin nih..” ujarnya, seraya mengambil piring kue yang dipegang Nanda.

“Begini nih pa… Papa olesin titit papa kekuenya lalu papa suapin langsung kemulut Nanda, begitu terus sampai kue yang dipiring ini abis.. Itu lebih romantis pa… Oke? Ngerti maksud mama kan?” terang istriku, Ah, ada aja ide konyol istriku ini.

“Oke deh, aku paham…” jawabku

“Oke deh, biar piringnya mama yang pegangin. Papa cukup olesin aja kontolnya dikue, lalu suapin ke Nanda..” terang istriku.

“Wah, seru nih… Ayo pa… Nanda dah gak sabar nih..” ujar Nanda.

Seperti yang diajarkan istriku, batang penis kubenamkan pada kue tar yang dipegang istriku, bahkan dia juga ikut membantu dengan jari telunjuknya mengolesi kebeberapa sudut batang penisku.

“Oke, udah cukup tuh pa.. lagian kayaknya Nanda dah gak sabaran deh…” batang penisku kini telah berubah wujud seperti pisang dilumuri adonan tepung dan siap untuk dimasukan kedalam wajan dengan minyaknya yang mendidih, akhirnya masuk kedalam mulut menganga putriku.

Sloopp.. clloopp… glek.. gek… slloopp.. Batang penisku yang diemut lembut praktis menjadi menegang besar. Kali ini Nanda mulai menjilati sisa-sisa kue Tart yang juga membaluri buah pelirku.

“Mmmm… lezaaatt..” ujarnya setelah penisku telah bersih oleh jilatan dan hisapannya.

Kembali penisku kucelupkan pada kue tar yang masih tersisa. Seperti sebelumnya, istriku juga membantu mengolesinya. Lalu kembali kumasukan kedalam mulut Nanda yang telah tak sabar menunggu.

“Wooowww… Romantis bukan pemirsa.. Jangan ngiri ya..” oceh istriku, dengan wajah mengarah pada handycam.

Sekitar empat kali aku menyuapi Nanda dengan cara yang ganjil tadi, habis juga kue tart yang ada dipiring kecil itu, yang tentunya telah berpindah kedalam perut Nanda.

“Makasih pa…” ucap Nanda, sambil menjilati sisa-sisa krim dibatang penisku.

“Sekarang giliran aku lho pa…” kini istriku yang menagih hal serupa.

Kali ini sepotong kue tart, dan kembali kutaruh diatas piring kecil. Kali ini Nanda yang memegangi piring tersebut, sementara aku mulai membenamkan batang penisku pada kue tart. Seperti yang dilakukan istriku sebelumnya, Nanda juga membantu mengolesi krim kue itu kepermukaan batang penisku.

Lalu, hap.. Dengan rakusnya istriku langsung melahap batang penisku.

“Mmmm… yamiii… sedap pemirsa.. bukan main…” ujarnya, saat aku tengah memolesi hatang penisku untuk yang kedua kalinya.

Seperti halnya Nanda, dalam empat kali suap, piring kecil itu telah kosong. Kini aku bersiap untuk memberikan potongan kue berikutnya kepada Doni.

“Doni juga sama lho pa…” ujar istriku.

“Maksudmu?” tanyaku.

“Iya, kamu ngasih kuenya seperti pada Nanda dan aku.. Yang kayak tadi itu lho..” betapa terkejudnya aku mendengar ide nyleneh itu. Walaupun aku termasuk suka melakukan seks yang nyleneh, tapi membayangkan batang penisku dihisap oleh sesama jenis, aku masih belum bisa

“Apa apaan sih kamu ma.. Ya enggak bisa begitu dong. Memangnya aku kaum LGBT apa?” protesku.

“Doni enggak mau ma… Emangnya aku Bang Ipul..” protes Doni

“Tuh, kamu dengar sendiri ma… Doni aja enggak mau koq..” ujarku.

“Pliss deh… Satu kali ini aja… Apa salahnya sih.. Ayo dong…” mohon istriku.

“Pokoknya Doni enggak mau ma… Gak mau.. Titik.” Kali ini Doni mempertegas keberatannya.

“Tuh ma, kita gak bisa main paksa lho.. Kamu mesti ingat dong, dikeluarga kita ini gak dibenarkan adanya pemaksaan.. Semua yang dilakukan harus ikhlas dan jujur..” terangku.

“Oke deh, mama paham…” pasrah istriku. Namun setelah itu dia seperti tengah berpikir untuk beberapa saat.

“Mmm.. tapi bagaimana kalo mama kasih usul. Kalau kue itu tetap disuapin oleh kontol papa, tapi kedalam mulut mama. Nanti dari mulut mama, baru deh kue itu mama lepehin kedalam mulut Doni. Setuju enggak?” ujar istriku.

“Kalo itu sih Doni setuju-setuju aja deh..” jawab bocah itu.

Satu suapan kue tart bersama batang penisku telah masuk kedalam mulut istriku, beberapa saat kemudian kulumannya penisku dilepasnya. Kini mulutnya itu terkatup rapat seperti menahan sesuatu didalamnya.

Sejurus kemudian dia berdiri sambil memberi isyarat kepada Doni yang masih dikursi agar membuka mulutnya. Yang diikuti oleh pemuda itu dengan menganga lebar sambil wajahnya menengadah keatas.

Dan, plehh.. tumpahlah isi dari mulut istriku kedalam mulut Doni. Glek.. glek.. Tanpa dikunyah lagi, kue tart bercampur air ludah istriku itu ditelannya dengan antusias.

“Gimana nikmat kan sayang…” tanya istriku, yang langsung diikuti dengan melumat bibir bocah itu. Untuk beberapa saat mulut mereka saling berpagutan dengan hot. Sebelum akhirnya istriku kembali mengulum batang penisku yang telah diolesi kue tar oleh Nanda. Dan kembali diulangi cara sebelumnya hingga empat kali balik, yang diakhiri oleh senyum bahagia yang terpancar dari wajah putra kami itu.

“Nah.. sekarang kamu baru tau nikmatnya kan.. Ayo bilang apa sama papa…” oceh istriku.

“Terima kasih kue tartnya pa…” ucap Doni.

“Sama-sama Doni..” jawabku.

“Terima kasih juga mama.. untuk campuran air ludahnya… he… he.. he..” ucap Doni sambil memeluk istriku dari belakang

“Ih, bisa aja kamu… Kamu tuh ya, paling suka sama ludah mama… Dasar anak jorok kamu hi.. hi.. hi..” goda istriku, dan dibalas oleh gigitan lembut Doni pada tengkuk istriku.

Cerita Dewasa

Halo, Saya adalah penulis artikel dengan judul Keluarga Pak Trisno 9 yang dipublish pada November 4, 2022 di website CeritaSex

Artikel Terkait

Leave a Comment